"Semua orang memang tahu anggota keluarga Jendral kalian, tapi kalian tidak akan pernah tahu jika Jendral kalian mempunyai satu putri dari pernikahan pertamanya."
"............"
"Dan itu saya, orang yang baru saja kalian jadikan badut bahan tertawaan."
Mereka semua tercengang, bertiga mereka berebut ingin melihat akte kelahiranku dan juga bukti lainnya yang sama sekali tidak terbantahkan. Tidak ingin di sela lagi atau menjadi bahan tertawaan untuk kedua kalinya aku kembali berbicara.
"Kalau kalian masih tidak percaya, kalian bisa menghubungi Danjen Hakim langsung, katakan pada beliau jika putri Sulungnya datang mencari."
Aku bisa melihat Bharatu Wisnu menelan ludah, ada kengerian di wajahnya tapi dia berusaha menegapkan diri menjaga wibawanya. "Saya masih tidak percaya kalau kamu itu benar anaknya Danjen Hakim. Beda sekali dengan keluarga Danjen Hakim yang kami kenal." Cibirnya sembari menatapku dari atas ke bawah dengan pandangan sangsi bahkan terkesan mengejek.
"Memangnya kenapa tidak percaya? Karena penampilan saya? Apa ada yang salah dengan apa yang saya kenakan? Sejak kapan seseorang di nilai hanya dari sekedar apa yang dia pakai?" Tanyaku tenang, terbiasa hidup di tengah cibiran membuat mentalku lebih kuat daripada yang di bayangkan orang lain, di saat orang lain mungkin sudah tersinggung sedemikian rupa saat penampilannya di cemooh, maka percayalah, itu adalah makanan sehari-hariku.
Tapi selama apa yang kita kenakan rapi, bersih, dan tidak menyalahi aturan, apanya yang salah? Aku merasa kemeja flanel warna baby blue dan skinny jeans hitam yang aku kenakan adalah pakaian yang sopan untuk bertandang bahkan ke instansi pemerintah seperti ini.
Mendapatkan serangan sedemikian rupa olehku yang terus menjawab ucapannya membuat Bharatu Wisnu tersebut tampak semakin jengkel, kedua seniornya hendak mencegah tapi mulut pedasnya kalah cepat.
"Kalau benar Danjen Hakim itu Bapak kau, ya mending sana telepon saja langsung. Masak iya Bapak sendiri nggak punya nomor teleponnya. Kalau cuma ngaku-ngaku mah sekalian saja saya juga bisa bilang kalau saya anaknya Pak Menhan."
Senyumanku masih bertahan mendengar ejekan yang semakin pedas tersebut, enggan meladeni orang seperti Bharatu Wisnu, aku memilih mengabaikannya dan menghadap pada Brigadir Azhar yang masih meneliti dengan seksama semua dokumen yang aku bawa, bahkan aku sama sekali tidak peduli sikapku yang acuh pada sosok yang tengah piket tersebut membuatnya semakin jengkel dan terhina.
"Bisa izinkan saya masuk, Pak? Kalau Bapak masih ragu, saya bisa menunggu di sini sementara Bapak konfirmasi langsung pada Atasan Bapak tersebut. Tolong katakan pada beliau, Alleyah putri dari Alimah ingin bertemu."
Azhar melihatku penuh pertimbangan, bergantian dia melihat ke arah fotokopi buku nikah Bunda yang memperlihatkan foto Ayah dan Bunda dan aku secara bergantian, ada keraguan terselip di tatapannya tapi juga ada kepercayaan, entah aku tidak tahu apa akhirnya keputusan yang akan dia berikan atas permintaanku ini, aku tidak akan tahu apa jawaban atas pertanyaanku karena suara deru sebuah sepeda motor sport dua tak yang berisik berhenti tepat di antara kami.
Sosok tegap dan tinggi dalam balutan seragam coklat dengan dua balok di bahunya tersebut turun dari motornya, dari ransel yang di kenakannya aku bisa menebak siapa dia walau perkenalan kami masih bisa di hitung dengan jam.
Benar saja, saat helm sport fullface tersebut terbuka, pria yang tadi pagi aku tinggalkan begitu saja di Batalyon kini menatapku lekat, sekalipun sangat tipis aku bisa melihat senyumannya terarah kepadaku sebelum dia menatap ke arah tiga orang yang kini memberikan hormat kepada sosok Dirgantara Abhichandra.
Seperti dugaanku di awal, Dirgantara Abhichandra, dia adalah seorang yang sepertinya akan membantuku dalam memuluskan rencana masa depanku.
"Kalian tidak mengizinkan dia masuk?" Tanpa ada basa-basi sama sekali Mas Dirga langsung menodong tiga orang yang berpangkat di bawahnya tersebut.
Bharatu Wisnu yang tampak terima langsung di pojokan oleh salah satu atasannya seketika memberontak, "ya iyalah Pak kita nggak izinin, orang halu......"
Mendengar Bharatu Wisnu menjawab, Mas Dirga mengangkat tangannya, walau aku tidak melihat bagaimana ekspresinya sekarang ini karena Mas Dirga membelakangiku, dari raut wajah Bharatu Wisnu yang tampak tegang menunjukan jika Mas Dirga menatapnya dengan tajam.
"Dia akan masuk bersama dengan saya, perkara ternyata berbohong soal hubungannya dengan Danjen Hakim, itu urusan belakangan dan biarkan Danjen sendiri yang memutuskan. Kamu sendiri tidak mau kan di hukum kalau sampai benar dia putri Sulung Danjen."
Dengan cepat Bharatu Wisnu menggeleng ngeri, sepertinya dia tengah membayangkan hukuman apa yang tengah di terimanya nanti. "Sekarang, lebih baik parkirkan motor saya. Lebih cepat kita tahu kebenarannya lebih baik baik, bukan?"Hatiku seketika bersorak gembira melihat bagaimana Bharatu Wisnu merengut tidak suka tapi pasrah melakukan apa yang di perintahkan, di balik senyuman tipisku saat Mas Dirga menarik lengan ranselku untuk mengikuti langkahnya memasuki halaman Divisi Propam, aku merasakan pertanda baik untuk langkah awal yang aku ambil.
"Terimakasih ya Mas Dirga udah bantuin, Alle." Ucapku sembari mengajari langkahnya yang lebar. Senyuman paling manis pun tidak lupa aku berikan saat dia menoleh ke arahku yang langsung membuatnya tersenyum juga.
"It's oke, Dek. Lain kali, sekalipun dia Abdi Negara, jika menurut kamu apa yang kamu katakan itu benar kamu harus bisa melawan mereka."
Aku hanya mengangguk saat Mas Dirga memberikan nasihatnya, persis seperti anak TK saat di beritahu oleh gurunya. Terkadang bersikap lemah agar si penolong merasa superior perlu di lakukan, ya itulah jahatnya permainan seorang wanita, dibalik lemah lembutnya tersimpan sejuta muslihat yang menghanyutkan.
Sama seperti yang aku lakukan sekarang, terlihat rapuh dan tidak berdaya seakan butuh perlindungan untuk menjalankan rencana yang tersusun rapi dalam sebuah pembalasan dendam.
Marah-marah dan mengamuk hanya akan menghancurkan diri sendiri, jadi lebih baik menghancurkan mereka dengan cara yang paling elegan, bukan? Tidak selamanya kekerasan dan sikap arogan akan berhasil, justru seorang yang lemah dan tidak berdaya yang mudah mendapatkan simpati dan perhatian dari orang di sekitar.
Aku tidak perlu sebuah simpati, tapi jika simpati itu bisa menghancurkan orang-orang yang aku benci, aku akan melakukannya dengan senang hati.
Sungguh aku sama sekali tidak percaya jika takdir sebaik ini kepadaku, bersama dengan pria yang mulai sekarang aku panggil dengan sebutan Mas Dirga, aku melenggang masuk ke dalam gedung Divisi Propam tersebut dengan mudah, beberapa orang memberikan penghormatan pada Mas Dirga, beberapa orang lainnya menggoda Mas Dirga penuh arti karena kehadiranku di sisi Polisi tampan yang masih muda ini, godaan yang aku tahu dengan jelas apa maksudnya tapi pura-pura tidak aku ketahui.
Lama kami berjalan, menyusuri beberapa anak tangga dan lorong sampai akhirnya langkah kami berhenti di sebuah pintu yang aku tahu dengan jelas siapa yang ada di dalamnya melihat beberapa orang tampak sibuk hilir mudik keluar masuk dari dalam.
Tanpa bisa aku menahan, seringai sinis tersungging di bibirku, mencibir jarak yang begitu dekat antara aku dan Ayah yang sudah melupakanku. Aku benar-benar tidak sabar untuk melihat bagaimana ekspresi beliau nanti saat melihatku tepat di depan wajahnya.
Tidak tahu beliau akan menerima dengan senang hati atau malah di usir? Apapun yang akan di lakukan Ayah nanti, aku punya sejuta cara untuk membuat beliau menyesal nantinya.
Terlihat ada seorang Brigadir yang baru keluar dari dalam ruangan yang langsung di hadang oleh Mas Dirga, entah apa yang mereka bicarakan saat berbisik, tapi saat Brigadir tersebut melirikku beberapa kali, aku tahu jika akulah bintang dalam pembicaraan mereka. Tidak perlu waktu lama untuk mereka berdua berbicara Mas Dirga segera berbalik kembali kepadaku.
"Kamu siap?"
"..........."
"Jangan sampai keputusanku menolongmu ini salah, Dek!"
KAMU SEDANG MEMBACA
DIGNITY (Pembalasan Luka Putri Sang Jendral)
RomanceMenjadi tokoh antagonis di dunia bukanlah hal yang di inginkan oleh Alleyah Hakim, tapi demi membalas setiap luka yang pernah di torehkan oleh Ayahanda dan juga Ibu tiri yang tidak lain adalah Bibinya sendiri, Alle rela melakukan segala hal untuk me...