HARGA DIRI

161 24 8
                                    

Isak tangis memenuhi ruang keluarga rumah Kiai Marzuki. Icha duduk bersimpuh di depan Bu Nyai Sa'adah. Ia menunduk dan berkali-kali mengucapkan maaf. Sementara itu, ibu Hilmy berusaha membuat mantan menantunya itu beranjak dan duduk pada sofa, agar tak bersimpuh di lantai.

Pada ujung lain sofa, Kiai Marzuki berulang kali menghela napas dalam dan menggeleng pelan. Ia menunduk, menyangga kepala dengan tangan yang bertumpu pada handle sofa.

Sedangkan Hilmy, berdiri menyaksikan semua dengan tatapan nanar. Dalam kebisuan dan sikap diamnya, ada sekelumit tanya dalam benak. Tanya terhadap keputusan yang telah dia ambil kali ini. Apakah … ini memang keputusan yang tepat? Apakah ini bukan keputusan yang gegabah? Tapi, talak sudah terucap dan tak mungkin diurungkan lagi. 

Sekelebat ingatan tentang pertanyaan Kiai Marzuki semalam masih terngiang di telinga Hilmy.

"Apakah kamu yakin kalau kamu melontarkan talak itu secara sadar? Bukan sebab amarah yang terlampau parah?"

Meskipun Hilmy berucap talak dalam keadaan amarah yang menggelegak kala itu, tapi ia bisa memastikan dan meyakinkan dirinya kalau dia sangat sadar dengan keputusannya. Meneruskan pernikahan bersama Icha adalah ketidakpastian yang sangat berat. Pertaruhan yang tak sanggup dia coba. Tak ada cinta di antara mereka, hanya kewajiban untuk saling menghormati yang … mungkin akan terlampau berat dilakukan. Dan mengetahui kenyataan tentang Icha, rasanya … cinta itu seolah akan mustahil terbangun.

"Abah dan Umma dulu menikah juga tak didasari cinta. Kami dijodohkan. Tapi, perlahan, cinta itu tumbuh. Bahkan semakin berumur, lebih dari sekadar cinta yang ada di antara kami. Estoh, Cong. Itulah perasaan melebihi cinta antara suami istri yang pernikahannya sudah menjadikan keimanan dan ketakwaan sebagai dasarnya."

Meski Kiai Marzuki berusaha membujuk dengan berbagai nasihat, tapi keputusan Hilmy sudah bulat. Mungkin keduanya memang tak menjadikan cinta sebagai dasar pertama pernikahan. Tapi, mereka memiliki perasaan wajar. Sementara Icha? Bukan tak mungkin dia bisa mencoba, tapi … perjuangannya pasti membutuhkan usaha beribu kali lipat.

Di dalam mobil SUV premium putih, ketiganya duduk diam selama perjalanan dari Bangkalan ke Probolinggo. Icha hanya menunduk sembari memilin-milin ujung hijabnya, sedangkan Hilmy berusaha fokus mengemudi dengan kecepatan tinggi. Sementara itu … Nia terdiam di kursi penumpang tengah.

Dan seperti janjinya, Hilmy sama sekali tak menceritakan dengan jelas alasan mereka berpisah; baik pada kedua orangtuanya, maupun kepada mantan mertuanya.

Kiai Idris, ayah Icha, yang masih tampak terkejut, perlahan mengembuskan napas panjang dan beristighfar. "... apa sebenarnya alasan kalian memutuskan ini, Nak?" suara lelaki sepuh itu terdengar bergetar.

Hilmy masih menunduk. Dia kembali mengutarakan permintaan maaf mendalam dengan nada suara yang menyiratkan penyesalan. "... ini murni kesalahan kulo, Kiai. Sebagai suami, kulo telah lalai dalam membimbing istri."

"Aku mempercayakan putri bungsuku kepadamu, Nak. Karena bagiku, kau tak hanya lelaki alim dengan ilmu yang tak kuragukan lagi. Tapi, kau juga kuanggap mampu. Aku sendiri saksi betapa engkau begitu penurut dan menjadi teladan santri lain ketika belajar di sini." Kiai Idris memejam sesaat, lalu mengusap kasar wajahnya dengan telapak tangan.

"Terima kasih, Kiai. Kepercayaan Kiai adalah sanjungan bagi kulo. Sekali lagi, hanya maaf dan keridhoan njenengan yang kulo harapkan."

"Aku hanya kecewa karena jodoh kalian hanya sampai di sini. Tapi sebagai gurumu, aku tentu meridhoimu sebagai santriku." Satu helaan napas, lalu terdengar suara serupa isakan dari Kiai.

Kebisuan melingkupi keduanya di ruang keluarga ndalem Kiai Idris. Hanya terdengar bunyi detak jarum jam dan sayup-sayup riuh suara para santri.

Hilmy akhirnya pamit setelah menyerahkan kembali mobil SUV premium yang dulu memang merupakan hadiah Kiai bagi putri kesayangannya itu. Kiai yang sangat Hilmy hormati itu memeluknya erat, seolah enggan melepas kepergian mantan menantunya.

Di pinggir jalan raya, tak jauh dari gerbang pesantren, Hilmy segera menghubungi Ali via panggilan telepon. Sebelumnya, mereka memang berjanji temu hari ini. Hilmy telah mengurus surat pengantar nikah ke petugas KUA tiga hari sebelumnya.

Perlu menunggu hingga tiga kali nada panggilan sampai Ali menerima teleponnya.

"... sampean sudah di mana, Ra?" tanya Ali segera setelah berucap salam.

"Baru saja keluar dari ndalem Kiai. Sampean beneran mau jemput?"

"Iya. Tunggu sepuluh menit. Saya segera sampai. Saya memang ada di sekitar situ."

"Oke. Saya tunggu di depan koperasi pesantren, ya?"

Tak sampai sepuluh menit kemudian, sebuah mobil MPV hitam berhenti di depan koperasi pesantren di mana Hilmy menunggu. Ali keluar dari mobil yang membuat Hilmy seketika mengernyit.

"Kok, mobilnya jadi kayak gini?" Hilmy berdiri menatap Ali yang melangkah mendekatinya.

"Biasa, pedagang mobil, ya, gini ini. Mobil yang dulu udah laku. Ini mobil dagangan, Ra. Buat nyambung hidup." Ali memainkan kunci mobil di tangannya. 

"Wah, sampean hebat. Kabur tapi berhasil survive. Malah, jadi pedagang mobil." Hilmy berdecak seraya menggeleng pelan.

"Udah mujinya, ayo, kita ke rumah kontrakan saya di kota." 

Hilmy mengangguk dan mengikuti Ali naik ke mobilnya. 

Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Membelah jalan raya Kraksaan menuju Kota Probolinggo. Hilmy sempat mengedarkan pandangan menelusuri bagian interior mobil Ali. Ada rasa kagum dan sejumput iri di hatinya. Ali begitu beruntung, dia berani mempertahankan kemauannya. Pun begitu, dia bisa memiliki kendaraan dengan berwirausaha.

"Sampean, beneran nggak mau pulang?"

"Entahlah. Mungkin, saya akan menetap di kota ini. Calon istri saya bukan santri. Dia perempuan biasa. Dari kalangan awam." Ali masih fokus mengemudi.

"Woh? Sampean seberani itu?"

Ali mengedikkan bahu. "Entahlah. Yang jelas, saya mencintai dia."

"Cinta? Cukupkah itu? Tak khawatirkah sampean dengan kemarahan Kiai Bahar? Atau … kekecewaan Bu Nyai?"

"Khawatir. Tentu saja. Tapi … saya nggak bisa membohongi diri dengan menyetujui perjodohan itu. Selain alasan perjodohannya yang karena masalah politik, saya juga laki-laki, kan, Ra? Masak saya mau dinikahkan begitu saja, bahkan tanpa nadhor." 

"Ya … bener, sih." Kalimat yang terucap dari bibir Hilmy sama sekali berbeda dengan apa yang telah terjadi pada dirinya. Ia mengiyakan pendapat Ali. Tapi, dirinya sendiri tak punya cukup keberanian untuk sekadar menolak halus perjodohannya dengan Icha dulu.

Keduanya terus saja bercakap-cakap selama perjalanan ke rumah kontrakan Ali. Hilmy sama sekali tak menceritakan soal perceraiannya dengan Icha. Dia hanya mengatakan bahwa dirinya sekadar berkunjung ke rumah mertuanya seorang diri untuk suatu kepentingan.

Keduanya memang bersahabat baik. Bahkan, Hilmy dan Ali sempat merintis usaha percetakan yang kini ditutup karena kaburnya Ali. Tapi, entah mengapa, ada jengah dan enggan dalam hati Hilmy untuk menceritakan perihal kegagalan pernikahannya. Bukan hanya sakitnya kegagalan yang membungkamnya, tapi lebih dari itu. Hilmy merasa tak punya harga diri sebagai lelaki. Bukankah seharusnya dia berhak memilih? Bukankah seharusnya bisa bersuara? Tapi … mengapa bisa selemah ini?

🌷🌷🌷

Note: Kisah Ali sudah End di Cerbung Sekuntum Hati dari Ngarai

[END] Sahaja CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang