PENGAKUAN

198 28 2
                                    

Satu helaan napas sebelum Hilmy menjawab salam dan sapaan sahabatnya. "Masih inget saya sampean, Ra?"

Terdengar kekehan dari seberang. "Siapa yang bisa lupa, Brotha …"

"Sampean ada di mana? Nggak ingat pulang, huh?" Hilmy mengedar pandangan beberapa saat, sebelum penglihatannya terhenti pada bangku semen di depan ruang kantor sekolah. Ia lantas duduk di bangku itu. Beberapa santri  menunduk ketika lewat di depannya.

"Inget. Tapi, bukan saatnya pulang," lagi, terdengar tawa dari seberang, "Ra, saya mau minta bantuan," kini nada suara Ali terdengar berbisik.

"Nggak usah bisik-bisik. Mau bantuan apa?"

"Ehm … urusin surat numpang nikah. Saya mau nikah."

"Apa?!" Hilmy hampir memekik. Dia membelalak seketika, "Sampean ini sadar sama ucapan sampean, Ra? Nikah? Nggak izin dulu? Pulang atau minimal ngabarin."

"Sssttt … jangan rame-rame. Nanti saya ceritain. Yang jelas, saya perlu surat dari KUA sana."

"Nggak, nggak, cerita dulu."

"Ntar malam gimana? Saya sekarang lagi ada urusan pekerjaan." 

"Nggak bisa ayo, cerita."

Terdengar bel masuk berbunyi yang rupanya membuat Ali senang. Sepertinya, ia mendesah lega. "Nah! Sudah bel masuk. Ayo, Pak Ustadz cepet ngajar." Lagi, Ali terkekeh yang diikuti salam dan panggilan yang terputus.

Beberapa menit kemudian, sebuah pesan chat mendarat di aplikasi obrolan. Pesan dari kontak Ali.

Lora Ali

Tengkyu, Brotha … semua berkas yang diperlukan aku kirim hari ini. Besok insyallah sudah sampai. ;3'

09.02


Hilmy mengantongi membali ponselnya, llangkah ke kantor sekolah untuk selanjutnya meneruskan kegiatannya mengajar.

Sepanjang sisa beberapa jam mangejar, ia berusaha sekuat tenaga menyembunyikan segala kecamuk batin dan amarah yang masih tersisa dari kejadian di rumah. Berusaha profesional agar tak mengganggu kegiatan mengajarnya.

Lantas ketika ia sudah duduk pada jok motor dan bersiap pulang, kembali amarah menggelegak di dadanya. Bagaimana mungkin bisa melihat wajah perempuan itu lagi? Kejadian kehilangan itu baru sebulan lalu. Masih berkelebat di kepala, bagaimana Hilmy pontang-panting mengantar istrinya ke rumah sakit karena pendarahan. Dan semua berakhir dengan kehilangan janin di kandungannya. Ia yang sangat terpukul dan bersedih karena kehilangan itu, tentu saja tak akan mungkin bisa menahan amarah ketika mengetahui kenyataan yang sebenarnya. Apalagi … jika mengingat pembicaraan tadi pagi. Begitu ringan perempuan itu mengucapkannya.

Hilmy melajukan motor dengan kecepatan sangat pelan. Bahkan, berharap dia tak pernah sampai ke rumahnya hingga beratus tahun mendatang.

Ia mengembuskan napas panjang melalui mulut sebelum turun dari motor. Tampak ibu-ibu bergerombol di depan teras bangunan serupa kamar di sebelah rumah paling timur yang berjarak satu rumah dari rumah Hilmy. Itu adalah rumah Nyai Romlah, nenek tiri Hilmy. Kebetulan, rumah mereka berada di satu pekarangan dengan halaman luas.

Nenek tirinya merupakan dukun bayi. Dia telah memberi banyak nasihat dan resep jamu penguat kandungan kepada Icha. Tapi, pada akhirnya janin itu harus gugur juga. Tentu saja, karena sengaja dilenyapkan oleh dua perempuan laknat itu.

Selama sisa hari, Hilmy sengaja tak menghiraukan keberadaan dua perempuan itu. Dia bersikap seolah-olah mereka tak ada. Bahkan meskipun ada kelebat Nia di dapur—kebetulan kamar Nia berada di kamar paling belakang—ia sama sekali bersikap tak acuh. Sementara itu, Icha terus saja mengurung diri di kamarnya. 

[END] Sahaja CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang