HADIAH

127 25 9
                                    

Beberapa puluh menit setelah salat Maghrib, ketika Hilmy dan Fida masih membaca dzikir bakda salat, terdengar suara bel berbunyi. Hilmy menoleh ke belakang. Seketika, perempuan yang masih memakai mukena itu beranjak untuk membuka pintu. 

Menit kemudian, Fida kembali duduk di tempatnya tadi. Dia memajukan kepala sedikit condong pada suaminya. "Dipanggil Abi. Ditunggu di rumah katanya," ujar Fida dengan suara lirih.

Hilmy yang masih sibuk melantunkan dzikir, berisyarat dengan anggukan. Lantas, setelah menyelesaikannya, segera beranjak dan berjalan keluar dari musala diikuti sang istri beberapa saat setelahnya.

Sembari menunggu sang istri berganti pakaian setelah keluar dari musala tadi, Hilmy duduk pada sofa ruang tengah. Tangan kanannya sibuk mengutak atik ponsel, memeriksa aplikasi chat bisnis yang dia miliki. Sebenarnya, dia sudah mengalihkan semua chat pada pengganti di Bangkalan. Hanya saja, rasanya kurang jika tak memeriksanya sendiri. Dan benar saja, semua pesan sudah dibalas dan diselesaikan dengan baik. Selang beberapa saat, Fida keluar dengan gamis rayon hijau botol dan pashmina kuning. Lantas, keduanya berangkat dengan berboncengan ke pesantren.

Jarak tempat tinggal mereka dan kompleks pesantren, sekitar 100 meter. Rumah yang ditempati Hilmy dan Fida merupakan salah satu rumah Kiai Mudzakir yang memang dibeli dan telah direncanakan sebagai tempat tinggal Fida setelah menikah. Masih ada dua rumah kosong lagi, karena masih ada dua putranya yang belum berkeluarga. Satu rumah berjarak dua bangunan di sebelah timur tempat tinggal mereka. Dan satu lagi, sekitar dua ratus meter di Barat pesantren. Sementara dua kakak Fida, tinggal di rumah yang berada di dalam kompleks pesantren, berjajar dengan rumah Kiai Mudzakir sendiri.

Sebelumya, rumah itu ditempati Hilmy seorang diri. Membuatnya sempat heran sekaligus merasa begitu tersanjung. Tapi akhirnya, semua terjawab dengan perjodohan di antara dia dan putri sang Kiai

Sesampainya di ndalem Kiai, keduanya menunggu di ruang tengah beberapa saat, sampai Kiai Mudzakir turun dari Masjid dan segera masuk ke ruang tengah. Lantas, disusul Bu Nyai Marhamah beberapa saat setelahnya.

Kiai membenahi sorban hijau yang tersampir di pundak, lalu duduk pada ujung sofa pojok di sisi yang lebih pendek, bersisian dengan Bu Nyai. Sementara Hilmy dan Fida pada bagian sofa yang lebih panjang. Sayup-sayup, terdengar lantunan syair pujian saling bersahutan dari pesantren putra dan putri. Syair yang biasa dilantunkan sebelum kegiatan pengajian bakda Maghrib dilaksanakan.

"Kalian … makan malam di sini saja, ya? Umi kalian masak nasi briyani tadi," ucap Kiai Mudzakir memulai pembicaraan. 

"Iya, Abi," jawab Hilmy sopan. Dia mengubah panggilan terhadap sang Kiai setelah mertuanya itu menitahkan padanya, sejak resmi bertunangan dengan Fida. Sebelumnya, Hilmy memanggil mertuanya itu dengan panggilan Kiai, meskipun mereka masih ada hubungan saudara jauh. Ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan karena Kiai Marzuki, ayah Hilmy, pernah menimba ilmu di Al Anwar.

Sementara Fida tampak sangat antusias, menjawab dengan nada suara sedikit lebih lantang dan bernada ceria. Wajahnya pun seketika berbinar. Sepengetahuan Hilmy, istrinya itu memang gemar sekali makan masakan khas Timur Tengah. 

Kiai melanjutkan percakapan, membicarakan tentang kado pernikahan yang masih belum dibuka dari kemasannya dan tertumpuk di kamar belakang—kamar Fida ketika masih tinggal di rumah ayahnya. Pun beberapa hadiah lain dari kerabat mereka.

Hilmy dan Fida mendengarkan dengan saksama. Sejenak, muncul kembali ingatan tentang pernikahan terdahulu. Karena, apa yang terjadi, memiliki banyak kemiripan. Tapi, semua berusaha ditepis. Tentu saja, pernikahan kali ini sama sekali berbeda. Kejadian-kejadian buruk yang lalu tidak akan mungkin terulang lagi. Pasti.

Kiai Mudzakir berdeham, menjeda kalimatnya sesaat. "... dan satu lagi. Bawa mobil putih itu kalau pulang nanti. Motornya, biar santri yang mengantar."

Mendengar kalimat mertuanya, Hilmy terkesiap. Satu lagi keserupaan dengan yang lalu. Seketika, rasa tak nyaman merayapi hati. Menghadirkan kecemasan yang begitu cepat menguasai. Seolah-olah, terseret paksa untuk kembali ke masa itu. 

[END] Sahaja CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang