TAK INGIN KEHILANGAN

128 28 7
                                    


Di ambang pintu dapur, Hilmy yang baru pulang dari masjid pesantren untuk melaksanakan salat Isya berjemaah, mematung menatap Fida. Perempuan yang hampir tiga bulan menjadi pendamping hidupnya, tengah duduk di depan meja dapur. Sepertinya, dia tengah membuat sesuatu. Dan penampilan khas yang membuat Hilmy sangat terpesona, semakin menjadikannya tak mampu untuk sekadar bersuara. Fida sangat menawan dengan baju rumahan dan penampilan seadanya. Daster rayon sederhana dan rambut disanggul jedai seperti biasa. Hal itu yang membuat Hilmy selalu ingin pulang dan teringat rumah. Bukan Fida dengan pakaian bagus dan make up di wajah, tapi … Fida yang seperti itulah yang berhasil menggetarkan hati.

Detik kemudian, Hilmy menarik napas dan cepat mengembuskannya. Dia mendekati istrinya seraya memanggil lirih, "... lagi ngapain?" Hilmy menarik kursi dan duduk di sebelah istrinya. Fida membuat makanan yang sepertinya samosa ayam.

"Bikin kudapan. Buat persiapan aja. beberapa hari lagi malam haflah. Biasanya, ada aja yang mampir ke rumah Mas Sofyan atau Mbak Robi'ah. Nah, seumpama ada yang mampir juga ke sini, gimana kalau aku nggak nyiapin?" tanpa menoleh, Fida menjawab pertanyaan suaminya dengan lancar.

Hilmy hanya mengangguk-angguk pelan. Kemudian, pandangannya mendarat pada dandang dan kuali yang bertengger pada kompor. "Itu apa?" Ia menyentakkan dagu ke arah kompor. "Kok, kayak yang mau hajatan aja."

"Oh, itu ayam ungkep sama nasi briyani. Sengaja bikin banyak. Ntar kumasukin kulkas, terus kukemas per porsi. Tinggal kamu angetin di microwave." Masih, tangan Fida sibuk mengisi kulit adonan dengan isian ayam, potongan wortel, dan kentang.

"Aku? Kok, bisa?" Hilmy menggeser posisinya semakin mendekat pada sang istri.

Fida meletakkan kue yang sudah dibentuk, lantas mengembuskan napas panjang seraya menatap Hilmy. "Kak, besok aku udah bakal repot di rumah Umi. Jelas, nggak bakal ada yang urus kamu soal makan siang dan malemnya. Yang jelas, aku bakal berangkat pagi dan pulang malem. Pastinya bakal capek."

Deg!

Bagaimana Fida bisa sedetil itu memikirkannya? Dia mempersiapkan semua sebaik mungkin.

Hilmy tak mampu menjawab. Semua kalimat tertahan di tenggorokan. Perempuan yang sebelumnya sangat dia ragukan, ternyata bisa begitu perhatian. Fida memiliki sisi keIBUan yang mengejutkan.

Benar saja, keesokan harinya, Fida mulai sibuk di pesantren. Berbagai persiapan acara akhir tahun sungguh menyita banyak waktunya. Dia berangkat setelah sarapan, lantas Hilmy menjemputnya sekitar jam sembilan, bahkan sepuluh malam. Kemudian, segera tidur.

Dan pada H-1 acara haflah, Fida pulang sangat larut. Pukul sebelas malam. Dia turun dari boncengan motor, lalu berjalan sembari menggerak-gerakkan kepala ke kiri dan kanan. Hilmy yang baru memarkirkan motor, melihat istrinya keheranan. "Kenapa? Sakit?"

"Kaku dan rada pusing." Fida berjalan masuk rumah.

Satu embusan napas panjang dari pernapasan Hilmy dan dia melangkah mengekori istrinya. Tangannya seketika mendarat pada tengkuk Fida dan memijatnya pelan sembari terus melangkah ke kamar. "Sana cepet ganti baju. Kupijat habis ini."

Fida hanya mengangguk dan masuk kamar. Sementara Hilmy, langsung menuju dapur membuatkan istrinya teh, lantas segera kembali ke kamar setelahnya.

Fida duduk di ranjang. Dia telah mengganti pakaian dengan kimono tidur. Pun sepertinya telah membersihkan wajah.

"Nih, aku buatin teh hangat campur jahe. Kamu minum dulu." Hilmy meletakkan teh pada nakas. Lantas, duduk di sebelah istrinya dan mulai memijat lembut tengkuk dan bahu Fida. "Kalau capek, besok berangkat agak siangan. Jangan diforsir gini tenaganya. Kamu harus bisa jaga kesehatan juga."

"Nggak apa-apa. Aku jagain persiapan anak-anak pentas seni. Sekalian juga bantuin para ustadzah mukim buat persiapan acara inti. Tinggal besok ini."

Hilmy mengembuskan napas panjang. "Iya, aku tahu. Tapi, kesehatan itu nomor satu."

Fida tak menjawab. Dia hanya menghela napas dan mengembuskannya pelan. Pun sesekali meringis ketika pijatan Hilmy mengenai bagian tubuhnya yang kaku.

"Itu, tehnya minum dulu. Kayaknya udah anget." Hilmy beranjak, lantas meraih dan memberikan gelas kepada istrinya.

"Makasih, Kak."

Malam itu, Hilmy tidur dengan Fida di pelukannya. Kulitnya yang terasa sedikit lebih hangat dari biasanya, membuat hati dan pikiran tidak bisa untuk berhenti mengkhawatirkan sang istri.

Lantas keesokan harinya, Fida tetap berangkat seperti biasa seusai sarapan. Padahal, Hilmy telah menyarankan agar dia istirahat saja dan berangkat bersama ketika acara dimulai, yaitu bakda Maghrib.

Suasana Al Anwar begitu meriah, sampai-sampai jalan di depan pesantren, sangat padat merayap. Para wali santri, alumni, dan simpatisan, berbondong-bondong datang demi menghadiri acara yang memang rutin dilaksanakan setahun sekali itu.

"Wajahmu itu, loh, Neng. Pucat banget." Hilmy memandang istrinya dengan tatapan sendu. Dia masih duduk di atas motor. Mereka berhenti di depan gerbang pesantren, paling dekat dengan pintu menuju asrama perempuan. Rencananya Hilmy akan langsung ke kantor sekolah guna mempersiapkan acara untuk santri putra. Beberapa hari terakhir, dia juga tak kalah sibuk. Tapi, Fida jauh lebih sibuk karena juga mengurus perihal pentas seni santri putri.

"Tinggal hari ini doang, kok, Kak. Besok udah santai. Nggak bakal apa-apa."  Fida tersenyum. Rupanya dia masih berusaha meyakinkan sang suami bahwa keadaannya baik-baik saja.

Hilmy mengembuskan napas panjang. "Ya, udah, deh. Tapi, kalau capek dikit aja, cepet-cepet telpon aku. Pulang. Jangan sampai kenapa-napa."

"Siap, Bos." Fida meletakkan sebelah tangan pada dahi, membentuk posisi hormat.

Hilmy tersenyum geli dibuatnya. Tapi, tetap tak mampu menghilangkan kekhawatiran terhadap keadaan sang istri.

"Udah, ya? Aku masuk dulu." Fida mencium punggung tangan suaminya, lantas berlalu.

Sementara itu, Hilmy memperhatikan sang istri sampai menghilang di balik pintu pesantren putri. Lantas, melajukan motor menuju kompleks sekolah.

Beberapa menit sebelum adzan Zuhur berkumandang, Hilmy pulang untuk makan siang, seperti kebiasaan yang dilakukannya selama ikut menyiapkan acara. Selain karena lebih nyaman makan di rumah, masakan Fida yang sangat cocok di lidah, tak bisa diganti masakan lain.

Ia menghentikan motor di depan pagar rumah. Bayangan nasi briyani buatan Fida membuat perut seketika meronta. Pun air liur seolah langsung mengucur deras. Dia turun dari motor lantas membuka kunci pagar. Belum juga gembok terbuka, ponsel di saku berdengung panjang.

Hilmy meraih ponsel, nama Bu Nyai Marhamah terpampang di layar. Dia mengernyit. Hadir sejumput tanya dan sepercik cemas. Cepat-cepat dia menerima panggilan. "Assalamualaikum, Umi."

"Nak, Fida pingsan. Cepat ke sini!" Nada suara Bu Nyai Marhamah terdengar sangat cemas.

Seketika, Hilmy mengiakan titah sang mertua. Lantas, segera kembali ke pesantren setelah memutuskan panggilan. Dia berusaha memacu kuda besinya dengan cepat. Tapi, keadaan jalan yang padat, menjadi penghalangnya. Beberapa kali dia membunyikan klakson, pun berdecak. Semoga tak terjadi hal yang fatal terhadap Fida.

Cemas yang tadinya hanya sepercik, kini menggurita dan semakin menyebar dalam hati. Tak pernah hadir cemas yang seperti ini. Dalam benak, hanya kekhawatiran terhadap Fida yang menguasai. Jangan sampai terjadi sesuatu terhadap pendamping hidupnya.

Hilmy tak mau kehilangan Fida? Apakah itu artinya … Hilmy mencintainya.

[END] Sahaja CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang