10. Pengakuan Adrian

1.9K 260 33
                                    

Jika semalam Adelio yang memeluk Cherry, maka ketika bangun pagi, posisi mereka justru kebalikannya. Malah Cherry yang secara tidak sadar memeluk Adelio. Tidak hanya dengan tangan saja, tapi kaki pun ikut dia naikkan ke atas pinggang pemuda itu. Dan untungnya, Adelio bangun duluan, jadi dia bisa melihat secantik apa wajah gadis di dekatnya kala benar-benar terlelap.

"Hmmm," gumam Adelio saat mulai meneliti iras Cherry yang begitu putih. Hidung gadis itu memang tidak begitu mancung, bulu matanya juga tidak begitu lentik, namun entah kenapa hal itu justru membuatnya kian cantik dan indah ketika dilihat. Tunggu, apa yang sedang Adelio pikirkan? Indah? Cantik? Siapa yang indah? Siapa yang cantik? Si Labu? Adelio langsung menggeleng dan merubah posisi menjadi duduk. Tak menghiraukan kaki Cherry yang masih terletak di atas tubuhnya. Ia bahkan tak segan mendorong tubuh gadis itu ke samping. 

"Kamu udah bangun?" Ternyata dorongan keras Adelio tadi membuat Cherry terjaga dan ikut duduk di atas tempat tidur. Gadis itu mengusap matanya sambil menguap. Kemudian turun dari ranjang dan keluar dari kamar Adelio tanpa menunggu pemuda itu menjawab pertanyaannya. Hal yang bikin Adelio mengerutkan kening heran plus tidak habis pikir.

"Aneh banget." Adelio geleng kepala lagi, lalu beranjak dari tempat tidurnya menuju kamar mandi. Sama seperti Cherry yang juga melakukan hal yang serupa. Butuh kurang lebih lima belas menit untuk gadis itu menghabiskan waktu di sana. Lantas turun ke bawah untuk menyiapkan sarapan bagi dirinya sendiri. Untuk Adelio? Bodoh amat. Cherry sama sekali tidak peduli.

Namun, alih-alih Cherry, Adelio justru sudah lebih dulu ada di dapur. Membuat Cherry memelankan langkah dan mengerutkan alis. Saat itu ia pikir Adelio tidak menyadari kedatangannya, ternyata ia salah besar.

Karena ...

"Kamu mau saya masakin apa? Atau go food aja?" Pertanyaan itu terlalu tiba-tiba sampai Cherry tergagap saat menjawabnya.

"S-saya masak sendiri aja." Gadis itu mendekati Adelio dan mengambil spatula di tangan pemuda itu sambil berkata. "Mending kamu tunggu di meja makan aja. Biar saya masakin."

"Saya juga bisa masak." Adelio merebut spatula itu lagi.

"Nggak nanya."

"Cuma mau ngasih tau aja, sih."

"O."

"O doang?"

"Terus apa? Kamu mau saya bereaksi gimana? Cowok bisa masak itu banyak, bukan kamu doang."

Dalam hati Adelio, iya juga ya, kenapa juga saya pengen dia terkesan? Kemudian ia menghela pelan dan pergi dari dekat Cherry. Sebab jika di sana, ia khawatir ada hal-hal yang tidak diinginkan timbul dalam dirinya.

Karena baru tidur seranjang semalam saja perasaan Adelio sudah sangat aneh. Apalagi kalau dia tambah berlama-lama sama Cherry. Bisa-bisa ia makin tidak bisa mengendalikan diri.

"Bab--"

"Jangan panggil saya babu, itu nggak enak banget buat didengar," potong Adelio cepat sembari berhenti melangkah. Suaranya agak ketus di telinga Cherry.

"Kamu mau makan apa?" Susah payah Cherry melanjutkan kalimatnya yang sempat dipotong tadi.

"Nggak ada. Saya mau makan di luar."

"Ya udah kalau gitu." Cherry mengangkat bahu tidak peduli, kemudian lanjut dengan masakannya lagi sambil bersenandung kecil. Sementara Adelio justru berhenti di teras setelah keluar dari rumah. Di sana, ia menarik napas dalam-dalam untuk menghirup udara segar. Ponsel di saku celananya bergetar, tapi tidak lekas ia hiraukan. Pemuda itu lebih memilih diam dan melarikan pandangan ke halaman rumah Kakek Cherry yang bergaya Mediterania itu.

Pasutri Seratus Senti Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang