Sudah Hampir satu minggu Raja berada di pesantren. Tak terasa. Rasanya baru saja kemarin Ia mendengar Suara tangis Nisa di pelukannya. Baru saja Ia melihat ke dua mata Ibunya yang kokoh membendung air mata.
Dalam satu Minggu penuh itu hati Raja penuh dengan ratapan. Di kamar ia berbagi keceriaan. Ada tawa yang terukir di wajahnya. Tapi setelah keluar semuanya kembali seperti semula. Berbagi tempat kepada seseorang untuk tinggal di hatinya ternyata tidak semudah yang ia pikirkan.
Raja berasa menjadi seorang anak yang paling malang di dunia. Hari-hari Raja hanya diisi dengan melamun di depan serambi masjid. Memperhatikan setiap mobil yang lewat di jalan raya. Berharap ada satu mobil dengan nomor plat yang Ia hafal berhenti di pinggir jalan. Lalu seseorang keluar, kemudian melambaikan tangan ke arahnya. Betapa bahagianya Ia. Namun semua itu hanyalah sebuah harapan dari remaja tampan yang tak akan pernah terwujud.
Seumur hidup baru kali ini Raja sangat berharap akan sesuatu terjadi di hidupnya. Yaitu, keluarga datang ke pesantren dan membawanya pulang kembali ke rumah untuk berkumpul dengan teman-temannya.
"Fahmi, Arip sama Yanwar lagi ngapain ya?" ucapnya sembari melamun.
Dari belakang seseorang menghampirinya.
"Lagi ngapain?" tanya seseorang dengan baju kokoh warna coklat. Wajahnya tidak terlalu tua. Ada sedikit rambut yang menjulur dari bawah bibir sampai ke jenggot. Raja menoleh.
"Nggak apa-apa," jawabnya cuek. Orang itu memperhatikan Raja sejenak. Sebagai santri senior, mungkin dia paham apa yang sedang Raja rasakan. Dia diam sebentar, Mungkin sedang mencari kata-kata yang pas, agar bisa membuat hati Raja tenang. Orang yang sedang galau biasanya sensitif.
"Namanya siapa?" tanya orang tersebut.
"Raja."
Raja masih enggan menunjukkan sikap ramah. Ia menganggap seseorang yang ada di sampingnya sok asyik. Dia paling tidak suka dengan orang yang tiba-tiba sok kenal dan sok asyik.
"Nama aslinya?" tanyanya lagi.
"Raja Hidayatallah."
Dia mengulurkan tangan kanannya. "Nama saya Abdurrahman."
Lalu dengan wajah menghadap ke depan orang itu bilang. "Hampir semua santri baru pasti mengalami masa-masa seperti kamu."
Raja hanya diam. Sebenarnya Ia enggak mau mendengar kata-kata apa pun dari orang tersebut. Hatinya sudah tertutup untuk menerima pesantren sebagai tempat barunya.
"Jadi, apa yang sedang kamu alami ini merupakan suatu kewajaran," ucapnya lagi. "Sesuatu yang wajar akan segera berlalu, cepat atau lambat." Kali ini dibarengi dengan senyuman ramah, Yang membuat Raja enggak enak terus menampakkan wajahnya yang kecut.
"Iya. Saya tahu." ucapnya. Raja bingung harus ngomong apa.
Orang itu memegang pundak Raja. "Kamu mau pergi melihat mentari atau tetap di tengah guyuran hujan?"
Raja kaget mendengar pertanyaannya. Dia seakan tahu kegiatan Raja sehari-hari di serambi masjid. Raja menatap orang tersebut. "Maksudnya?"
"Boleh saya kasih saran?" tawarnya.
"Iya".
"Pergilah ke kamar," ucapnya. "Terbuka lah dengan mereka, mengobrol lah dengan teman-teman kamu lebih lama lagi. Di sana kamu akan mendapatkan sesuatu yang bisa mengisi kekosongan yang ada di dalam hati. Mereka akan benar-benar mengubah kehampaan hatimu. Mereka akan melenyapkan kegelisahan hatimu. Dan membuatmu jadi lebih tenang."
Ucapannya begitu tenang. Seperti air embun yang menempel di dedaunan di pagi hari sebelum matahari terbit. Sangat sejuk di hati.
"Percaya lah," ucapnya. Lalu tersenyum. Kemudian pergi meninggalkan Raja yang sedang terdiam menerima kata-katanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan jomblo Abadi
RomanceKetika kebebasan pria tampan harus terenggut akibat kebebasan itu sendiri. Ketika laki-laki aneh harus dibohongi oleh orang tuanya demi kebaikan. Ketika pemuda canggung harus meniti jalan hidupnya yang baru, dan meninggalkan gaya hidupnya yang lama.