part 12

1.7K 91 3
                                    

"A--ada apa, Bu?" tanya Nara saat matanya bertemu dengan mata Bu Atin.

Wajah Bu Atin tampak tegang. Ia menatap Nara dalam sebelum bertanya.

"Na--Nara ... a--apa benar kamarmu ini berhantu?"

Nara mengernyitkan dahi dan spontan menoleh ke arah belakang dengan menggerakkan sedikit tubuhnya, mengikuti arah tatapan Bu Atin yang tampak takut-takut melihat ke dalam.

Nara menggeleng pelan. " Ga ada kok, Bu? apa ibu mau masuk? bukankah Ibu sering masuk ke sini?" Nara balik bertanya. Sesekali ia meringis menyentuh tangannya yang cenat-cenut bekas jahitan.

"Eumh, ga pernah Nara. Dari awal beli kos-kosan ini, Ibu tidak pernah masuk, karena si pemilik kos sudah mewanti-wanti untuk tidak masuk ke kamar ini sembarangan,"

"Makanya hanya orang-orang nekat saja yang ibu tawari, dan anehnya setelah lima tahun kosong, baru kamu yang bisa menempati kamar ini lebih dari satu hari,"

"Makanya ibu penasaran," seloroh ibu Atin, sesekali mencuri pandang ke arah dalam.

"Lima tahun?" Nara melongok dan Bun Atin lantas menganggukinya.

' Kamar sebersih ini sudah kosong selama lima tahun? berarti itu kerjaan Nares, pasti!' batin Nara berbicara.

"Kalau ibu mau cek, silahkan saja masuk, Bu," tawar Nara, sedikit menggeser tubuhnya, memberi kesempatan wanita itu untuk masuk.

Namun, bukannya malah masuk, Bu Atin malah berdiri di depan pintu seraya sesekali bergidik dan tangannya memggosok tengkuk.

"Ga ah, Ra. Hawanya aja udah bikin Ibu sesak, apalagi kalau harus masuk. Ibu cuma mau ngecek kamu aja, soalnya ibu takut kamu kenapa-napa,"

"Nanti ibu yang akan urus makananmu, ini ibu belikan roti untuk sarapan. Kalau ada perlu apa-apa kamu jangan sungkan," tutur Bu Atin. Ia mengulurkan tangan kanannya dan memberikan Nara roti tawar dan selai nanas yang di bungkus kantong hitam.

"Ya ampun, Bu, tidak usah repot-repot, Bu. Saya ...,"

" Semua anak kos di sini mendapatkan prilaku yang sama, termasuk kamu. Kalian itu sudah ibu anggap anak sendiri, jadi wajib bagi ibu menjaga kalian," senyum tulus tersungging di wajah wanita paruh baya berkulit eksotik itu.

Mata Nara berkaca-kaca menahan rasa haru yang tiba-tiba terbit begitu saja dalam hatinya ketika mendengar ucapan Bu Atin.

"Te--terima kasih, Bu," ucap Nara terbata sebisa mungkin menahan air mata yang berontak ingin keluar saat itu juga.

Dering HP terdengar memekakkan telinga. Nara langsung menoleh ke arah benda pipih diatas nakas. Ingin segera beranjak tapi takut Bu Atin tersinggung padanya.

" Sepertinya ada telepon. Kalau begitu Ibu tinggal, ya,"

Nara mengangguk pelan, setelah mengucapkan terima kasih, Nara melihat Bu Atin memutar tubuhnya dan pergi.

Gadis itu menutup pintu pelan dan dengan tertatih melangkah ke arah benda elektronik pipih miliknya.

HP susah tak berdering. Nara membuka kunci layar dan mendapati nama orang tuanya di sana.

Dengan segera Nara menghubungi kembali dan hanya satu kali dering, seseorang mengangkat telponnya.

[" Assalamualaikum, Nduk, kamu baik-baik saja, 'kan?"] sapa seseorang dari ujung sana.

["Waalaikumsalam, baik, Bu. Ibu apa kabar? maaf Nara jarang kasih kabar, Bu. Sibuk kerja dan kuliah,"] bohong Nara, ia menyembunyikan kesakitan yang saat ini ia rasakan.

["Alhamdulillah, Nduk. Ibu dari kemarin mimpiin kamu terus, Nduk. Mimpi kamu dililit ular. Ada yang bilang itu pertanda bagus, tapi banyak juga tetangga yang bilang pertanda buruk,"] tukas ibunya dengan suara yang menyayat hati, sedih.

["Na--Nara sehat kok, Bu. Ibu jangan banyak pikiran. Itu cuma mimpi, kembang tidur,"] Nara berusaha menenangkan ibunya yang terdengar kalut. Sesekali Nara menggigit bibirnya untuk meredam rasa sakit di bekas luka jahitnya akibat tertebas samurai.

["Udah dulu ya, Bu. Nara mau pergi kuliah dulu. Sayang Ibu. Salam sama Bapak. Nara sayang kalian,"] imbuhnya.

["Oh, iya ga apa-apa, sehat-sehat ya, Nduk. Kalau ada apa-apa kabari Ibu. Nanti ibu kasih tau Bapak,ya. Assalamualaikum,"]

["Waalaikumsalam,"]

Nara menutup telponnya dengan menahan tangis. Begitu sambungan itu terputus, air matanya jatuh.

Nara menarik kedua kakinya yang saat ini berada diatas kasur dan menekuknya.

Wajahnya yang sudah basah, ia sembunyikan diantara kedua tangannya yang saat itu melipat di atas dengkul kakinya.

Rasa sesal kian menggelayut di dalam batinnya. Mengingat ia sudah mengecewakan kedua orang tuanya. Menyerahkan kegadisannya pada pria bandel tanpa memikirkan bagaimana nasib kedua orang tuanya yang begitu berharap pada kesuksesannya.

"Maafin Nara, Bu, Pak," lirih Nara.

Di saat yang bersamaan, Bu Atin kedatangan tamu berpakain dinas lengkap.

Sempat terkejut, tapi ketika ia menelisik lebih jauh, laki- laki yang begitu sopan itu baru tadi malam berbincang dengannya.

"Bu, bolehkah saya bertemu dengan Nara? saya ingin menjenguk Nara," ujar pemuda tinggi itu yang langsung diiyakan Bu Atin.

"Boleh-boleh Pak Polisi, mari saya antar,"

Pemuda bertubuh tegap itu mengikuti Bu Atin dari belakang. Deru jantung nya bergemuruh. Sekuat mungkin berusaha tenang, padahal tubuhnya sampai gemetar.

Tempat itu, sudah sejak lama ia tidak pernah menginjakkan kaki di tempat itu. Kenangan akan tempat itu seolah membekas begitu lekat pada memorinya.

Setiap lorong seperti memiliki napas yang terasa berhembus saat kaki jenjangnya menghentak melewatinya.

Sesekali mata coklat itu mengawasi setiap sudut ruangan, dan beberapa kali pula berpapasan dengan gadis-gadis penghuni kosan yang menatap takjub padanya.

Merasa jika kehadirannya di tempat itu bukan untuk mencari jodoh, melainkan untuk sebuah tujuan, membuat pemuda itu acuh, meskipun beberapa gadis menggodanya.

Benar saja. batin Narendra bergolak saat mereka berhenti di ruangan paling pojok dan nomor yang sangat ia hapal.

Lidahnya rasa kelu saat Bu Atin mengetuk pintu. Apakah ini suatu kebetulan? atau memang ada sebuah makna di balik ini semua?

Tak lama, seorang gadis dengan mata sembab dan merah menyembul dari balik pintu.

"Ada apa, Bu?"

"Nara, ada yang datang berkunjung," ucap Bu Atin. Nara hanya mengangguk dan saat seseorang yang berada di balik tubuh Bu Atin tergeser, Nara terjingkat. Tak menyangka jika pemuda itu datang.

"Ba--Bang Rendra?"

Rendra mengulas senyum terpaksa. Bukan cuma karena tempat yang ia kunjungi itu punya kenangan buruk, tapi juga karena sosok gadis di hadapannya ini mulai membuatnya kepincut.

"Na--Nara ... bolehkah aku masuk?"

Nara menggerakkan kepalanya dan menatap Bu Atin yang ada di sebelah Rendra.

"Bagaimana, Bu?"

Bu Atin terdiam beberapa saat sebelum Ia membuka mulutnya," silahkan, tapi pintu kamar jangan di tutup karena Ibu tidak mau terjadi fitnah,"

"Baik, Bu, terima kasih," ucap Nara dan Rendra berbarengan.

Saat Bu Atin pergi, Rendra begitu saja masuk dan pandangannya menyusuri sekitar.

"Apa yang Bang Rendra lakukan?" tanya Nara heran.

"Aku ....,"

****


My Handsome GhostTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang