Adelio tidak punya tebakan bila sore ini akan hujan. Pasalnya, ketika ia mengendarai mobilnya menuju apartemen Daniel, langit masih cukup cerah. Makanya Adelio sedikit heran mendengar suara hujan yang begitu lebat. Lebih dari itu, ia lebih penasaran apa yang dilakukan Cherry di luar di saat seperti ini.
“Bentar, ya,” izin Adelio pada Daniel yang sedang menjelaskan tentang keuntungan yang akan Adelio dapatkan apabila mau menjadi pemeran utama pria di film tersebut.
Daniel mengerutkan kening. “Mau ke mana?”
Adelio tidak menjawab, ia langsung keluar dari ruang kerja Daniel begitu saja hanya untuk melihat Cherry. Rupanya, gadis itu sedang berdiri di belkon dan menjulurkan tangan ke luar demi menangkap rinai hujan yang makin melebat. Melihat Cherry yang asyik memainkan hujan sendirian, senyum Adelio mengembang tanpa sadar.
Merasa lega usai melihat sang istri, Adelio berniat kembali ke ruangan Daniel. Sayangnya, kilatan petir dan suara gemuruh yang menggelegar menghentikan langkahnya. Di saat yang sama, Cherry berteriak keras, berjongkok dan menutup telinga.
“AAAAAA!” Pekikan itu membuat Adelio maju selangkah lebih dekat. Tidak lebih dekat karena ada gengsi yang menahan langkahnya. Namun, gengsi itu tidak berlangsung lama karena suara gemuruh kedua yang jauh lebih keras dibanding sebelumnya membuat Adelio berlari secepat yang ia bisa ke arah istrinya.
“Lio …” Suaranya begitu lirih, tapi begitu jelas di telinga Adelio. Membuat Adelio menepis segala ragu hanya demi memeluk Cherry yang tampak gemetar ketakutan. Dalam sekejap, tubuh Cherry yang lebih kecil tenggelam dalam rangkulan.
“Lain kali kalau mau main hujan, bilang dulu ke saya, biar saya temani.” Kali ini Adelio serius dengan kalimatnya. Jangan tanya kenapa, Adelio pun tidak tahu jawabannya. Satu-satu hal yang ia tahu saat ini adalah, ia merasa punya tanggung jawab untuk melindungi Cherry sebagai seorang suami kendati keduanya belum saling mencintai. “Biar nanti kalau kamu takut, kamu bisa pegang tangan saya.”
“Kalau peluk, boleh?” Mungkin berpegangan tangan tidak cukup untuk menghilangkan ketakutan yang Cherry rasakan, makanya ia minta berpelukan. Adelio tidak masalah dengan itu. Lagi pula, ia mulai membulatkan tekad untuk bertanggung jawab atas Cherry sebagai seorang suami agar gadis itu tidak kecewa sekali lagi.
“Nanti saya pikir-pikir lagi.” Demikian jawaban yang Adelio berikan tepat setelah menciptakan pelukan yang kian erat serta rapat. Ia berkata seperti itu, karena masih gengsi untuk memberikan jawaban bila ia siap memberi pelukan saat Cherry ketakutan.
Cherry mengangguk dengan bibir sedikit manyun. Ia membalas pelukan Adelio dengan tangan mungilnya. “Itu aja butuh mikir.”
Adelio terkekeh. Ia mengabaikan perkataan Cherry dan mengalihkannya ke hal yang lain. “Ayo, kita masuk.”
“Saya masih mau main hujan,” rengek Cherry, masih belum melepas pelukannya dari Adelio.
“Nanti kalau ada petir lagi gimana?”
“Saya tinggal peluk kamu lagi kayak gini.”
Helaan napas gusar Adelio kembali terdengar. “Kayaknya kamu mulai nyari-nyari kesempatan dalam kesempitan.”
“Kamu kali yang begitu, saya mah enggak.”
“Kalau nggak, kenapa pelukannya nggak dilepas-lepas dari saya?” goda Adelio jail hingga Cherry langsung melepas rangkulannya.
“Udah saya lepas tuh,” ujar gadis itu sedikit kesal. Bisa-bisanya Adelio memintanya melepas pelukan padahal ia masih waswas dan ketakutan. Bagaimana jika suara petir yang menyambar kembali terdengar?
KAMU SEDANG MEMBACA
Pasutri Seratus Senti
RomanceSetelah tahu sang mantan mengandung anaknya, Adrian nekat minum obat bius di hari pernikahannya dengan Cherry. Ia mengira dengan begitu perjodohan tersebut akan ditunda, nyatanya Mamanya yang sering nonton film India malah mencetuskan ide tidak terd...