PULAU GILI

74 12 1
                                    

Sembari meletakkan dua kantong plastik besar berisi oleh-oleh, Hilmy duduk di sebelah istrinya, di lantai kayu bagian atas perahu penumpang menuju Pulau Gili. Ia sempat memperhatikan Fida yang hanya menatap sekilas padanya, lalu kembali melempar pandangan ke bawah. Mimik wajahnya masih setegang tadi.

Ya, Fida masih tampak tak nyaman karena kekeliruannya berucap tadi. Hilmy memang seketika menampakkan sikap tak nyaman saat Fida menyinggung tentang Nyi Mahmudah—perempuan sepuh yang dulu hampir menjadi calon istri kakek Hilmy—pagi tadi. Ya, celetukan istrinya itu benar-benar telah menyinggungnya.

Hilmy berdeham di balik kepalan tangannya. Ia lalu menatap sang istri yang masih menunduk, dari samping. "Kamu jangan mabuk laut, ya?" Ia mencolek lengan Fida seraya tersenyum. Membuat istrinya seketika mendongak dan menatapnya.

Fida mengangguk dan tersenyum tipis. Mata bulatnya menatap dalam sang suami, seolah mencari sesuatu. Ya, mungkin dia hanya ingin memastikan bahwa Hilmy sudah tak marah. "Ah, jangan ngeremehin aku. Masak gini doang bakal mabuk." Fida tertawa kecil. Tapi, tawanya tak lepas, masih tampak tertahan oleh kecemasan.

"Ya, siapa tahu aja." Hilmy mengedikkan bahu, lalu menyikut pelan lengan sang istri. Berusaha mencairkan suasana.

Fida membalas sikutan sang suami dengan tepukan halus pada lengan berbalut koko cokelat itu. Ia pun tertawa kecil.

Sejatinya, Hilmy seketika berusaha menyembunyikan ketidaknyamanan hatinya tadi. Tapi sepertinya, tak terlalu berhasil. Ia benar-benar tak mampu berpura-pura baik-baik saja ketika Fida menyinggung perihal perjodohan dengan mantan istrinya. Rasanya, sekelumit amarah, sesal, kecewa, dan entah perasaan buruk apa lagi yang seketika menelusup hati dan melingkupinya. Kegagalan yang lalu, benar-benar pengalaman terburuk bagi Hilmy.

Hilmy mirip dengan Mbah Kiai Fauzan? Kalimat itu benar-benar terasa tak nyaman di hatinya. Karena sejujurnya, hal tersebut bukan pertama kali ia dengar, ini sudah kesekian kalinya. Pertama kali Hilmy mendengarnya dari sang Abah ketika mereka membicarakan perjodohannya dengan Icha.

Berbeda dengan perasaan kala itu yang terselip bangga dan senang, kali ini yang ada malah sebaliknya, kesal dan marah. Dulu, siapa yang tak senang disamakan dengan sang Kakek yang begitu masyhur dengan sifat tawadhu' dan kealimannya? Apalagi, Icha bukan perempuan sembarangan. Ia merupakan putri seorang ulama pengasuh pesantren besar, guru Hilmy sendiri. Pun begitu, parasnya yang ayu, sering menjadi perbincangan di antara santri putra ketika ia nyantri dulu. Meskipun jelas, dari sekian ribu santri, hanya segelintir yang tahu seperti apa Icha yang sebenarnya. Dan kini, Hilmy merasa para santri yang sangat memuja Icha kala itu, tak ubahnya manusia-manusia bodoh dan tertipu.

"Geser dikit." Fida menepuk pelan bagian paha sang suami yang berbalut sarung tenun hijau tua. Ia tampak menatap ke arah samping Hilmy seraya sedikit bergeser ke samping, semakin mendekati pinggiran perahu yang tertutup terpal biru muda.

Mengikuti arah pandangan sang istri, Hilmy menoleh. Ternyata, Furqon, temannya yang merupakan cucu menantu Nyi Mahmudah, sudah naik ke perahu dan menghampirinya. Tadi, kawannya itu berjanji temu di rumah salah satu kerabat Furqon di Mayangan, perkampungan nelayan di Kota Probolinggo, tak jauh dari pelabuhan Tanjung Tembaga. Selain untuk menjemput Hilmy, ia juga membantu menitipkan mobil ke rumah kerabatnya itu.

Furqon seketika duduk di samping kawannya. Ia mengembuskan napas panjang melalui mulut. "Nunggu rombongan wisatawan sebentar lagi. Untung saja sampean segera datang. Kalau nggak, kita ikut kapal yang biasanya, bisa-bisa nunggu lama."

Ya, penduduk Pulau Gili biasa menyebut perahu penumpang itu sebagai kapal. Perahu berkapasitas sekitar dua puluhan orang itu berukuran tak terlalu besar, hanya sepanjang kira-kira empat meter dengan lebar sekitar dua meter saja. Bentuknya khas. Terdiri dari dua lantai perahu, bagian lambung yang biasanya dipakai untuk mengangkut barang, dan bagian atas dengan lantai datar yang memang diperuntukkan bagi penumpang. Tak ada bangku atau kursi. Para penumpang duduk bersila selama perjalanan sekitar setengah jam menuju Pulau Gili.

[END] Sahaja CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang