Hati Fida begitu lega manakala melihat Hilmy menyunggingkan senyum ketika dia masuk kamar perawatan sang suami. Meskipun keadaan Hilmy masih tampak lemah, tapi senyum itu menyiratkan bahwa keadaan suaminya sudah mengalami sedikit kemajuan.
Kalau bukan karena sopan santun, pasti Fida sudah melangkah cepat mendahului mertuanya. Tapi, karena ingat akan unggah-ungguh yang wajib dijaga, dia menahan diri. Hanya seulas senyum dan mata berbinar menyiratkan kebahagiaan membuncah bisa kembali menemui belahan jiwa.
Fida dan mertuanya duduk di sebelah ranjang Hilmy setelah keduanya menyapa lelaki yang masih tampak lemah itu.
"Sudah sarapan, Cong?" tanya Bu Nyai Sa'adah.
"Lastareh tadi, Uma. Sedikit sebelum minum obat," jawab Hilmy lirih.
Percakapan basa-basi saja berkenaan dengan keadaan Hilmy. Hingga, setelah beberapa saat satu kalimat pernyataan keluar dari bibir perempuan paruh baya itu. Kalimat yang sukses membuat Fida mengulum senyum.
"Ada kabar gembira buat kamu. Biar Nak Fida saja yang ngomong sendiri. Meskipun kita terkena musibah ini, tapi nyatanya tak selalu kabar buruk. Masih ada kabar bahagia dan rezeki luar biasa untuk kalian."
Hilmy mengernyit, lalu melempar pandangan ke arah Fida. Dia tak mengucap pertanyaan, hanya isyarat dengan mimik wajah penasaran
"Aku … insyaallah hamil, Kak. Sudah telat dua minggu. Belum periksa ke dokter, sih. Karena baru kemarin lusa yang tes."
Raut wajah Hilmy seketika cerah. Meski dia hanya bisa berbaring dan tak bisa banyak bergerak, tapi tampak jelas raut bahagia di wajahnya ketika mendengar hal itu. Kalimat hamdalah meluncur lirih dari bibirnya.
Lantas, beberapa puluh menit kemudian, terdengar suara salam yang ternyata dari Nayla dan beberapa rekan pengajar yang datang menjenguk. Kurang lebih ada tak sampai sepuluh orang, mungkin tujuh atau delapan orang saja. Suasana kamar perawatan menjadi sedikit lebih ramai. Hanya saja, sekitar setengah jam kemudian, dokter visite datang memeriksa, membuat percakapan basa-basi itu terjeda.
"Kalau begitu, lebih baik kami pamit saja, Gus," ucap salah satu ustadz berkacamata.
"Iya, soalnya biar nggak ganggu di sini. Pun begitu, jam pelajaran selanjutnya juga para guru bisa segera masuk," timpal salah satu ustadzah bertubuh sedang.
"Iya. Terima kasih banyak," jawab Hilmy lirih.
Mereka akhirnya pamit setelah beberapa pengajar lelaki bersalaman dengan Hilmy. Hanya tersisa Nayla saja. Dia beralasan akan sekalian mengunjungi Adeeva yang tengah menghadapi sidang tesis di kampusnya menjelang Zuhur nanti.
Bu Nyai Marhamah mundur dan memilih duduk di dekat dinding kamar yang menghadap langsung pada ranjang sang putra. Sementara Fida dan Nayla berdiri di samping perempuan paruh baya berwajah teduh itu.
Fida sedikit membungkuk, mendekatkan wajah pada sang mertua. "Uma, abdinah pamit mau duduk di depan kamar bersama Bu Nayla."
Bu Nyai Marhamah mengangguk seraya tersenyum ramah menatap sang menantu. "Duduklah di sana. Toh, Uma di sini. Keadaan Hilmy stabil, kan? Oh, ya, mumpung di sini, kenapa kamu tidak sekalian coba melihat antrian di poli kandungan. Kalau memungkinkan, kamu bisa periksa kandungan sekalian."
"Oh, enggi. Kenapa abdinah tidak kepikiran, ya?"
"Nah, benar. Coba saja lihat."
Fida mengiakan saran mertuanya. Dia bergegas keluar setelah pamit kepada Hilmy.
Sejenak, Nayla sempat menanyakan perihal kehamilan Fida. Karena memang, belum banyak orang tahu hal itu.
Sejatinya, ketika kedatangan Nayla tadi, Fida menyimpan sekelumit tanya. Ke mana Adeeva? Kenapa dia tak ikut serta? Absennya salah satu sahabat baiknya itu, mau tak mau menimbulkan kembali kecurigaan di hati Fida. Tapi setelah tahu alasan yang diutarakan Nayla tentang sidang tesis, membawa ketenangan di hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Sahaja Cinta
RomantizmKarena doktrin yang diterima sejak kanak-kanak Hilmy harus menjalani pernikahan dengan perjodohan yang sayangnya berakhir buruk. Hal itu membuatnya sangat membenci perjodohan dan menyalahkan kehidupan. Tak disangka, ia bertemu dengan perempuan masa...