TERNYATA DIA

90 16 1
                                    

Karena kecewa, Fida mendesah seraya menjatuhkan tangan yang masih memegang ponsel ke pangkuan. Ia duduk pada kursi kayu tanpa sandaran di depan meja rias.

Huft ... bahkan rencana berziarah ke Gresik saja harus ditunda karena ada kepentingan keluarga. Padahal, ini kesempatan pertama Fida bisa berjalan-jalan tanpa harus mengajak abdi dalem ikut serta. Ini kesempatan langka. Mungkin saja, karena ada Adeeva yang membuat Kiai Mudzakkir mengizinkan putrinya untuk keluar tanpa pengawalan santri.

Ketukan pada daun pintu dan panggilan namanya, membuat Fida seketika beranjak dan membuka pintu. "Inggih, Umi."

"Ayo segera bersiap. Abimu sudah datang dari acara walimah. Kita langsung berangkat." Bu Nyai Marhamah menepuk lengan putrinya yang masih berbalut daster arab, lantas berlalu.

Lagi, Fida mendesah. Apa asyiknya berkunjung ke kerabat jauh di Madura? Memangnya, ada kepentingan apa sampai Fida juga diajak? Bukankah itu hanya kepentingan Abi dan Uminya saja?

Tak sampai lima belas menit kemudian, Fida sudah berada di dalam mobil yang melaju menuju arah Suramadu. Kiai Mudzakir duduk di kursi penumpang samping. Sementara itu, Fida dan Bu Nyai Marhamah di kursi tengah. Dan dua abdi dalem di kursi belakang.

Kiai bercakap-cakap dengan Bu Nyai sejak berangkat hingga kini sampai di gerbang tol Suramadu. Sementara Fida tampak tak acuh. Ia memandang ke arah jendela, menikmati jalanan yang kini telah berganti pemandangan dengan langit kebiruan dan hamparan laut di kiri dan kanan.

"Oh, jadi anak sulungnya Dik Marzuki itu sudah duda, Bi?" tanya Bu Nyai Marhamah setengah melongok ke arah sang suami.

Kiai mengangguk. Pandangannya masih lurus ke depan. "Iya. Sudah cukup lama, Mi. Sudah hampir setengah tahun."

"Ada masalah apa, ya, Bi?"

Seketika, Kiai menoleh seraya mengernyit. "Kenapa Umi sangat ingin tahu?"

Bu Nyai tampak salah tingkah. Ia mengulum senyum di balik telapak tangan kanannya. "Iya, ya, Bi."

Kiai Mudazakkir menggeleng seraya tersenyum. "Wajar, Mi. Manusia. Tapi, baiknya segera tersadar bahwa itu bukan urusan kita." Ia kembali mengalihkan pandangan ke depan.

Sementara itu, Fida hanya melirik pada sang Umi, lalu mendesah pelan seraya memutar bola mata. Ada-ada saja. Segala urusan penyebab perceraian orang saja ingin dicari tahu. Lantas, ia kembali mengalihkan pandangan ke luar jendela.

"Tapi, memang tak terdengar sedikit pun pembicaraan tentang penyebab perceraian Hilmy," ujar Kiai yang seketika membuat Fida tersentak kaget dan menoleh ke arah Abinya.

Hilmy? Rasanya ... nama itu cukup familier. Tapi, Fida tak mampu mengingatnya. Dan mendengar nama itu disebut, seketika mencuatkan keingintahuan lebih lanjut tentang percakapan kedua orangtunya.

"Oh, begitu. Entahlah, Umi tak bisa menebak sama sekali kemungkinan-kemungkinannya," Perempuan paruh baya berkulit cerah itu mengedikkan bahu, "Mereka menikah juga hanya sebentar. Hanya setahunan mungkin, ya, Bi?"

"Iya, sekitar itu. Istrinya itu juga putri Kiai Idris, kan?" Kiai Mudzakkir membenahi sorban hijau di pundaknya.

"Nah, itu. Apalagi, Hilmy itu anak DiK Marzuki, kan? Kita tahu sendiri seperti apa keluarganya."

"Iya. Keturunan Mbah Fauzan memang terkenal tawadhu' dan sangat hormat kepada guru. Sama seperti kakek buyut mereka."

"Iya. Semua orang tahu itu. Bahkan Hilmy diangkat sebagai menantu Kiai Idris, kan, katanya karena dia itu manut. Selain cerdas pastinya."

"Benar. Sama seperti riwayat bagaimana Mbah Fauzan dinikahkan sama Mbah Khadijah. Mbah Fauzan itu santri yang sangat mengabdi kepada gurunya. Makanya, itu bikin Mbah Kholili sangat menyayangi santrinya itu. Itulah mengapa dia dinikahkan dengan putri kesayangannya."

"Iya, ya, Bi. Mbah Fauzan itu bukan anak Kiai, tapi sangat alim dan tersohor karena ahlaknya." Beberapa gelengan dari Bu Nyai Marhamah disertai decakan kagum.

"Dan begitulah beliau menggembleng anak cucunya," Kiai menoleh kembali ke arah kursi penumpang belakang, lalu kembali lagi menatap ke depan, "meskipun aku dan Dik Marzuki itu ada hubungan saudara, tapi dia menghormatiku seolah-olah aku ini gurunya. Masyaallah takzimnya luar biasa."

Kiai dan Bu Nyai terus saja bercakap-cakap. Hingga, tak sampai lima menit kemudian, mereka keluar dari jembatan terpanjang se-Asia Tenggara itu, lalu berbelok ke arah Desa Sukolilo barat.

Perkampungan nelayan. Jalanan sempit dengan aspal abu-abu yang memutih. Udaranya pasti tak jauh beda dengan Surabaya. Panas. Hanya saja, karena berada di dalam mobil, membuat udara panas dan sepertinya juga lembab itu jadi tak terasa.

Entah berapa ratus meter dilalui, akhirnya sopir berkopyah putih di kursi kemudi itu menurunkan kecepatan setelah Kiai memberi petunjuk arah. Mobil berbelok, memasuki halaman luas dengan deretan rumah di sekelilingnya. Ada kurang lebih empat rumah berjajar dalam satu halaman.

Fida membenahi tali slingbag mininya, lalu menegakkan badan. Ia bersiap turun ketika mobil sudah berhenti.

Ia melongok ke arah timur. Ada beberapa perempuan berbagai usia, duduk bergerombol di depan bangunan kecil mirip kamar dengan teras yang cukup luas. Bangunan yang berada di pojok pekarangan, di sebelah rumah paling ujung. Sepertinya, hampir semua membawa anak. Ada yang masih bayi, ada yang balita.

"Itu tempat Nyai Romlah," ujar Bu Nyai Marhamah tanpa ditanya. Sepertinya, dia paham keingin tahuan timbul dari gerak-gerik sang putri, "dia itu dukun bayi." Bu Nyai membuka pintu mobil, lalu segera turun.

"Oh ..." jawab Fida lirih. Ia kemudian bergeser ke pintu kiri, bermaksud turun mengikuti Uminya.

Alih-alih membuka pintu kanan, di mana Fida duduk tadi, ia lebih memilih bergeser dan mengekori sang Umi. Ini dilakukan sebagai bentuk sopan santun saja.

Dua abdi dalem itu juga ikut turun, lalu langsung menuju belakang mobil untuk mengambil beberapa tas berisi buah tangan.

Seorang lelaki paruh baya berperawakan kurus tinggi berjalan cepat menghampiri. Ia langsung menunduk, berusaha mencium pungggung tangan Kiai Mudzakkir.

Tapi, alih-alih kagum terhadap contoh adab dan ahlak di hadapannya, Fida malah terkesiap dengan hal lain yang kini tampak di hadapannya. Seorang lelaki kira-kira akhir dua puluhan, mengekori lelaki paruh baya tadi. Lelaki itu sangat mirip dengan pria yang Fida tabrak kala itu, lebih dari setahun lalu.

Kiai Mudzakkir berkata bahwa tadi nama putra Kiai Marzuki adalah Hilmy. Dan pria bumbu sate itu juga bernama Hilmy. Jadi ... lelaki yang kini menunduk untuk menjabat tangan sang Abah adalah ... Hilmy yang itu. Tidak salah lagi.

Saat Fida tersadar, ia menjadi panik. Seketika saja ia bergeser dan mencoba bersembunyi di balik tubuh sang Umi. Ah, mengapa Bu Nyai harus bertubuh langsing. Seharusnya, perempuan seusia Bu Nyai Marhamah bertubuh sedikit berisi agar putrinya bisa lebih mudah bersembunyi dari lelaki yang pernah ditabraknya itu.

[END] Sahaja CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang