"Jadi kapan lo bakal kasih tau Mama sama Papa kalau Lav hamil anak lo?" Butuh waktu nyaris dua jam setelah Adelio memukul Adrian tadi hingga pertanyaan itu keluar. Saat ini Adrian kembali duduk di atas tempat tidurnya, sementara Adelio duduk di atas kursi di sebelah ranjang itu.
"Gue nggak tau, Yo. Gue selalu takut kalau bahas tentang ini." Kepala Adrian tertunduk dalam. "Tapi mau gimana lagi, semuanya udah terjadi. Mau sekeras apa pun gue sembunyiin, tetap aja suatu hari Mama sama Papa bakal tau. Jadi kayaknya, gue bakal kasih tau mereka dalam waktu dekat kalau Lav setuju. Karena gue butuh pendapat dia terkait apapun yang gue lakuin ke depannya. Karena ini bukan cuma tentang gue doang, tapi juga tentang Lav dan anak gue."
Adelio menghela gusar. "Orang tua Lav gimana? Mereka udah tau belum soal ini?"
"Belum. Yang tau cuma Lav, gue, sama lo doang. Para orang tua belum tau apa-apa sejauh ini. Makanya gue takut banget sekarang, gue nggak bisa bayangin semarah apa Papa sama Papanya Lav kalau tau putrinya hamil anak gue."
Entahlah, Adelio juga bingung harus memberi saran apa kepada kembarannya. Dia sudah kehabisan akal untuk menyelesaikan masalah Adrian yang terlampau besar. Yang saking besarnya, mampu mengubah amarah Adelio menjadi rasa iba.
"Dan Cherry--"
"Nggak usah mikirin Labu--maksud gue Cherry, biar gue aja yang urus dia," potong Adelio cepat dan langsung diangguki oleh Adrian.
Pemuda itu menipiskan bibir. "Gue minta maaf, Yo."
"Nggak usah, lagian ini terjadi gara-gara lo ngikut saran gue. Jadi kalau ke Cherry, biar gue aja yang ngasih penjelasan ke dia secara baik-baik."
Lagi-lagi Adrian mengangguk pelan dan berterima kasih. Sebenarnya, ia ingin meminta agar Adelio lebih mencintai Cherry guna menebus kesalahan mereka karena telah menyakiti gadis itu tempo hari. Hanya saja, Adrian merasa tidak punya hak untuk memaksa Adelio lebih jauh lagi. Jadilah dia membahas hal lain dengan kembarannya hingga menjelang sore. Seperti biasa, Adelio selalu lebih banyak diam dan menjadi pendengar. Sementara Adrian akan bercerita sebanyak-banyaknya. Tentang kenangan yang Adelio lupakan, tentang momen yang Adelio lewatkan, tentang hubungannya dengan Lavina, dan masih banyak lagi.
***
"Tadi pagi, Iyo bilang mau beli rumah baru di Bali biar kami nggak ngerepotin Mama sama Papa terus di sini. Atau kalau nggak di Bali, di mana aja yang penting aku suka dan nyaman tinggal di sana." Cherry mulai bercerita tentang rencana pindah rumah kepada mamanya--yang datang ke rumah Adelio setengah jam lalu, juga kepada mamanya Adelio. Tentu saja, dengan sedikit bumbu dusta agar para Mama percaya jika dia dan Adelio sudah jatuh cinta. Sedangkan para Papa tidak ada di sana karena sedang sibuk bergelut dengan pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan.
"Kenapa? Mama malah suka kalau kamu sama Iyo tinggal di sini." Ekspresi Fika langsung berubah detik itu juga.
Sekarang mereka sedang duduk di ruang tamu bernuansa putih berpadu dengan silver. Yang juga dilengkapi oleh furnitur berwarna senada hingga ruangannya tampak begitu leluasa.
"Iya, Cherry, lagian Bali itu lumayan jauh. Mama jadi susah kalau mau ketemu kalian." Kalimat Ratih langsung diangguki oleh Fika. "Saran Mama nih, ya, kalau kalian emang pengen tinggal terpisah sama orang tua, lebih baik kalian cari rumah di dekat sini aja, biar kami lebih mudah kalau mau ketemu kalian."
"Nanti aku tanya sama Iyo dulu ya, Ma."
"Iya, sayang. Sekalian bilang ke Iyo, kalau mau pindah ke Bali lebih baik nggak pindah sama sekali. Mama nggak mau jauh-jauh dari kamu." Kali ini Ratih terdengar setengah bercanda, padahal Cherry tahu, ada ketegasan dalam kalimatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pasutri Seratus Senti
RomansaSetelah tahu sang mantan mengandung anaknya, Adrian nekat minum obat bius di hari pernikahannya dengan Cherry. Ia mengira dengan begitu perjodohan tersebut akan ditunda, nyatanya Mamanya yang sering nonton film India malah mencetuskan ide tidak terd...