2. sekenario

17 10 1
                                    

Dua gelas kecil berisikan air hitam yang kental cukup melawan dinginnya suasana pagi. Tak henti-hentinya asap halus bergoyang di atas gelas putih tersebut. Di samping ada beberapa pisang goreng yang berjejer rapi. Sama seperti kopi. Ia baru saja dihadirkan sebagai kudapan penyambut si raksasa kuning yang muncul dari arah timur. Dari arah yang lumayan jauh, udara pagi membawa beberapa nyanyian burung gereja yang terdengar samar-samar. menyambut pagi mereka yang biasa saja.

"Biar Saya urutkan satu persatu Zin," ucap seseorang dengan baju putihnya yang agak lusuh dimakan zaman. "Ada kopi, pisang goreng, udara yang dingin-dingin sejuk, ditambah ini, Zin." Dia lalu mengeluarkan satu bungkus rokok dari dalam kantong celananya. "Maka, nikmat tuhan mana lagi yang kau dustakan," tutupnya, disertai dengan senyuman yang lebar, hingga membuat kumisnya yang tipis terangkat ke atas.

"Masih banyak nikmat Tuhan yang lain yang patut kita syukuri, Lin,"

Laki-laki berkulit kuning Langsat itu menggeser rokok yang barusan disodorkan kepadanya. "Justru kalau banyak-banyak nanti saya takut malah tidak bisa mensyukuri-nya, Lin. Cukup, biar kamu saja yang mampu," pungkasnya, disertai dengan senyum nanggung.

Laki-laki yang menawarkan rokok tadi menggelengkan kepalanya.

"siapa tahu, dalam keadaan banyak pikiran gini kau mau menjernihkan otak kau, dengan ya, minimal tiga isapan lah haha."

Pak Ulin yang perokok berat dari dulu di pesantren tak pernah lelah menggoda teman lamanya. Pak Azin hanya tertawa mendengar tawaran yang sudah sangat basi itu. Bagaimana tidak, waktu di pesantren Pak Azin sering dapat tugas mencari MA'KHOD MA'KHOD dalam permasalahan fiqih dan saat otak ia mulai panas, Pak Ulin selalu datang menawarkan kopi dan rokok yang selalu ia taro di sak bajunya, kemudian bilang ke Pak Azin "siapa tahu dalam keadaan pusing gini kau butuh rokok untuk menjernihkan otak, ya, barang satu atau dua isapan." Ternyata bujukan itu tak lekang oleh zaman.

Pak Azin merubah posisi duduknya. "kau punya cara yang jitu enggak, gimana caranya supaya Raja mau pergi ke pesantren, saya semakin tak tenang melihat anak saya berada di sekolah itu," ujar Pak Azin.

Pak Ulin meletakkan rokoknya di atas asbak. Raut mukanya sangat antusias mendengarkan temannya curhat.

"satu minggu yang lalu juga saya dengar kabar ada beberapa anak SMA yang minum-minuman di pertigaan sana" Pak Azin menunjuk arah yang dia maksud.

Pak Ulin menghela nafas sebentar, ia sangat paham betul apa yang menjadi kekhawatiran temannya itu. Sebagai orang tua pastinya tak mau anaknya ikut terjerumus ke dalam pergaulan bebas, apalagi anak di usia Raja sedang dalam keadaan labil-labilnya, selalu penasaran dengan hal-hal yang baru, tanpa memikirkan akibat yang akan ia dapat. Pak Ulin menelan pisang goreng yang tadi ia kunya, lalu membenarkan posisi duduknya.

"tapi bukannya kau sendiri pernah bilang, kalau sebagai orang tua yang bijak ia tidak akan memaksa anaknya untuk ini atau itu, mereka berhak memilih jalan yang mereka pilih"

"iya, tapi mendapat laporan dari para guru di sekolahnya kalau Raja sering ikut tawuran dengan sekolah yang lain membuat saya jadi khawatir kalau ini bukan jalan yang tepat Lin, apalagi itu bukan sekali atau dua kali" pak Azin menyruput kopinya sejenak, kemudian dilanjut "saya enggak pernah terpikirkan kalau anak saya jadi anggota geng motor, yang suka kebut-kebutan di jalan. Saya juga sering memimpikan kalau Raja jadi seorang santri, itu yang membuat saya yakin kalau Raja seharusnya berada di pesantren."

Pak Ulin mencoba berfikir sejenak. Pikirannya menerawang, menembus beberapa gumpalan asap rokok yang keluar dari mulutnya. Kemudian hanya dalam jeda beberapa detik matanya berbinar, seakan suatu ide brilian masuk ke dalam otaknya begitu saja. Melihat ekspresi wajah Pak Ulin Pak Azin tidak sabar mendengar saran apa yang akan keluar dari mulut temannya itu.

Bukan jomblo Abadi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang