22. Si Paling Sibuk

681 79 95
                                    

Keesokan harinya, barulah Cherry meminta penjelasan Adelio tentang alasan pemuda itu mempekerjakan orang-orang di rumah ini tanpa persetujuannya. Lalu kenapa pemuda itu merekrut para pekerja yang memang sudah pernah bekerja di rumah orang tuanya?

Saat itu Adelio baru selesai mandi, bahkan handuk masih melingkari pinggangnya. Dan ia tengah mengeringkan rambutnya saat Cherry tiba-tiba membuka pintu kamarnya tanpa permisi.

“Ngapain ke kamar saya?” tanya Adelio heran.

Cherry tidak langsung menjawab, ia hanya melangkah dan duduk di tepi tempat tidur Adelio. “Saya mau ngomong.”

“Kalau saya pake baju dulu, boleh?” tanya Adelio lembut. 

Dengan bibir terkatup Cherry mengangguk.

“Kalau gitu kamu keluar du—”

“Mager ah.”

“Masa kamu mau liat saya pake baju?” Pertanyaan Adelio terdengar seperti tuduhan di telinga Cherry.

 Cherry menghela napas keras. Lalu memejamkan mata rapat-rapat. “Cepetan pake baju kamu, saya udah merem nih.”

“Meski kamu udah merem, tetap aja saya nggak nyaman,” ujar Adelio jujur seraya menatap Cherry dengan ekspresi sedikit kesal. Membuat gadis itu berdecak geram.

“Kalau gitu nggak usah pake baju, kelamaan. Saya mau ngomong sekarang.” Gadis itu menepuk tempat kosong di sebelahnya.

“Emangnya kamu mau ngomongin apa sih?” Akhirnya Adelio duduk di sebelah Cherry. Dahinya berkerut, keningnya nyaris bertaut penuh tanya.

“Banyak, tapi pertama-tama saya pengen tau kenapa kamu mempekerjakan mereka di rumah kita, bukannya nggak boleh, tapi … alangkah lebih baik kalau kamu diskusi sama saya dulu,” jelas Cherry tidak santai, ia menatap Adelio yang balik memandangnya. “Kalau kayak gini kamu nggak menghargai keberadaan saya.”

“Loh, bukannya kamu sendiri yang nggak mau diskusi sama saya, ya?” Tentu saja Adelio terkejut mendengar pengakuan Cherry yang tiba-tiba merasa tidak dianggap di rumah ini. “Terus kenapa sekarang kamu bilang saya nggak menghargai keberadaan kamu?”

“Saya nggak mau diskusi soal pekerjaan kamu, itu pun karena kamu bilang kamu nggak butuh pendapat saya. Kalau soal rumah, saya mau,” bantah Cherry cepat, matanya tidak luput dari wajah Adelio. Jujur saja, Cherry lumayan deg-degan berhadapan dengan Adelio yang bertelanjang dada.

“Ooo kirain nggak mau.” Adelio tertawa pelan karena entah kenapa, ia suka melihat Cherry complain seperti ini. Cherry berdecak pelan, reaksi Adelio yang tidak serius benar-benar membuatnya sebal. “Oke saya jelasin, ya. Pertama alasan saya nggak diskusi sama kamu, karena saya pikir kamu nggak mau mendiskusikan apa pun lagi sama saya, kayak yang udah saya sebutkan sebelumnya. Ternyata saya salah, kamu cuma nggak mau diskusi soal pekerjaan saya karena omongan saya di apartemen Danil—meski sebenarnya, saya nggak serius ngomong gitu. Untuk itu saya akui saya salah dan akan memperbaikinya di kemudian hari.”

Cherry diam mendengarkan walau ia sedikit heran, mengapa semakin hari, sikap Adelio semakin baik?

“Terus alasan saya mempekerjakan mereka di rumah kita, karena kita butuh mereka. Pertama Bi Nina yang ngelakuin pekerjaan rumah, itu biar kamu nggak capek. Terus Pak Iwan, beliau saya tugasin buat ngurus semua tanaman di rumah ini agar tetap terawat. Lalu Pak Hamid, saya mempekerjakan beliau karena kita butuh satpam demi keamanan. Selain itu, saya juga akan mempekerjakan supir buat kamu, biar ada yang anterin kalau kamu mau pergi.”

“Emangnya kamu nggak bisa nganterin saya?” Cherry sedikit manyun.

“Bisa, kalau saya nggak ada kerjaan, sayangnya saya bakal sibuk dan mungkin bakal jarang pulang selama proses syuting,” jelas Adelio jujur.

Pasutri Seratus Senti Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang