6 Jam penuh perjalanan dari Semarang ke Jakarta via kereta. Jangan di tanya bagaimana remuknya badanku sekarang ini karena sama sekali tidak bisa memejamkan mata, bukan karena aku tegang hendak bertemu dengan Ayah yang sudah melupakanku, tapi penyebabnya adalah manusia yang ada di sebelahku.
Entah siapa dia, tapi manusia dengan tinggi yang sangat tidak masuk akal yang duduk di sampingku sama sekali tidak berhenti dalam mengerjakan entah apa di laptopnya, jarinya bergerak cepat sepertiku aku saat mengerjakan sebuah dokumen terjemahan dalam deadline yang mepet.
Ingin menegurnya yang berisik tapi nuraniku yang berbisik mungkin saja pria ini terburu-buru dalam pekerjaannya membuat jiwa sesama manusiaku berulangkali menghembuskan kesabaran. Di dunia ini bukan hanya aku yang malang, mungkin saja pria di sebelahku ini salah satunya.
Aaah, apes-apes dapat temen satu kursi yang sangat tidak menyenangkan, keluhku dalam hati sembari menatap pemandangan yang mulai rapat dengan rumah penduduk.
Sampai akhirnya saat matahari yang sebelumnya masih bersembunyi dan sekarang mulai naik di waktu kereta memasuki kota Jakarta, akhirnya pria sibuk ini sadar jika kegiatannya yang amat penting ini mengusikku. Tapi seakan tanpa rasa bersalah sama sekali, dia hanya menutup laptopnya dan beranjak pergi, membuatku hanya bisa mendesah lelah menahan kesal.
Mataku nyaris terpejam tapi mendadak saja aku merasakan aroma hangat dan wangi yang selama ini selalu menjadi canduku.
Bukan parfum mahal, bukan pula aromaterapi berharga ratusan ribu, tapi wangi harum kopi hitam yang di seduh, tidak peduli kopi tersebut hanya kopi rencengan atau kopi mahal dari coffeshop terkenal, aroma kopi segar yang baru di seduh adalah favoritku. Baru menciumnya saja aku langsung melek, mataku yang sempat redup dan hatiku yang jengkel seketika good mood dalam sekejap.
Dan coba tebak siapa yang membawa kopi harum tersebut, Yap, pelakunya adalah pria sibuk yang duduk di sebelahku, dengan tubuh menjulang tinggi dia mengulurkan kopinya ke arahku. "Kopi, sebagai permintaan maaf sudah mengganggu istirahatmu sejak awal perjalanan kita."
Mendapati sikap manis pria manis berbadan setegap Rambo ini mau tidak mau aku tersenyum kecil, percayalah, hatiku memang di penuhi kebencian, tapi kebencian itu hanya berlaku untuk segelintir orang, tapi pada orang baik yang memperlakukanku dengan baik juga maka aku akan bersikap manis seperti sekarang ini.
"Wahhh, terimakasih buat kepekaannya, Mas." Ucapku tulus sembari meraih kopi itu dari tangannya. Rasa kesal dan dongkol yang sempat merajai pun seketika luruh seiring dengan wangi semerbak aroma kopi yang menyerbu masuk ke dalam hidungku.
Bukannya segera meminumnya seperti yang di lakukan oleh pria di sampingku, aku justru berlama-lama menghirup wanginya ini membuatku sama sekali tidak menyadari jika pria sibuk di sampingku ini memperhatikan sikap anehku ini, aku sama sekali tidak peduli dengan hadirnya sampai akhirnya pria sibuk ini kembali membuka obrolan.
"Kamu ke Jakarta mau kemana, Dek? Kerja, kuliah atau malah mau pulang kampung?" Pertanyaan dari pria di sampingku ini membuatku menoleh, ada rasa enggan untuk bercerita tapi saat aku menyadari jika dia hanyalah orang asing yang mungkin tidak akan aku temui lagi membuatku akhirnya menjawab yang sebenarnya.
"Mau ke tempat Ayah saya, Mas. Sekalian minta beliau buat biayain kuliah S2 saya."
Pria di sebelahku ini hanya manggut-manggut, tampak bibirnya terbuka untuk sesaat seakan dia hendak berbicara, tapi detik berikutnya dia memilih untuk mengatupkan bibirnya kembali. Walaupun tidak sampai di suarakan, bisa aku tebak jika pria ini pasti hendak memberikan celetukan kenapa aku tidak mencari pekerjaan untuk biaya S2ku atau mencari beasiswa, hal yang lumrah biasa di lakukan oleh manusia yang sudah dewasa sepertiku.
Keputusannya untuk tetap diam tanpa komentar tersebut membuatku sedikit salut atas sikapnya yang mampu menahan diri untuk tidak ikut campur urusan orang lain.
"Lalu dimana tempat tinggal Ayahmu? Ini bukan kali pertama kan kamu ke Jakarta? Nggak nyangka loh kamu ngejar gelar magister, kirain masih SMP, loh." Tanyanya lagi yang di akhiri dengan guyonan garing, percayalah, pria sibuk di sampingku ini bukan orang pertama yang mengatakan jika wajahku terlalu kanak-kanak untuk usiaku yang sudah ada di angka dua puluhan ini.
Aku menggeleng pelan, ini memang bukan kali pertama aku pergi ke Jakarta, saat kuliah dulu nyaris setiap bulan aku ke Jakarta untuk kegiatan kampus dan organisasi, tapi untuk ke Jakarta dan menemui Ayah, ya, ini adalah kali pertama.
Menjawab pertanyaan dari pria sibuk di sampingku aku memilih mengangkat ponselku yang memperlihatkan sebuah alamat dari sebuah divisi instansi pemerintah yang sangat di hormati di Negeri ini.
"Divisi Propam Polri?" Beonya sembari memperhatikanku lekat yang langsung mengangguk. Seakan tidak percaya jika aku hendak berkunjung ke tempat Polisinya para Polisi ini untuk mencari 'Ayahku', "Ayahmu anggota kepolisian, Dek?"
"Ya setidaknya nama beliau yang tercantum di akta kelahiranku, Mas. Itu artinya yang aku cari ini Ayahku kan?" Jawabku asal, yang membuatku tertarik adalah reaksinya yang tampak tidak percaya ini. "Memangnya kenapa Mas kok wajahnya kayak nggak percaya gitu sih? Mukaku sama sekali nggak meyakinkan ya buat jadi anak Polisi?" Kelakarku mencoba mencairkan suasana yang canggung melihat ekspresi wajahnya yang agak mengganggu hatiku ini, "tenang saja Mas, Mas bukan orang pertama yang nggak percaya kalau Bapak saya itu Polisi. Apalagi kalau saya bilang siapa Bapak saya, saya jamin pasti Mas ngatain saya halu kayak temen-temen saya."
Tidak ingin memperpanjang obrolan yang tidak menyenangkan ini aku memilih untuk membuang pandangan ke arah jendela, hanya tinggal menghitung menit kereta api ini akan segera berhenti di stasiun pemberhentian.
Aku mengira obrolanku dengan pria sibuk di sampingku ini akan berakhir saat kita turun di stasiun, tapi saat aku melangkah keluar stasiun membawa koper kecilku, pria dengan ransel besarnya ini turut menjajari langkahku dengan tergesa seakan sengaja mengikutiku, belum sempat aku melayangkan teguran kepadanya, pria sibuk ini sudah mendahuluiku berbicara.
"Saya nggak nguntit kamu kok Dek, tenang saja. For your information, kita satu tujuan, saya juga mau ke kantor Propam."
"Oh ya? Mas mau ngapain ke sana? Mau bikin laporan atau....."
Mendadak langkahku terhenti dan langsung mendongak menatapnya, satu pikiran yang melintas di kepalaku tentang dia yang sibuk dan tubuhnya yang tinggi membuatku menarik kesimpulan tentang siapa pria di sampingku ini. Tapi belum sempat aku berbicara, pria di sampingku ini sudah lebih dahulu berbicara menyuarakan isi kepalaku.
"Kebetulan saya salah satu Polisi di Kadiv Propam Polri, Dek. Itu berarti tujuan kita sama."
Jangan di kira aku langsung percaya saja dengan pengakuannya di jaman serba edan ini, mentang-mentang tubunya tegap khas Abdi Negara bukan berarti pria ini benar-benar polisi, bisa jadi dia cuma ngaku-ngaku alias gadungan, dan lagi-lagi pria di hadapanku ini seakan bisa membaca isi kepalaku yang di tanggapinya dengan kekeh tawa renyah.
"Perkenalkan, nama saya Dirgantara Abhichandra, dan ini KTA saya yang bisa kamu cek keasliannya jika kamu tidak percaya, Dek. Saya benar-benar polisi bukan Polisi gadungan."
Ya, aku benar-benar tidak percaya dengan kebetulan yang tengah terjadi padaku sekarang ini. Takdir seakan memudahkan langkahku untuk kembali pada orang yang sudah melukaiku selama ini.
Dirgantara Abhichandra, satu kebetulankah pertemuan kita ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
DIGNITY (Pembalasan Luka Putri Sang Jendral)
RomanceMenjadi tokoh antagonis di dunia bukanlah hal yang di inginkan oleh Alleyah Hakim, tapi demi membalas setiap luka yang pernah di torehkan oleh Ayahanda dan juga Ibu tiri yang tidak lain adalah Bibinya sendiri, Alle rela melakukan segala hal untuk me...