Hari ini pertama kalinya Raja masuk ke pesantren dengan status sebagai santri yang telah tamat belajar. Lima tahun lebih sebagian umur dia dihabiskan di tempat yang penuh barokah tersebut. Sebagian besar kawannya pergi ke tempat yang lebih jauh, atau menetap di tempat yang lebih berat.
Apa pun pilihan mereka Raja tidak berhak untuk memberikan saran apa-apa mengenai keputusan mereka. Termasuk dua teman dekatnya. Bima dan Zaki. Sangat disayangkan kebersamaan itu berakhir begitu cepat. Raja pikir ada cerita-cerita menarik lain yang akan dia ukir bersama mereka di dalam bangunan tua itu. Bahkan sebagian besar anak yang satu kelas dengannya tidak ada lagi di pesantren.
Raja kadang merasa kesepian di kala heningnya malam. Mengapa semua terasa berbeda. Raja merasakan ada sesuatu yang lain pada dirinya dan teman-temannya. Dari depan kamar asrama kadang Raja menatap dalam-dalam pagar kelas yang ada di hadapannya. Biasanya Bima dan Zaki ada di sana dengan menggenggam satu plastik es dan beberapa snack yang mereka beli di kantin. Saat melihat Raja mereka langsung memanggil, dan mengajak untuk bergabung bersama mereka. Dari atas mereka akan memperhatikan para santri yang lalu lalang menuju ke kantin atau ke kamarnya.
"Ja,"
Raja masih diam. Satu panggilan belum cukup untuk membuyarkan lamunanku.
"Ja,"
Plak!
"Astaghfirullahal 'adzim," ucapnya spontan. Raja menengok ke belakang.
"Apa, Fan," tanya Raja ke seorang yang kemarin juga diwisuda bareng dengannya. Namun Raja tidak tidak terlalu dekat dengannya. Karena dulu mereka tidak satu kelas, dia kelas D, sedangkan Raja kelas C. Dulu angkatannya sampai terbagi menjadi empat kelas. Semakin tahun banyak orang tua yang memasukkan anaknya ke pesantren.
"Di suruh kumpulan di kamarnya Pak Sihab,"
Beliau adalah kepala pondok yang baru menjabat dua tahun. Badannya tinggi dan tegap. Beliau sangat ditakuti oleh beberapa santri yang nakal. Di zaman beliau ini sedikit santri yang nekat untuk melakukan sebuah pelanggaran. Mereka takut tebal telapak tangan Pak Sihab mendarat di kedua pipinya, walaupun beliau tidak akan melakukannya, kecuali apabila sangat diharuskan.
Raja pun bangkit. "Ada apa, Fan?"
"Aku juga enggak tau, tapi di sana sudah ada farid dan Muhib juga," jawab pemuda berkulit putih dan bermata sipit tersebut.
Mereka berjalan di jalanan kecil yang ada di dalam pondok. Jalan penghubung antar komplek, tidak terlalu lebar, hanya cukup untuk bersimpangan antara dua orang.
Sebelum masuk mereka tak lupa mengetuk pintu, lalu mengucapkan salam.
Pintu langsung terbuka. Ternyata yang membukakan adalah Muhib. Benar apa yang dikatakan Irfan. Tapi Raja heran kenapa yang mengumpulkan kita orangnya malah tidak ada. "Beliau mana?" tanya Raja yang baru duduk di samping Muhib.
"Lagi keluar sebentar," jawab Farid.
Mereka i menunggu beliau sekitar lima menit. Lalu seorang bapak-bapak dengan tubuh yang tegap masuk.
"Maaf, kalau lama," ucapnya sambil duduk.
"Enggak apa-apa, Pak," jawab Muhib.
Pak Sihab membenarkan posisi duduknya. "Langsung saja ya," ucap beliau. "Saya mau minta tolong sama kalian. Karena kalian ini posisinya sudah lulus, kegiatan di pondok juga sedikit, saya mau kalian tiap hari ke pasar, terus bikin lauk buat makan para ustadz," kata beliau seraya memandang kami satu persatu.
Tanpa saling tatap terlebih dahulu, Mereka semua langsung serentak menjawab 'iya' disertai dengan anggukan kepala.
"Terserah kalian mau dibikin jadwal seperti apa, pokoknya kalian berempat atur sendiri," lanjut Pak Sihab dengan tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan jomblo Abadi
RomantizmKetika kebebasan pria tampan harus terenggut akibat kebebasan itu sendiri. Ketika laki-laki aneh harus dibohongi oleh orang tuanya demi kebaikan. Ketika pemuda canggung harus meniti jalan hidupnya yang baru, dan meninggalkan gaya hidupnya yang lama.