15. Hujan dan Rasa Takut

788 101 62
                                    

Di perjalanan menuju ke apartemen Daniel, Cherry tidak berhenti mengoceh. Padahal Adelio sangat fokus menyetir dan tidak menghiraukannya sama sekali. Terkadang Adelio menghela gusar, itu pun karena ia tidak habis pikir dengan Cherry yang tidak bisa diam.


“Sunyi banget nih mobil, udah kayak di kuburan aja,” komentar gadis itu. Dalam hati Adelio, sunyi apanya? Dari tadi dia ngomong nggak berhenti-berhenti. “Kamu nggak mau ngomong apa gitu sama saya?”

“Nggak.” Sesingkat itu balasan Adelio. Cherry langsung diam dan manyun. Itu pun cuma sesaat karena tidak lama setelahnya, gadis itu langsung heboh melihat sepasang remaja berboncengan. Pasalnya, remaja perempuan yang duduk di belakang membawa ransel bewarna putih berbentuk kucing. Benar-benar seperti kucing sehingga Cherry gemas sendiri.

“Ihhh gemes banget, saya juga mau punya tas kayak gitu.” Cherry menunjuk para remaja itu, matanya berbinar-binar saat menggoyangkan lengan Adelio yang sedang menyetir. “Ayo kita tanya, dia beli tas itu di mana, saya mau beli juga.”

Adelio berdecak. “Nanti kita cari di e-commerce aja.”

“Nggak mau, maunya sekarang!” tegas Cherry yang tidak bisa bersabar. Tidak heran, karena saat bersama orang tuanya, ia langsung mendapatkan apa yang ia minta. Cherry anak sekaligus cucu perempuan satu-satunya, sehingga keluarganya selalu memanjakannya dan menuruti apa yang ia mau saat itu juga.

Sekali lagi Adelio berdecak. Hanya saja kali ini pemuda itu tidak berkata apa-apa lagi. Terus melajukan mobilnya menuju apartemen Daniel. Di perjalanan, ia sempat melirik Cherry yang mendadak diam beberapa kali. Namun, Adelio memilih membiarkannya meski ia tahu bila Cherry kesal karena tidak dituruti.

“Dah nyampe, ayo turun.” Adelio baru berinisiatif bicara ketika mereka sudah betulan tiba di depan gedung apartemen Daniel. Pemuda itu membuka pintu mobil untuk Cherry.

“Nggak mau.” Bibir Cherry masih mengerucut.

“Ayo, Labu, jangan kayak anak kecil,” bujuk Adelio. Sayangnnya, bujukannya tidak dihiraukan oleh Cherry.

Gadis itu malah menyeletuk, “saya kan emang masih kecil. Kata Papa saya kayak gitu.”

Anehnya, celetukan itu membuat Adelio menahan tawa. “Kalau masih kecil, kenapa nikah?”

Cherry berdecak. “Itu kan kata Papa saya, aslinya saya udah dewasa.”

“Jadi yang bener gimana, nih? Masih kecil apa udah dewasa?” tanya Adelio masih dengan tawa yang tertahan. Sedangkan Cherry yang mulai kebingungan langsung berdecak dan mendorong tangan Adelio yang berdiri di depan pintu mobil sebelum kemudian keluar begitu saja tanpa di minta. Setelahnya ia berjalan memasuki gedung dengan langkah menyentak-nyentak dan duduk di kursi yang tersedia di lobi.

Cherry tidak tahu bila tingkah lakunya tidak hanya membuat Adelio geleng-geleng kepala, tapi juga membuat satpam yang berdiri di depan pintu menahan tawa. Adelio yang sudah mengenakan masker beberapa saat sebelumnya berkata, “maklum, Pak, istri saya lagi ngambek.”

Adelio mendekati Cherry. Di saat yang sama Daniel yang baru keluar dari lift menghampiri mereka. Begitu Daniel sudah dekat, Cherry langsung berdiri dan tersenyum ramah. Adelio sendiri menghela keras.

“Kirain datang sendirian,” basa-basi Daniel.

“Rencanya gitu tapi dia maksa ikut.”

“Enak banget ya punya istri, ada yang nemenin ke mana-mana.”

Dalam hati Adelio, enak apanya? Yang ada malah repot.

Dalam hati Cherry, enak di dia, rugi di saya.

Pasutri Seratus Senti Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang