part 11

1.7K 95 6
                                    

" Iptu Narendra Cokroaminoto," Nara bergumam lirih saat membaca kartu nama yang diberikan polisi tampan tadi malam.

"Siapa? itu nama cowok yang mengantarmu tadi malam?" sinis Nares yang saat itu sedang berjibaku di dapur.

Nara hanya melongok dan tidak menjawab pertanyaan Nares. Matanya kembali teralih ke kartu nama yang membuatnya bertanya-tanya.

Nares yang kesal dicuekin meninggalkan kompor yang sudah ia matikan dan melayang ke arah Nara.

"Nara Paramitha Rusady, tolong ya kalau ditanya hantu tampan seperti diriku itu dijawab, karena aku benci orang-orang yang suka nyuekin. Nggak akan kubuatkan kamu sarapan," Nares berkacak pinggang dan menatap tajam ke arah Nara.

Nara pun menoleh ke arah Nares dan tersenyum simpul.

"Maaf hantu tampan Nares, tapi kamu nggak buatin aku makanan hasil curian lagi, kan?"

Seketika mata Nares melotot dan tangannya menunjukkan arah Nara.

"No-no-no, Nara. Kali ini aku jamin masakannya halalan toyyiban, karena telur ini aku dapat di pekarangan kebun samping kos," Nares dengan bangganya melipat kedua tangan di dada dan bertingkah pongah.

"Itu sama aja, nyuri dari ayam tetangga," Nara mengerucutkan bibirnya.

"Enggak, dong. Siapa suruh ayam tetangga main ke sini terus bertelur sembarangan. Ya, itu hak kita dong," tampik Nares tak mau kalah.

"Ya udah, ya udah. Terserah kamu deh," ucap Nara tapi matanya tetap tertuju pada kartu nama yang membuat Nara mengernyitkan dahi, penasaran.

" Nara...,"

"Tunggu, Res. Sini ...," Nara menarik kemeja Nares yang membuat hantu tampan itu terdorong ke arah Nara. Untung saja tangan Nares sempat bertumpu pada dinding hingga ia tak menimpa tubuh Nara.

Nares menatap ke arah bawah dan melihat kartu nama yang saat ini dipegang oleh Nara.

Nara mendongak dan berucap," Res ... nama orang ini mirip ...,"

Nara menghentikan ucapannya saat sadar matanya bersitatap dengan mata coklat Nares.

Seperti terbawa suasana dan tersedot pada hal-hal yang di luar nalar, jantung Nara berdegup kencang saat matanya memindai satu-persatu apa yang ada di wajah Nares.

Tanpa sadar ia menggigit bibir, membayangkan bibir Nares yang berwarna pink alami dan tipis, serta aroma tubuh Nares yang begitu wangi, bak kembang setaman.

Begitupun Nares. Sewaktu hidup ia tidak pernah berinteraksi dengan perempuan, dan naasnya, sampai ia meregang nyawa pun ia tak pernah merasakan getar cinta.

Hidupnya yang di penuhi oleh aktivitas belajar, membuatnya lupa surga dunia, merasakan hal ganjil saat bersitatap begitu intens dengan Nara.

Layaknya Nara yang mengagumi wajah tampannya, Nares pun begitu. Tatapan sendu mengiba, poni yang jatuh bebas di keningnya dan rambut panjangnya yang terurai, serta bibir penuh di bagian bawahnya itu membuat hati Nares ketar-ketir.

Ingin rasanya ia meraup bibir ranum yang meski tanpa polesan lipstik tetap terlihat menggoda, tapi seketika ia tersadar, kalau ia melakukan itu, Nara akan marah padanya.

"Kamu mau bilang apa, Ra?" Nares seketika memutus tatapannya dan menyentak tangannya di dinding hingga ia kembali berdiri tegak di samping Nara.

Nara yang tersadar dari lamunan gilanya sontak menggeleng dan mengusap wajahnya kasar.

' Mikir apa aku! gila!' batinnya.

"I--ini, Res ... nama orang ini sama seperti namamu. Apa kamu mengenalnya?"

Mata Nares menyipit dan perlahan menundukkan tubuhnya, menyetarai dengan Nara hingga kepalanya nyaris menempel di pipi Nara.

Dag-dig-dug!

Jantung Nara kembali bertalu-talu, padahal barusan saja jantung itu kembali normal saat Nares menjauh darinya.

"Mana, sih...," kali ini Nares malah mengulurkan tangannya dan menyentuh punggung tangan Nara, menariknya hingga ia bisa melihat jelas tulisan di kartu nama tersebut.

Nara memejamkan mata, menahan mati-matian gejolak dalam dirinya saat ini. Tubuhnya terasa begitu lemas, pesona Nares memang luar biasa menggoda imannya.

"Na-ren-dra Cok-ro-ami-noto," Nares membaca dengan terjeda. Alisnya menaut, memikirkan sesuatu.

"Na ... Ra ...,"

Namun, saat ia menggerakkan wajahnya, sesuatu yang lembut tersentuh oleh bibirnya.

Mata Nara seketika membulat dan mengerjap, merasakan sesuatu yang lembut kini menyentuh pipinya, hingga ia di merasakan dadanya seperti akan meledak.

Sontak, Nares menarik tubuhnya menjauh dan menyentuh bibirnya yang tadi tanpa sengaja menyentuh pipi Nara yang lembut seperti pantat bayi itu.

"Na--Nara, ma--maaf, a--aku...," Nares gelagapan. Mencium Nara bukan pertama kali ia lakukan, tapi keadaan saat ini berbeda. Nara sedang sadar dan saat ini Nara hanya terdiam.

Wajah Nara menyemburat merah. Nara malu bukan kepalang. Ini memang bukan kali pertama ia di semtuh pria. Dengan pacarnya, ia bahkan telah berzinah.

Namun, entah mengapa, apa yang dilakukan Nares padanya barusan, membuat gadis itu tersipu malu dan membuat wajahnya panas seketika.

Brught!

Nara merebahkan tubuhnya dan menutup wajahnya dengan selimut. Menyembunyikan wajahnya yang serupa kepiting rebus.

"Nara ...," Nares menatap sedih Nara yang berbaring memunggunginya.

Ia mengira Nara marah, padahal kenyataannya, Nara hanya merasa malu. Rasanya saat ini jantung Nara bertalu-talu, seperti anak ABG yang baru pertama merasakan indahnya jatuh cinta.

Nara tetap diam. Sebisa mungkin otaknya tidak bersuara, takut nanti Nares membaca pikirannya.

Terdengar suara helaan Nares sebelum ia pergi begitu saja. Bukan kesal, tapi Nares malu.

Sunyi dan senyap. Nara membuka selimut yang menutupi wajahnya. Kepalanya bergerak, matanya menyusuri setiap tempat. Kosong!

' Nares kemana?' batinnya.

"Res ...," panggil Nara lirih. Tak ada jawaban. Nara menarik napas dalam.

"Apa Nares marah?" lirihnya sembari menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya.

Ia meringis. Perih dan sakit di area tangannya yang di jahit masih sangat menyiksanya.

Nara melangkah tertatih-tatih ke arah kamar mandi. Aroma telur goreng menyeruak saat Nara melangkah melewati dapur mini kamar kosan tempatnya kini tinggal.

Nara menoleh dan menatap nanar nasi goreng dan telur dadar di atas nakas kecil.

"Nares ...," lirih Nara sedih. Hatinya sedang tidak baik-baik saja. Ia merasa sikapnya tadi pasti membuat Nares sakit hati.

Dengan langkah gontai Nara melanjutkan langkah ke kamar mandi.

Saat berada di kamar mandi, pikiran Nara tak luput dari Nares.

Saat pikirannya sedang kalut, samar-samar ia mendengar pintu kamarnya di ketuk.

Perlahan Nara membuka pintu kamar mandi, menajamkan telinga dan memastikan jika suara ketukkan itu memang berasal dari depan pintu kamarnya.

Tok-tok-tok!

"Nara,"

Nara melangkah tertatih menuju pintu kamarnya, di mana seseorang memanggil namanya.

Gadis itu membuka pintu dan sedikit terkejut saat melihat seseorang sedang berdiri di samping Bu Atin--pemilik kosan.

"A--ada apa, Bu?" tanya Nara saat matanya bertemu dengan mata Bu Atin.

Wajah Bu Atin tampak tegang. Ia menatap Nara dalam sebelum bertanya.

"Na--Nara ... a--apa benar kamarmu ini berhantu?"

****

My Handsome GhostTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang