Hilmy tak tahu bagaimana semua bisa terjadi. Hanya karena balasan isengnya pada story Adeeva, membuat mereka akhirnya semakin dekat dan sering mengobrol melalui aplikasi chat.
"Semua memang kekeliruanku, Mas. Andai saja dulu nggak bersikap skeptis sama kamu, mungkin semua nggak akan sekacau ini." Terdengar embusan napas panjang dari seberang.
"Maksud kamu ..." Hilmy yang sebelumnya duduk santai pada sofa, seketika menegakkan punggung. Dia mampu memahami makna tersirat dari perkataan Adeeva. Tapi, ia hanya ingin kembali menegaskannya.
"Ya, seandainya dulu aku nggak suudzon dan menganggapmu sama saja dengan lelaki lain, mungkin ... kita akan berjodoh. Dan kejadian menyakitkan ini nggak akan terjadi. Kamu dengan perpisahanmu dan aku dengan kekacauan rumah tanggaku."
"Apa masalahmu dan Gus Baim sudah nggak bisa dibenahi?" Hilmy beranjak dan melangkah ke arah dapur. Kopi hitam di cangkirnya sudah tandas. Ketika awal mengobrol tadi, kopi itu masih tersisa setengah cangkir.
"Entahlah. Aku sebenernya ingin bercerai. Tapi, aku nggak mau menggugatnya. Biar dia yang menjatuhkan talak. Kamu tahu, kan, maksudku?"
"Ya ... sedikit bisa dipahami. Kalau berada di posisimu, banyak yang harus dipertimbangkan." Hilmy menghidupkan kompor setelah meletakkan panci susu di atasnya.
Hilmy memang sendiri saja ketika Malam hari. Karena Mak Ti pulang pada jam lima sore.
"Ya Allah, kenapa semua jadi begini? Aku capek, Mas." Terdengar dengkusan dari seberang.
Hilmy yang telah menyiapkan kopi di cangkir, kini duduk pada kursi di depan kompor, menunggu air mendidih. "Kamu masih istri Gus Baim, Deev. Aku ... nggak bisa berbuat apa-apa meskipun sebenarnya ...."
Sengaja, Hilmy menggantung kalimatnya. Ia tak mau sampai kalimat terlarang itu terucap. Bagaimana mungkin ia bisa mengungkapkan perasaan kepada istri orang? Bahkan, ketika rumah tangganya kacau sekalipun.
"Aku tahu kalau kamu masih ada rasa padaku," ujar Adeeva begitu ringan, "Kamu masih Mas Hilmy yang sebaik dulu."
Hilmy terkesiap. Kalimat Adeeva sama sekali tak keliru. Tapi ... hubungan semacam ini sangat tak mungkin.
"Tapi kita bisa apa, Deev?" ujar Hilmy dengan nada kecewa.
"Gus Baim telah mentaklik talak, Mas. Empat bulan waktu yang ditetapkan. Sisa empat puluh lima hari lagi dan aku akan bebas."
"Maksudmu ..."
"Kamu mau nungguin aku, kan, Mas? Sedikit lagi. Tinggal sedikit lagi. Dengan status janda, aku bisa menentukan sendiri dengan siapa aku akan menikah. Perjodohan paksa tak akan terjadi untuk kedua kalinya," ucap Adeeva dengan nada suara penuh harap.
Hilmy terkesiap, ia membeliak. Dadanya terasa kembali berdentum bak genderang perang yang ditabuh. Harapan yang berulang kali ditekannya, kini mengemuka dan memenuhi setiap relung hatinya. Apakah benar masih bisa bersama Adeeva dalam ikatan pernikahan?
Ya, empat puluh lima hari menuju harapan. Lantas setelahnya, ia bisa segera melamar sang pujaan hati.
Lantas pada hari-hari setelahnya, hubungan antara Hilmy dan Adeeva tak lagi sama. Memang tak dipungkiri jika sebelumnya rasa dan harap itu memang ada. Hanya saja, duda dua puluh sembilan tahun itu selalu mencoba menghalaunya. Tapi kini, semua sudah terungkap gamblang. Mereka telah berjanji untuk saling menunggu hingga waktunya tiba. Meskipun jelas, hubungan yang sejatinya terlarang itu harus dirahasiakan. Tak ada yang boleh tahu, bahkan Nayla sekali pun.
Dan memang, Adeeva melakukannya dengan baik. Ketika tak sengaja berpapasan dengan Hilmy di depan ruang kelas, dia bisa menyapa kawannya dengan sangat sopan. Pun begitu, ketika mereka kembali harus berada di satu tempat saat ada kegiatan rapat pengajar, tak sedikit pun Adeeva tampak mencuri pandang. Ia bisa sangat tenang. Seolah-olah tak pernah terjadi apa pun di antara mereka.
Tiga minggu telah berlalu sejak malam itu. Hari Jumat pagi, Hilmy baru selesai melaksanakan salat Dhuha. Ia melipat sajadah dan meletakkannya pada gantungan di pojok ruangan. Pikirannya kembali teringat akan Adeeva.
Hari-hari yang dilalui selama tiga minggu terakhir, terasa indah dan penuh harapan. Setiap hari, semakin mendekatkan keduanya pada tujuan mereka. Cinta bertepuk sebelah tangan itu kini telah berbalas dan kemungkinan akan menjadi nyata dalam ikatan suci pernikahan. Memang masih harus menunggu sampai semua tenang. Tapi yang jelas, harapan itu nyata adanya. Yang dibutuhkan hanya kesabaran hingga waktunya tiba. Hanya perlu bersabar hingga beberapa bulan ke depan.
Hilmy masih larut dalam lamunanya ketika terdengar bel pintu berbunyi. Cepat-cepat ia menuju ruang tamu untuk membukanya. Itu pasti Kiai Marzuki. Orangtua lelakinya itu memang telah menghubungi akan datang pada hari Jumat. Ada hal penting yang harus dibicarakan katanya.
Berbeda dengan sekolah pada umumnya, Al Munawwir menetapkan libur pada hari Jumat. Hal ini bertujuan agar pelaksanaan ibadah-ibadah hari Jumat berjalan lancar bagi para santri mukim. Karena sejak sebelum Subuh, berbagai rangkaian ibadah sunnah sudah dilaksanakan, dari pembacaan surat Al Kahfi hingga kegiatan kebersihan rutin mingguan.
Ketika pintu terbuka, tampak Kiai Marzuki dengan senyum semringah dan wajah cerahnya. Seketika Hilmy mencium punggung tangan sang Abah dan mempersilakannya masuk.
Setelah berbasa-basi sebentar, keduanya langsung menuju ndalem Kiai Mudzakkir. Lelaki paruh baya nan bersahaja itu menyambut nereka dengan hangat.
Mereka bertiga duduk pada Sofa sintetis merah hati yang berada di sebelah kiri ruangan. Kiai duduk di sofa single, sementara Hilmy dan Kiai Marzuki duduk pada sofa dua seat, di sisi sebelah kiri.
Dua lelaki paruh baya itu bercakap-cakap sebentar, berbasa-basi. Seorang santri putra keluar membawa tiga cangkir kopi.
Percakapan yang sangat akrab. Meskipun Kiai Marzuki tetap menjaga sikap dan takdzim-nya, tapi Kiai Mudzakkir selalu tampak berusaha menggiring keadaan agar lebih mencair.
Mereka membahas masa lalu keduanya, di mana saat itu Kiai Mudzakkir muda adalah kakak kelas abah Hilmy. Mereka berdua pernah nyantri di pesantren Kiai Idris. Dan ternyata, Kiai Idris merupakan teman sekelas Kiai Mudzakkir.
"Ketika Hilmy dilamar Gus Idris, aku sempat terkejut, loh, Dik," ujar Kiai Mudzakkir kemudian.
"Bagaimana bisa, Gus?" Kiai Marzuki menegakkan punggung, lalu meraih cangkir dan menyeruput kopinya.
"Ya ... kamu tahu, kan?" Kiai Mudzakkir terkekeh hingga kedua bahu bidangnya bergetar. Pun begitu dengan Kiai Marzuki.
Sementara itu, Hilmy mengernyit, tak memahami ke mana obrolan itu kini mengarah. Ia tetap duduk sopan di sebelah sang Abah.
"Tapi, Dik," sambung Kiai Mudzakkir kemudian, "sepertinya Allah mengabulkan keinginanku kali ini. Dan ... keadaanya di luar persangkaanku. Seolah-olah memang takdirnya diarahkan ke sana." Kiai Mudazakkir menaikturunkan alisnya, lantas ia mendesah dan menyeruput kopinya.
"Semoga ini takdir yang baik, ya, Gus?" Kiai Marzuki mengangguk-angguk pelan.
Mereka terus saja bercakap-cakap sesuatu yang sama sekali tak mampu Hilmy pahami. Hingga, Kiai Mudzakkir akhirnya berdeham dan menghentikan obrolan keduanya. "Nak Hilmy, aku ada satu permintaan untukmu. Kuharap, kamu bersedia mengabulkannya."
Hilmy mengangguk sopan. "Enggi, Kiai. Abdinah."
Apa gerangan permintaan sang Kiai? Suasana yang tadi mencair, mendadak serius dan sedikit ada aura tegang.
"Menikahlah dengan Fida, Nak," ucap Kiai Mudzakkir yang sekektika membuat Hilmy tersentak kaget.
Menikah dengan Fida? Bagaimana mungkin tawaran ini datang ketika Hilmy masih menaruh harap tentang Adeeva? Tapi, apakah masih mungkin menolaknya?
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Sahaja Cinta
RomanceKarena doktrin yang diterima sejak kanak-kanak Hilmy harus menjalani pernikahan dengan perjodohan yang sayangnya berakhir buruk. Hal itu membuatnya sangat membenci perjodohan dan menyalahkan kehidupan. Tak disangka, ia bertemu dengan perempuan masa...