Jika boleh jujur, kesungguhan Adelio dalam meminta maaf berhasil membuat Cherry luluh, hanya saja gadis itu tidak akan menunjukkannya secara terang-terangan apalagi ketika ia sangat suka mempermainkan Adelio hingga pemuda itu kelelahan.
“Saya tau kamu belum maafin saya, tapi boleh nggak kalau kita diskusikan sesuatu malam ini?” Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam ketika Adelio tiba-tiba muncul di depan pintu kamar Cherry yang terbuka.
Cherry yang sedang mengambil piama merah muda di lemari berhenti, ia berbalik untuk memandang Adelio yang melangkah masuk.
“Saya belum mengizinkan kamu masuk,” ucap gadis itu sarkas, membuat Adelio langsung menghentikan langkah patuh dan mundur. Normalnya, ia tidak akan menunggu izin Cherry untuk masuk, namun sekarang situasinya berbeda, gadis itu sedang kesal dan ia tidak bisa berbuat semaunya, jika ia nekat maka gadis ini akan mendiamkannya lebih lama lagi. “Dan saya nggak mau mendiskusikan apa pun sama kamu.”
“Tapi ini … bisa dibilang cukup penting.” Adelio sungguh-sungguh dengan kalimatnya.
“Sepenting apa?” Cherry mengerutkan kening.
“Sepenting rumah tangga kita,” balas Adelio cepat. Ia juga tidak tahu kenapa memberi balasan itu. Mungkin karena ia sedang malas memikirkan alasan lain atau boleh jadi karena ia mulai menganggap bila rumah tangga ini memang penting.
“Berarti nggak penting,” celetuk Cherry, lantas ia membelakangi Adelio. “Kamu boleh keluar, saya mau ganti baju.”
“Ini penting, Labu, saya butuh persetujuan kamu sebelum kembali berakting.”
“Kenapa? Bukannya kamu nggak butuh pendapat saya untuk semua pekerjaan kamu? Kalau nggak salah ingat, kamu ngomong gitu waktu kita sedang berada di apartemen Daniel,” tambah Cherry lagi, bikin Adelio makin frustrasi.
“Saya nggak serius waktu itu.” Adelio mengakui. “Saya ngomong gitu karena … saya lagi capek aja.”
“Saya nggak peduli, mau kalimat itu serius atau nggak, yang jelas malam ini saya nggak mau diskusiin apa pun sama kamu.”
“Kalau besok gimana?”
Cherry mengangkat bahu acuh.
“Oke, kalau gitu kita nggak usah diskusiin apa pun, tapi nanti jangan complain apa-apa waktu liat saya acting jadi pasangan gadis lain.”
Detik itu juga Cherry membatu, ia meneguk ludah dan diam beberapa lama sebelum kemudian kembali memandang Adelio. “Silakan, nggak punya hak juga saya larang-larang kamu.”
“Kamu punya hak melarang atau setidaknya memberi saran, karena terima atau nggak, sekarang kamu istri saya dan saya suami kamu.” Tatapan Adelio cukup intens.
Cherry menggeleng. “Nggak, saya nggak bakal melarang kamu. Kamu bebas melakukan apa yang kamu mau, karena saya juga ingin bebas melakukan apa yang saya mau.”
Entah kenapa, Adelio tidak suka mendengarnya. “Kamu mau melakukan apa?”
“Untuk sekarang, saya belum tau. Yang jelas saya nggak mau ketika saya ingin melakukan sesuatu yang saya suka, ada larangan dari kamu.”
“Kamu nggak cemburu saya main film sama perempuan lain?” tanya Adelio memastikan dan Cherry lekas menggeleng untuk meyakinkan. “Kalau ada adegan pelukan?”
“Saya nggak cemburu.”
“Kalau lebih dari itu?” Ada harapan dalam suara Adelio. Ia berharap, kali ini Cherry memberi jawaban yang berbeda dari sebelumnya. “Kamu tetap nggak cemburu?”
“Nggak.” Jawaban Cherry cukup tegas sehingga Adelio menganggukkan kepala. Di sini ia sadar bila hanya dirinya yang mulai menerima rumah tangga mereka, sedangkan Cherry justru sebaliknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pasutri Seratus Senti
RomansaSetelah tahu sang mantan mengandung anaknya, Adrian nekat minum obat bius di hari pernikahannya dengan Cherry. Ia mengira dengan begitu perjodohan tersebut akan ditunda, nyatanya Mamanya yang sering nonton film India malah mencetuskan ide tidak terd...