part 20

1.5K 90 17
                                    

Rendra terdiam dan menatap sayu Nara yang di kuasai hantu tampan, Nares--kakaknya.

Ada perasaan sedih yang sulit ia ungkap. Bagaimana bisa hantu menyukai seorang manusia? apalagi arwah penasaran yang telah mendiami tempat itu selama 15 tahun?

Rendra bergeming hingga wanita yang beberapa hari ini memenuhi pikirannya itu hilang di balik pintu.

Ia pun akhirnya berbalik dan melangkah pergi dari tempat itu, menuju mobil hitam yang terparkir di pinggir jalan.

Brakk!

Rendra menutup pintu mobil dengan keras. Hentakannya terdengar keras.

"Mana mungkin aku bersaing dengan hantu!" ucap Rendra kesal sembari memukul stir di hadapannya.

Rendra mendengus . Beberapa saat ia larut dalam amarah. Saat hatinya mulai ia buka untuk seorang gadis, di saat itu juga ia harus bersaing dengan kakaknya yang sudah menjadi hantu.

Matanya lurus menatap jalanan sepi di hadapannya. Sudah tak banyak kendaraan berlalu lalang di jalan komplek yang hanya berukuran lebar sekitar tiga meter saja.

Sejenak terbawa dalam lamunan, ia merasakan sesuatu seperti melintas dari satu pohon ke pohon lainnya.

Degh!

Rendra tertegun dan dadanya tiba-tiba berdesir. Matanya menyipit, memastikan jika apa yang ia lihat barusan bukan halusinasi.

Ia memajukan wajahnya ke arah kaca mobil. Matanya bergerak liar ke arah pepohonan pinggir jalan sekitar.

Tak ada apa pun selain kesunyian dan gerakan yang di sebabkan angin malam.

Rendra akhirnya bernapas lega. Pengalamannya sebagai seorang polisi yang sering bertugas di tempat-tempat yang tidak di duga membuatnya peka terhadap makhluk tak kasat mata, tapi sampai saat ini ia belum pernah melihat secara langsung wujud mereka.

Dan, tak dapat di pungkiri, ia pun punya sedikit rasa takut akan hal itu. Ia pun memilih pulang, meninggalkan bungkusan sate begitu saja di depan teras kosan.

Hatinya mencelos. Cukup shock, tapi ada pula perasaan lega karena akhirnya bisa berinteraksi dengan Nares--kakaknya.

"Hmh, setidaknya aku bisa berbicara langsung dengan dirinya," lirih Rendra sembari memutar kunci mobilnya dan tak lama mobil pun menderu.

Kendaraan roda empat milik Rendra bergerak pelan meninggalkan kos-kosan Nara. Tanpa Rendra sadari, di salah satu cabang pohon duduk Neng Kunthi dengan kaki mengayun menatapnya dengan tajam sembari menyeringai girang.

"Wah, brondong cakep tuh," ujarnya diselingi kikikan panjang yang tentu saja tidak didengar Rendra, karena pemuda itu sudah melesat bersama mobil miliknya.

***
Sementara itu, Nares keluar perlahan dari tubuh Nara saat gadis itu sudah terbaring di atas ranjang.

Mata Nara mengerjap saat ia merasakan tubuhnya tak lagi kaku. Ia merasakan keanehan yang baru kali ia menimpa dirinya.

Seperti menonton film. Ia merasa berbincang dengan Rendra tapi ia tak merasa membuka mulutnya.

Ia melihat wajah pias Rendra, tapi ia tak mengerti apa yang membuat polisi muda itu bersedih.

Nara juga melihat kakinya mengayun ke arah kamar dan melewati lorong juga kamar-kamar penghuni kos-kosan yang lain.

Sempat pula ia melihat salah satu teman kosannya yang menyapa dirinya, tapi ia tak mengingat apa ia membalasnya atau tidak.

Semua itu bagai sebuah film yang di putar secara berkala, ritmenya jelas, terasa seperti mimpi yang begitu nyata.

Dan, saat ia tubuhnya sudah begitu rileks, mata gadis itu masih menatap ke arah langit-langit kamarnya yang berwarna hijau Sage, sama seperti cat dindingnya.

Ekor matanya tanpa sadar menangkap kelebatan tubuh yang hendak menembus dinding tapi dengan sigap ia memanggilnya.

"Nares! stop di situ!"

Bayangan putih yang belum sepenuhnya solid itu berhenti dan perlahan menunjukkan tubuh kasarnya.

Nara bangkit dan setengah terhuyung, ia berusaha mendekati Nares, hantu tampan yang beberapa hari ini selalu menghindari dirinya.

Nara hampir saja tersungkur, karena kakinya menyandung kaki meja yang ia lewati.

Beruntung karena Nares begitu peka dan sigap melesat ke arahnya dan menangkap tubuh lemah Nara.

Jantung Nara bergemuruh, dadanya naik turun, tersengal dan sulit untuk bernapas.

Wajah Nares spontan tertunduk dan mendapati gadis yang ia suka sedang kesusahan.

"Nara, tenangkan dirimu. Duduk dan aku akan membuat teh hangat untukmu,"

Sesungguhnya, Nares masih ingin menjaga jarak diantara mereka, tapi rasa peduli itu lebih besar ketimbang rasa gengsinya.

Wajar, seumur hidup Nares tak pernah menyatakan cinta pada seorang wanita, hingga ia bertemu Nara.

Meski dulu, dulu sekali, ia pernah merasakan dicintai seorang wanita cantik, tapi dengan tegas ia menolaknya, karena ingin fokus dengan skripsi.

"Ga! ga mau! nanti kamu hilang dan d
ga mau temani aku. Aku kesepian, Res. Maaf, maafin aku, Res, maafin...,"

Tubuh Nares membeku. Tatapannya terpaku pada gadis yang saat ini mencengkeram kemeja putihnya dengan kencang.

Terdengar suara isakan dan bahu yang naik turun. Ruangan kecil itu menjadi saksi bisu tangisan Nara yang tertahan, yang hanya bisa ia tumpahkan pada dada Nares yang bidang.

Entah mengapa, tubuh Nares menjadi tempat ternyaman baginya, meskipun tubuh itu tak sehangat tubuh Brian yang pernah ia sentuh, dingin, karena Nares bukan makhluk hidup.

Slaps!

Nares begitu saja menunduk dan meraih bahu juga kedua kaki Nara dan menggendongnya ala bridal style, yang membuat Nara tercekat dan lantas menghentikan tangisnya.

"Na--Nares...,"

Cup!

Bibir Nares tiba-tiba saja mendarat di bibir penuh Nara. Mata Nara membola hingga maniknya memantulkan wajah tampan Nares yang begitu dekat.

Perlahan, mata itu menutup dan kedua tangannya melingkar di leher Nares.

Aroma bibir Nares begitu memikat. Perpaduan wangi mint dan juga bunga, terasa manis dan menyegarkan.

Nares begitu lembut mengecup bibir Nara, sesekali ia melumat dengan mesra, hingga Nara pun tak mampu menahan gelora dalam dadanya.

Tubuhnya menegang, ia tak menyangka ciuman manis yang Nares berikan benar-benar menghilangkan lara di hatinya.

Nares pun melepas pagutan mesra itu saat ia tiba di bibir ranjang dan menurunkan tubuh Nara perlahan.

Wajah Nara memerah dan menunduk saat Nares menatapnya dengan intens ketika mereka duduk berhadapan.

"Apa tadi bisa mengurangi kesedihanmu, Nara? please jangan nangis lagi, hatiku perih kalau lihat kamu nangis begitu," tangan Nares menyentuh dagu Nara dan perlahan mengangkatnya.

"Nares ...," mata Nara bergerak, memindai kedua mata Nares, kiri dan kanan.

Mata basah dan berkaca-kaca itu mendorong Nares untuk kembali mendaratkan ciuman-ciuman manis pada gadis pujaannya.

Saat wajah Nares mendekat, Nara menahannya. Kedua tangan Nara menyentuh dada bidang Nares yang berbentuk kotak-kotak, berotot.

Napas Nara memburu, tatapan mata sendu menyimpan nafsu yang menggelora, tapi Nara takut, takut berbuat lebih jauh.

"Ja--jangan, Res," lirihnya dengan degup jantung yang kian bergemuruh.

"Kenapa, Ra? bukankan kamu menyukainya?"

"Aku takut,"

"Takut apa?"

"Hamil anak hantu,"

"Hah?"

****

My Handsome GhostTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang