part 25

1.3K 76 6
                                    

"Oh, itu hanya sekedar tirai yang tersibak," Nara berusaha menenangkan Sasi. Mata gadis berkulit putih itu melotot dan mengintai, ia sangat yakin bahwa tadi yang dilihatnya itu adalah sekelebat bayangan pria di balik hordeng yang bergerak.

"A--aku ma--mau ke kantor dulu Ra, terima kasih karena telah mengundangku untuk masuk dan sarapan pagi ini," Sasi mengumpulkan keberanian untuk bisa pergi secepatnya dari tempat Nara tanpa harus menyinggung perasaan temannya itu.

"Kamu mau pergi sekarang, Sas. Bukankah kamu belum sarapan? ayolah cicipi dulu roti dan selai ini,"

"Tidak usah Nara, maaf aku terburu-buru," dengan menyungingkan senyum getir, Sasi bangkit dari duduknya dan segera pergi dari kamar kosan Nara.

Jantung gadis itu berdegup sangat kencang. Apa yang dilihatnya tentu bukan halusinasi belaka.

"Seorang laki-laki di kosan Nara? apa yang kulihat tadi itu adalah manusia? atau malah setan? setan yang selama ini menjadi perbincangan orang se-kosan?"

Gadis itu berbicara pada dirinya sendiri saat ia akhirnya berhasil keluar dari kamar kosan Nara.

Ia berjalan tergesa dengan jantung yang terus berdegup kencang, hingga ia tak sadar jika ia melewati salah satu temannya yang saat itu sedang duduk santai sembari menyantap sarapannya di luar kosan.

"Wei, Sas, sombong amat Lu, ga nyapa lagi," sapanya. Sasi langsung menghentikan langkah dan menatap ke arahnya.

"I--iya, ma--maaf aku ga lihat," mata Sasi bergerak-gerak seperti sedang mencari sesuatu.

Gadis yang memakai hotpants itu menatap Sasi heran. Ketakutan terpancar jelas dari mata Sasi, juga sikapnya yang terlihat aneh.

Sedangkan tadi ia tidak sengaja melihat Sasi keluar dari kamar Nara.

"Iya, Kamu kenapa Sas, kok seperti orang yang ketakutan?" Gadis itu bangkit dari duduknya dan mendekati Sasi.

Sasi menggigit bibirnya. Ingin rasanya ia untuk jujur, tentang apa yang baru saja dilihatnya di kamar Nara. Sosok laki-laki yang berada di balik tirai kamar Nara.

"Eumh, tidak apa-apa. Aku baik-baik saja. Aku duluan ya, takut terlambat ke kantor,"

Dan, Sasi akhirnya memilih untuk bungkam. Ia takut jika nanti akan terjadi hal yang tidak ia inginkan jika ia mengungkapkan apa yang baru saja dilihatnya di kamar Nara.

Kalau laki-laki itu benar adalah manusia biasa, pasti Nara akan dituduh kumpul kebo dan namanya akan tercoreng gara-gara dirinya.

Dan kalau laki-laki itu adalah setan? pasti makhluk itu akan mendatangi dirinya dan berbuat sesuatu yang di luar nalar.

Sasi memilih untuk menyimpan rapat-rapat apa yang tadi ia lihat. Apapun itu, itu adalah urusan Nara, dan ia tidak ingin terlibat.

Gadis itu lalu berlalu begitu saja, meninggalkan teman yang masih dirundung tanda tanya.

Apa yang terjadi pada Sasi? kenapa wanita itu terlihat aneh setelah keluar dari kamar Nara?

***

Nara memandangi wajah wanita bertubuh kurus yang saat ini duduk di depan dirinya.

Wanita bermata indah itu terlihat asyik menyeruput kopi latte yang ia pesan.

Jemari lentiknya sesekali bermain seolah memamerkan cincin putih bermata indah di tengahnya.

"Mau apa Kak Starla ingin bertemu denganku? bukankah kakak tidak ingin hubungan kita diketahui orang lain?" Nara akhirnya membuka pembicaraan di antara mereka, karena sejak tadi mereka hanya terdiam dan larut dalam pikiran masing-masing.

Wanita itu lalu meletakkan cangkir kopi di atas piring kecil dengan pelan. Ia lalu mengalihkan pandangan ke arah Nara dan menatapnya datar.

"Kamu mau tahu alasanku?" Wanita itu mengangkat salah satu alisnya, dan tersenyum culas.

Nara memandang sendu kakaknya. Wanita yang selama ini dicari-cari kedua orang tuanya, dan juga sangat ia rindukan itu, menorehkan luka di hatinya.

Ia tidak menyangka, kakak yang selama ini menjadi panutannya, terkenal baik dan juga penyayang, sekarang sifatnya berubah 180 derajat.

"Aku, sebenarnya aku memang tidak ingin bertemu dengan kau dan orang yang kau sebut orang tua itu,"

"Dan aku ingin memperingatkan kau untuk yang kedua kalinya, jangan pernah datang ataupun mencariku lagi, karena aku malu mempunyai keluarga seperti kalian, miskin!"

Seperti tersambar petir di siang bolong, tubuh Nara seketika bergetar dan jantungnya seolah berhenti saat itu juga.

Ia menatap nanar wanita di hadapannya yang saat itu memalingkan wajahnya ke arah jalan.

"Apa Kakak sadar dengan ucapan kakak? Kakak tahu bagaimana ibu dan Bapak begitu mengkhawatirkan Kakak dan berharap kakak pulang?"

" Apa kakak tidak merasakan betapa besar kasih sayang orang tua kita terhadap kakak,"

" Apalagi baru beberapa hari ini, ibu dan bapak mengalami musibah di kampung. Hasil panen kita terendam banjir yang tiba-tiba datang. Mereka kini sedang berjuang di kampung, apa Kakak tidak punya rasa belas kasihan?"

"Apa yang membuat Kakak berubah, Kak! tolong jelaskan pada Nara," bibir Nara bergetar menahan sesak yang saat ini menghantam dadanya.

Pedih, bagai ditikam belasan belati, sakit hati.

Bulir bening menetes tanpa bisa ia tahan di kedua ujung matanya. Wanita yang ia tanya kembali mengalihkan pandangan ke arahnya, menatapnya dengan tatapan mengejek dan sama sekali tidak terpengaruh dengan tangisannya.

"Hentikan tangisanmu itu, bocah dungu! jangan buat malu!" sentaknya yang langsung membuat Nara tercekat.

"Apa kau pernah merasakan jadi aku? berjuang sendiri di kota besar, menjadi yang terbaik untuk keluarga dan harus menahan selera!"

" Orang-orang di sekitarku memandang hina, mereka membully karena aku tidak mampu seperti mereka,"

"Hidupku sulit, hingga saat itu aku memutuskan untuk mati bersama orang yang kucintai, tapi ...," Wanita itu menghentikan ucapannya, seolah sadar jika apa yang diucapkannya bisa menjadi bumerang untuknya.

"Tapi apa Kak?" Nara menyorotnya tajam, tapi wanita itu malah mengalihkan pandangan ke arah lain dan mengusap air mata yang sempat keluar dari netranya.

"Kak, please ... maafin orang tua kita, aku pun sekarang berada di posisi sama seperti kakak. Ibu dan bapak ingin melihat kesuksesan, tapi Kakak lihat sendiri keadaanku bagaimana,"

"Aku juga sekarang sedang berjuang, Kak. Aku mohon, jangan buat orang tua kita semakin terpuruk dengan kebencian kakak,"

"Pulanglah, Kak. Mereka kangen Kakak. Kasihan mereka, Kak," Nara mengiba. Ia memberanikan diri untuk menyentuh tangan kakaknya yang berada di atas meja.

Wanita itu terpaku, tapi ia tidak menolak ataupun menghempas tangan Nara saat tangan itu menyentuhnya.

Terdengar hembusan nafas darinya. Wanita bermata indah dengan bulu mata sambung itu menggerakkan wajahnya dan menatap Nara sendu.

" Maaf, kakak tidak bisa, Nara. Karena kakak akan segera menikah,"

"Me--menikah? i--itu berarti bapak yang akan menjadi saksi?"

Wanita itu merespon dengan gelengan. Bibir merah itu terbuka dan kemudian ia berucap," kakak bilang Bapak sudah mati!"

****

My Handsome GhostTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang