13. Dikira Pelakor

4.6K 558 31
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Hollaaaa, Alleyah update lagi, mamak sibuk buat nastar jadi up-nya nggak pasti 🤭🤭🤭
Sebelum Mamak lupa lagi karena sibuk, sekalian Mamak mau bilang Minal aidzin wal Faidzin mohon maaf lahir dan batin buat pembaca Mamak yang muslim.
Terimakasih juga buat semuanya yang sudah nemenin Mamaknya Alva di wattpad.
Support kalian berarti banget buat Mamak.
Happy reading semuanya
Enjoy

"Waaah, gila kau Al, kirain aku mimpi waktu lihat ada yang transfer duit ratusan juta siang hari bolong kayak gini, ternyata kau yang bayar hutang. Padahal aku sudah siapin hati buat ikhlasin kalau kau nggak sanggup bayar, eeeh ternyata si lemper beneran ada duit buat bayar hutang."

Melihat pesan yang di kirimkan oleh Andrea aku tertawa, bisa aku bayangkan jika Chindo Semarang itu pasti sekarang misuh-misuh campuran antara senang karena mendapatkan uang dari pembayaran hutang juga kesal karena ternyata aku tidak berbohong tentang siapa Ayahku.

"Kan sudah aku bilang, Ayahku itu duitnya banyak. Kau sih yang nggak percaya. Jadi sudah lunas, kan?"

Dengan cepat aku membalas pesan Andrea, secepat itu pula si Kunyuk membalasnya juga. Andrea sepertinya benar-benar penasaran dengan kehidupanku yang sebenarnya.

"Bukan cuma lunas. Tapi duit kau ini kelebihan 122 juta, Alle. Ini bagaimana ceritanya hutang 78 juta tapi balikinnya ngga kira-kira. Okelah kalau kau kasih bunga ke temen kau yang baik ini, tapi ini kebanyakan."

Mendapati nominal yang di sebutkan oleh Andrea membuat minuman yang baru saja masuk ke dalam bibirku seketika tersembur keluar, astaga, dengan memalukannya aku tersedak dan menjadikanku bahan tontonan beberapa tamu resto yang lain. Jangan tanya bagaimana perihnya hidungku sekarang karena air yang keluar jalur, dan ini semua karena ulah Andrea. Berulangkali aku membaca pesan yang dia kirimkan berharap jika Andrea salah ketik, tapi nominalnya tetap saja, bahkan sekarang Andrea malah mengirimkan cek mutasi yang memperlihatkan uang 200 juta masuk ke dalam rekeningnya dari pengirim yang sama, yang bisa aku tebak jika itu adalah rekening Ayah.

"Ini gimana jadinya? Tanyain Bokap kau gih kelebihannya mau buat apa atau memang salah pencet nominal?"

Baru saja aku membaca pesan yang bertubi-tubi di berikan Andrea, Ayah yang baru saja berbicara dengan entah siapa di teleponnya segera aku berondong dengan pertanyaan, enggan untuk menjelaskan aku langsung saja memperlihatkan pesan antara aku dan Andrea.

"Ayah, ini Ayah yang transfer duit segitu banyaknya? Alle mintanya 78 juta buat bayar hutangnya, Yah! Kelebihannya terlalu banyak."

"Iya, Ayah tadi minta salah satu staf keuangan Ayah buat transfer uang ke rekening yang kamu sebutkan. Apanya yang salah, Alle?" Ayah memperhatikan ponselku, tangan beliau menscroll kembali pesanku dengan Andrea, "Ayah tadi sudah pesan loh ke Akuntan Ayah buat konfirmasi juga ke temenmu masalah pembayaran ini."

"Tapi Yah, hutangnya 78 juta, ini kelebihan 122 juta loh. Banyak banget." Aku menolak dengan halus, berbasa-basi tidak ingin terlihat di mata Ayah jika aku seorang yang serakah dan tamak. Lebih baik merelakan sedikit yang kita dapat untuk mendapatkan yang lebih besar bukan? Aaah, aku ingin citraku di depan Ayah sempurna tanpa cela.

Dan benar saja, rasa bersalah yang menguasai Ayah membuat beliau tidak menanggapi ucapanku barusan, "Sisanya buat kamu, Alle. Tidak banyak, sama sekali tidak sebanding dengan waktu yang sudah kamu habiskan tanpa Ayah. Bilang sama temanmu buat belanjakan sisa uangnya bahan material buat renovasi rumah Bundamu."

"Bunda nggak akan mau nerima uang Ayah. Percaya deh Yah, harga diri Bunda itu lebih besar daripada sebuah nominal uang. Beliau saja bisa meninggalkan Ayah begitu saja saat Ayah berkhianat, mana mau Bunda nerima uang itu sekarang. Sekarang saja kalau bukan aku yang ngeyel mau nemuin Ayah, mungkin Bunda bakal lebih rela kehilangan rumah daripada aku minta bantuan Ayah"

Segala ucapanku begitu halus, polos, dan penuh kelembutan saat mengungkit dosa Ayah di masalalu, tapi ucapanku barusan sukses menampar Ayah untuk kesekian kalinya, walau hanya sedetik aku bisa melihat raut wajah berwibawa tersebut menegang seakan aku baru saja menghantam Ayah tepat di ulu hati, tapi dengan cepat Ayahku merubah raut wajahnya sekalipun senyum getir beliau masih terlihat.

"Bilang sama Bundamu, Ayah kasih uang itu bukan buat Bundamu, tapi buat kamu, sama seperti Bundamu yang berusaha untuk memberikan yang terbaik buat kamu, Ayah pun juga ingin melakukan hal yang sama. Ayah sadar kesalahan Ayah terhadap Bundamu sudah terlalu besar."

Terlalu besar, hingga kesalahan itu tidak bisa di tebus hanya dengan sebuah kata maaf dan kalimat penyesalan. Enggan untuk membahas segala hal yang berkaitan dengan masalalunya yang tidak menyenangkan, Ayah buru-buru mengalihkan pembicaraan.

"Pokoknya uang itu semua punya kamu, Alle. Terserah bagaimana caranya kamu bujuk Bundamu, atau mau kamu gunakan untuk apa uang itu nantinya Ayah tidak mau tahu. Sekarang, daripada bahas uang, bagaimana jika kamu beli hape dan baju baru, Ayah lihat hapemu udah retak-retak kayak gitu? Bagaimana, kamu mau?"

Setelah Ayah mengajakku makan siang di sebuah Resto steak yang sekalinya makan saja aku perkirakan akan menyentuh angka ratusan ribu atau bahkan jutaan, sekarang Ayah mengajakku untuk berbelanja? Jika Ayah tidak menyebut keadaan ponsel Samsung yang sudah aku pakai lebih dari 3 tahun ini mungkin aku tidak akan menyadari jika ponsel butut ini begitu mengenaskan. Selain sudah ketinggalan model, ponselku juga sudah retak-retak bahkan ada lakban bening di case belakang. Melihat bagaimana mengenaskannya ponsel yang aku kenakan, seketika aku meringis.

Benar-benar menyedihkan.

"Tapi Ayah....." Aku ingin menyela untuk menyuarakan keberatan, tapi Ayah sama sekali tidak peduli.

"Udah, nurut saja kamu. Jangan sampai kamu bikin Ayah semakin merasa bersalah dengan keadaanmu. Mumpung Ayah hari ini free, Ayah ingin berkencan dengan putri Ayah yang sudah lama hilang ini."

Ayah mengibaskan tangannya memintaku untuk tidak protes, tanpa meminta persetujuan dariku Ayah benar-benar membawaku untuk berkeliling di salah satu pusat Mall elite di Ibukota ini, bukan hanya membeli ponsel dengan model terkini, Ayah juga membawaku untuk membeli pakaian baru dan banyak hal yang sebelumnya tidak pernah aku miliki seperti perhiasan, bahkan skincare dari brand luar yang harganya bisa bikin aku geleng-geleng kepala. Sungguh, aku sama sekali tidak membayangkan jika Ayah akan memperlakukanku bagai Cinderella yang hilang.

Orang jika tidak tahu kalau aku dan Ayah adalah orangtua dan anak sudah pasti akan mengira jika aku adalah ani-ani peliharaan Om-om senang.

Entah sudah berapa banyak uang yang di gelontorkan Ayah untukku hari ini, sudah pasti nominalnya yang tidak biasa tentu akan menarik perhatian dari si Pelakor. Sudah bukan rahasia umum lagi jika di antara Ajudan Ayah, akan ada mata-mata yang akan melaporkan setiap kegiatan Ayah pada si Pelakor yang mengira dirinya Ratu.

Benar saja, tepat di saat aku dan Ayah baru saja keluar dari salah satu outlet tas, sebuah jambakan kuat aku dapatkan di rambutku hingga aku jatuh terjengkang di tengah keramaian Mall.

"Kurang ajar lo, Jalang. Beraninya Lo gangguin Bokap gue!"

DIGNITY (Pembalasan Luka Putri Sang Jendral)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang