Dering ponsel menyentakkan Hilmy yang tengah berkutat dengan tugas membuat soal latihan ujian siswa. Ia mengalihkan perhatian dari layar laptop dan segera memeriksa siapa gerangan yang menghubungi.
Setelah tahu bahwa Ali yang menelepon, segera Hilmy menerima panggilan itu sembari menyimpan pekerjaannya dan mematikan layar. Jika sang kawan yang menghubungi, bisa dipastikan akan menyita waktu yang tak sebentar.
"Bagaimana pengantin baru?" Kalimat itu terlontar dari bibir Hilmy setelah keduanya saling bertukar salam. Ia kini duduk santai, bersandar pada sofa ruang tengah.
"Bahagia tentunya," Ali tergelak, "sampean bagaimana? Masih betah menjomlo?"
Hilmy kini yang tergelak. Ia menggeleng pelan. "Cariin, Ra. Mungkin ada stok teman istri sampean."
Keduanya pun larut dalam obrolan basa-basi diselingi candaan. Cukup lama, mungkin sekitar hampir lima menit mereka mengobrol tentang pengalaman Ali selama kabur dan bagaimana kehidupannya setelah menikah.
"Oh, ya, Ra," sela Ali, "sampean masing ingat Ning cinta bertepuk sebelah tangan sampean itu?"
Seketika, Hilmy terkesiap. Apakah yang Ali maksudkan adalah Adeeva?
"Siapa?" tanya Hilmy pura-pura tak tahu.
"Ah, masak lupa? Memangnya, sampean punya berapa perempuan bertepuk sebelah tangan? Bukannya cuma sebiji dia saja?" ledek Ali diikuti gelak tawa, "Biasanya, kan, perempuan yang malah ngejar-ngejar."
Hilmy tergelak. "Iya. Iya. Kenapa nanyain dia?"
"Kan, dia nikah sama putra Kiai Jazuli. Itu, yang kerabatnya pejabat sini. Pesantrennya besar, loh, Ra. Lumayan."
"Iya. Memangnya, dekat dengan rumah sampean? Setahu saya nggak. Sampean, kan, di sekitar kota. Kalau Kiai Jazuli, bukannya di Kabupatennya, ya?"
"Iya. Saya cuma dengar gosip saja. Gosip kurang sedap."
Hilmy tersentak. Ia yang tadinya duduk santai, seketika menegakkan punggung. "Kurang sedap bagaimana?"
"Menurut gosip, suaminya kabur sama pacarnya. Kasihan, Ra. Apalagi dia, kan, baru saja kehilangan putrinya."
Tidak. Tak mungkin hal semacam itu terjadi pada Adeeva. Sungguh menderita sekali dia jika ini benar adanya.
"Kabur?"
"Iya. Kabarnya, sudah beberapa bulan. Dan si Ningnya itu sekarang ada di Surabaya. Entah, apa mereka akan cerai atau nggak. Coba sampean sabar dan tunggu saja." Lagi, Ali tergelak.
Tapi, Hilmy sama sekali tak bisa menanggapi hal itu sebagai lelucon lagi, meskipun tetap berusaha menanggapi dengan berbicara senormal mungkin. Adeeva adalah perempuan pertama yang pernah benar-benar singgah di hatinya.
"Mau nunggu orang yang belum tentu pisah, mau sampai kapan?" Hilmy berusaha tergelak lagi. Pura-pura.
"Loh, jangan salah. Ini bukan pertama kalinya Gus Ibrahim kabur sama pacarnya. Sudah dua atau kalinya ini."
Deg! Sebegitu beratkah hidup Adeeva?
"Loh, masak, Ra?"
"Iya. Bahkan mungkin saja sebenarnya mereka itu bukan pacaran lagi. Lah, kalau kabur berbulan-bulan, Ra. Pasti sudah dimadu Ningnya sampean itu."
Mereka terus saja bercakap-cakap membahas tentang Adeeva. Membuat Hilmy kembali teringat awal pertemuan mereka.
Semua bermula kala itu, sekitar enam tahun lalu. Ketika itu, Hilmy masih duduk di bangku perguruan tinggi dan menjabat sebagai ketua senat. Kebetulan, hari itu dia tengah berada di ruang senat saat jeda istirahat acara pengenalan kampus, bersama beberapa mahasiswa yang kebetulan juga panitia acara.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Sahaja Cinta
RomanceKarena doktrin yang diterima sejak kanak-kanak Hilmy harus menjalani pernikahan dengan perjodohan yang sayangnya berakhir buruk. Hal itu membuatnya sangat membenci perjodohan dan menyalahkan kehidupan. Tak disangka, ia bertemu dengan perempuan masa...