Langkah Fida terhenti di belakang ambang pintu ruang tengah. Ia yang baru turun dari kelas setelah mengajar kursus bakda Isya, terkesiap ketika sang Abah memanggil dan menyuruhnya duduk. Kedua tangannya erat mendekap kitab dan buku-buku, dengan kelopak mata bulat yang melebar.
Entah mengapa, seketika cemas menggelayuti setiap sudut hatinya. Ingatan perihal kejadian Bu Nyai Marhamah yang menanyai santri perempuan beberapa minggu yang lalu, kembali berkelebat di kepala. Padahal, setelah hari itu, Fida sudah berusaha menjaga interaksi dengan Hilmy.
Perlahan, Fida duduk pada ujung sofa yang berhadapan dengan kedua orangtuanya yang duduk bersebelahan. Meletakkan buku dan kitabnya pada meja. Merapikan lipatan sarung batiknya untuk menyembunyikan gugup yang semakin kuat terasa.
Karena cemas yang semakin mengusik, bahkan degup jantung cepatnya seolah mampu ia dengar sendiri. Tak hanya itu, suara para santriwati yang biasanya hanya serupa dengungan samar-samar, kini terasa jelas dan penuh di telinganya. Berulang kali ia menghela napas dalam. Terasa keringat dingin menetes di pelipisnya.
Memang wajah kedua orangtuanya tampak tenang dan semringah. Tapi ... kecemasan itu terus saja tak bisa ditepis. Semoga saja Kiai dan Bu Nyai tak membahas perihal Hilmy.
Kiai Mudazkkir berdeham di balik kepalan tangannya. Ia lalu menatap sang putri lekat-lekat dengan senyum terkembang di bibir.
"Nduk, kami ingin menanyakan sesuatu padamu," ujar Kiai dengan nada pelan dan terkesan hati-hati, membuat Fida menahan napasnya sesaat, "ini perihal Nak Hilmy-"
Tidak, tidak boleh. Hilmy tak boleh terkena teguran hanya karena kesalahpahaman.
"Mboten, Abi," seketika Fida memotong kalimat sang Abah. Padahal biasanya, mana dia berani melakukan itu? "Kulo tidak ada hubungan apa-apa dengan Kak Hilmy. Ini cuma karena makanan. Bahkan, kulo tidak punya nomor ponselnya. Wallahi, Abi. Kulo mboten berani macam-macam."
Kiai terkekeh dan menggeleng pelan, membuat Fida menjadi kebingungan. Apa dia salah berucap? Atau ini karena ketidaksopanannya ...? Ya Allah, karena terlampau cemas, Fida baru sadar telah berbuat tidak sopan.
"Ndak. Abi ndak menuduh kamu macam-macam. Ini ... soal pertunanganmu dengan Hilmy."
Seketika, Fida membelalak. "Pe-pertunangan?"
Bu Nyai Marhamah tersenyum kecil di balik telapak tangannya. Lalu, ia menepuk pelan pundak sang suami.
Kiai Mudzakkir yang sempat terkekeh, kini mengangguk pelan. "Iya. Abi sudah menanyakan pada Hilmy dan dia menerimanya. Sekarang, Abi tanya sama kamu. Kamu bersedia menikah dengan Hilmy?"
Fida masih tak mampu menjawab. Alih-alih mereda, degupan jantungnya kini semakin cepat. Bukan lagi cemas, tapi ... entah mengapa, rasanya sangat berbeda. Seperti bahagia yang meluap-luap.
"Dia seorang duda," sambung Kiai Mudzakkir, "dan kita juga ada hubungan saudara. Menikah itu lebih baik tahu tentang keluarga kedua belah pihak. Karena ketika telah menikah, bukan hanya kamu dan Hilmy, tapi dua keluarga akan terhubung dan menjadi semakin dekat. Selain itu, saling mengetahui bagaimana sifat dan perbuatan tetua-tetua terdahulu, akan menenangkan hati dan mempermudah kalian melalui bahtera rumah tangga."
"Benar sekali," timpal Bu Nyai Marhamah, "karena perbuatan dan sifat orangtua akan berpengaruh kepada jalan hidup anak cucunya. Dan kami memilih Hilmy karena Mbah Fauzan yang begitu tawadhu' sifatnya. Pun kita juga tahu juga bagaimana Hilmy mengabdi di pesantren Kiai Bahar, kan? Dia juga diangkat menjadi menantu Kiai Idris. Insyaallah dia jodoh yang baik."
Ya, Fida tak perlu menjawab pertanyaan orangtuanya. Diamnya gadis perihal pernikahan, adalah persetujuan. Tentu saja. Bukan hanya setuju, tapi Fida sangat-sangat bahagia.
Keesokan harinya, kebahagiaan itu tak mampu Fida sembunyikan sama sekali. Ketika duduk di teras masjid untuk memasang sepatu usai jamaah Dzuhur, ia melihat Hilmy di sudut teras masjid bagian putra. Calon suaminya itu juga tengah sibuk dengan kaos kakinya.
Degupan jantung Fida terasa sangat cepat. Tanpa sadar, ia mematung seraya menatap ke arah Hilmy berada. Entah berapa lama, sepertinya sangat-sangat lama. Karena setelahnya, Fida baru tersadar ketika Nayla yang duduk di sebelahnya, menepuk pundak dan memanggil namanya.
"... kok, ngeliatin ke arah situ?" Nayla menaikkan alis dan dan tersenyum nakal, "Hayo ..." ia mengarahkan pandangan sekali lagi ke arah Hilmy, "jangan bilang lagi ngecengin Mas Hilmy ..."
Fida seketika membelalak. Ia menggeleng cepat. Tapi, reaksi kimia tubuhnya tak bisa dihentikan. Terasa pipinya memanas. Pasti, pipinya sudah tampak merona merah. "Ah, apaan, sih, Bu Nayla. Aku cuma liatin anu ... ehm ... itu, anak-anak yang lagi main."
"Alah, Ning ... sampean ini nggak bakat akting." Nayla terkekeh, ia mengarahkan pandangan ke arah Adeeva yang masih duduk menunduk di sebelahnya masjid. "Ya, kan, Va?"
Seketika, Adeeva mendongak. "I-iya." Ia berusaha tersenyum. Tampak sangat dipaksakan. Begitu kentara seperti seseorang yang ingin menghindar. Lagipula, tadi tampak jelas Adeeva sudah selesai dengan sepatunya, kan?
"Kamu kenapa, Va? Kok, diem aja? Sakit?" Nayla mengernyit. Ia yang duduk di antara Fida dan Adeeva, seketika menggeser posisi mendekat pada perempuan yang tampak aneh itu. Lantas, ia melongok, berusaha menangkap wajah kawan baiknya.
"E-nggak, kok." Adeeva menggeleng cepat. "Aku baik-baik aja. Sudah, yuk, kita segera balik. Aku mau makan siang di kantor."
"Ya, udah, ayo." Nayla mencebik dan mengangkat bahu seraya beranjak.
Bahkan setelah sampai di kantor guru, Fida masih saja belum bisa melupakan kejadian di depan masjid. Ia yang tengah duduk di meja kerjanya sembari merapikan buku dan bersiap masuk kelas, jadi salah tingkah sendiri. Padahal tadi, Hilmy tak menoleh sedikit pun. Calon suaminya itu masih sibuk sendiri dengan kaos kakinya.
Fida jadi tersipu sendiri, lantas ia menggeleng cepat seraya berdecak dan bergumam, "Sadar, Fida, sadar ..."
"Neng?" Nayla yang kebetulan telah berdiri di depan meja Fida dengan setumpuk buku di dekapannya, tampak keheranan dengan tingkah sang kawan, "Sampean kenapa? Jangan-jangan ... ada sesuatu sama ..."
"Selamat, ya, Neng?" Tiba-tiba saja Adeeva muncul dan berdiri di depan meja. Ia mengulurkan tangan dengan raut wajah datar.
"Se-selamat?" Fida menatap Adeeva keheranan.
"Iya. Selamat dengan pertunangan sampean dan Mas Hilmy." Adeeva masih megulurkan tangan. Tapi, tatapannya sangat berkebalikan dengan ucapannya. Raut wajah sang kawan tampak datar dan cenderung muram.
Fida beranjak, menerima uluran tangan kawannya. Sementara itu, Nayla tampak terkesiap. Tentu saja, kabar pertunangan yang sangat tiba-tiba.
"Tu-tunangan? Sama Mas Hilmy?" tanya Nayla yang seketika diikuti pekikan tertahan di balik tangan kanannya yang berusaha menutup mulut.
Fida tersipu. Ia mengangguk pelan seraya menerima uluran tangan Adeeva.
Sementara itu, Nayla seketika memeluk kawannya dengan erat. Sebuah kecupan bahagia mendarat di pipi kiri Fida. "Aku nggak nyangka. Masyaallah. Seneng banget dengernya."
Ya, kabar yang membahagiakan memang. Tapi, ada yang sedikit keanehan. Bagaimana bisa Adeeva tahu kabar itu? Bukankah bahkan Fida saja baru dikabari sang ayah semalam? Bahkan sampai detik ini, ia belum berkomunikasi sedikit pun dengan Hilmy perihal pertunangan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Sahaja Cinta
RomanceKarena doktrin yang diterima sejak kanak-kanak Hilmy harus menjalani pernikahan dengan perjodohan yang sayangnya berakhir buruk. Hal itu membuatnya sangat membenci perjodohan dan menyalahkan kehidupan. Tak disangka, ia bertemu dengan perempuan masa...