Raja duduk termangu di atas kasurnya yang masih berantakan. Ia terbangun saat cahaya dari luar mengganggu ke dua matanya yang tertutup tenang. Beberapa menit yang lalu Bu Salma masuk ke kamarnya namun hanya membuka hordeng, tanpa membangunkannya. Ia melihat sinar matahari dari balik jendela. Ini adalah matahari yang paling ia benci selama ia menghabiskan masa paginya di kamar itu. Matahari yang akan membawanya pergi menjauh dari teman-temannya.
Sulit baginya melihat benda bulat yang besar itu bersinar dengan cahaya yang sama dan waktu yang sama namun dengan tempat yang berbeda. Di waktu yang akan datang mungkin tak ada waktu lagi untuk membenci matahari atau memakinya, karena saat itu Ia tahu bahwa hanya cahaya itu yang akan benar-benar mengerti bagaimana rasanya berkawan dengan hal yang berbeda.
"Raja!" Satu suara dari luar kamar membuyarkan lamunan Raja. Biasanya suara itu akan berhenti saat Ia membalas "iya", namun kali ini Raja ingin suara itu terus berirama di dalam ruangan kamarnya. Raja mendengarkan dengan penuh penghayatan. Huruf demi huruf, yang demi apapun masih kalah merdu dengan suara tukang kerupuk yang sering keliling di depan gang rumahnya. Panggilan yang mungkin tak akan pernah Raja dapatkan di kemudian hari, bahkan dalam jangka panjang.
"Rajaaa...!" kalau dalam ilmu tajwid panjangnya sudah sampai tiga alif enam ketukan. Raja masih terdiam.
Karena tak tahan, Bu Salma pun akhirnya mengalah, dan masuk ke kamar.
"Tega kamu ya, pagi-pagi gini Mamah disuruh nyanyi," ucap Bu Salma kesal. "Ayok mandi sana, kamu harus berangkat pagi-pagi Raja."
Dengan wajah lesu ia berdiri dan berjalan mengambil handuk ada rasa keberatan yang sedang ia lawan. Ia berjalan keluar menuju kamar mandi. Kamar mandi yang akan menjadi kenangan. Di kemudian hari shower dan air bersih hanya akan menjadi khayalan.
Wanita itu memperhatikan baik-baik ekspresi wajah anaknya. "Yang semangat dong, masa jagoan lemah gitu, heleh," ejek Bu Salma yang melihat anak laki-lakinya berjalan menuju kamar mandi dengan lunglai. Raja tidak menanggapi ucapan Ibunya. Bu Salma hanya tersenyum kecut melihat tingkah cuek anaknya.
Setelah selesai mandi Raja kemudian salat subuh versi kesiangan, yang sudah menjadi tradisnya bertahun-tahun. Lalu Ia membuka lemari pakaiannya. Ia terdiam sebentar, melihat satu persatu pakaian yang ia punya. Lalu ia mengambil baju-baju yang menurutnya paling bagus. Baju keren yang biasa ia pakai buat nongkrong. Baju yang sudah terlihat jelek Ia tinggalkan dalam lemari.
"wahai kamu para baju yang sudah terlihat usang. Maaf, karena nggak Gue ajak. Gue titip lemari ini pada kalian, karena gue mau pergi jauh dan lama tak akan kembali," ucap Raja, seakan berbicara pada seorang yang telah lama menemani hidupnya.
Ia juga tak lupa memasukkan baju-baju muslim yang setiap tahun dibelikan oleh Bapaknya, yang hanya Ia pakai satu Minggu sekali. Yaitu pada waktu salat Jumat saja.
Sebelum memasukkan semua baju muslimnya, Ia mengambil satu baju berwarna merah dengan motif bunga di tengah, yang belum pernah dia pakai sama sekali.
Raja menghadapkan badannya di depan cermin.
"Lumayan keren juga," gumanya, lalu menarik bibirnya "tapi kek ada yang kurang." Ia lihat betul-betul dirinya yang berada di dalam cermin, lalu baru tersadar. "Oh, iya, belum pakai sarung." Ia mengambil satu sarung, lalu memakainya. Setelah itu ia kembali menghadapkan badannya di depan cermin. "Cocok juga sih gua kalau jadi anak alim, anak yang soleh," gumanya, "Emang kalau ganteng mah, mau jadi apa pun bisa." Raja seperti melihat sosok dirinya yang lain berada di balik cermin.
"Masya Allah, gantengnya abangku ini."
Raja kaget. Lalu Langsung menoleh ke sumber suara tersebut. Raja melihat anak kecil sedang tersenyum melihat dirinya di depan pintu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan jomblo Abadi
RomanceKetika kebebasan pria tampan harus terenggut akibat kebebasan itu sendiri. Ketika laki-laki aneh harus dibohongi oleh orang tuanya demi kebaikan. Ketika pemuda canggung harus meniti jalan hidupnya yang baru, dan meninggalkan gaya hidupnya yang lama.