18. Pagi Pertama

4.8K 570 31
                                    

Alle, ada tawaran oke banget jadi editor di salah satu penerbit mayor kamu mau nggak? Kebetulan mereka minta aku buat nyariin orang yang udah terbukti kompetensinya oke di bidang literasi. Menurutku, kamu cocok di sini. Gimana? Kamu berminat? Lumayan buat tambah-tambah duit kuliah.

Mataku baru saja terbuka, terbangun dari tidurku setelah kemarin aku ketiduran usai merapikan kamarku, saat sebuah pesan dari Kinara masuk kepadaku.

Walaupun Kinara seringkali menertawakan kemalangan nasibku yang berbeda dengan orang lain, tapi untuk urusan pekerjaan Kinara adalah orang yang profesional. Baru beberapa hari yang lalu aku berpamitan padanya dan berpesan jika ada lowongan pekerjaan yang oke dan sesuai dengan kemampuanku, aku memintanya untuk menghubungiku dan dia benar melakukannya.

Seulas senyum terbit di bibirku saat membalas pesannya. Tuhan baik sekali kepadaku, baru kemarin aku menginjakkan kaki di Kota ini dan sekarang aku sudah mendapatkan tawaran pekerjaan yang masih berkaitan dengan hal yang aku sukai.

Aku suka membaca berbagai buku, baik itu buku sejarah maupun romance dan fiksi, segala hal yang berkaitan dengan literasi adalah hal yang menyenangkan untukku, satu kebetulan ternyata kini tawaran menjadi editor sebuah penerbit kini datang padaku.

Bukan hanya sekedar nominal yang tengah aku kejar, tapi aku juga ingin membuktikan pada Ayah dan keluarganya yang sialan itu jika di sini aku juga bisa memiliki pendapatan sendiri, tidak bergantung pada Ayahku seperti sebuah benalu walaupun aku sangat tahu Ayah sama sekali tidak keberatan.

Oke, Nara. Aku minta nomor kontaknya ya. Sekalian nanti aku datang bawa CV. Nggak enak kalau kerja cuma modal ordal nggak pakai kasih lihat kemampuan kita.

Usai membalas pesan Kinara, aku meletakkan ponselku begitu saja, terbiasa bangun pagi di rumah untuk membantu Bunda membuat dagangan beliau, jajan pasar dan kue-kue basah membuat kebiasaan tersebut terbawa sampai di rumah baruku ini. Matahari belum naik, bahkan di luar masih gelap tapi aku sudah rapi dan wangi, di tambah dengan pakaian baru yang di belikan Ayah kemarin, saat bercermin aku seperti melihat sosok yang berbeda.

Alleyah-nya masih sama, tapi aku merasa Alleyah yang menatapku di balik cermin berkali-kali lipat lebih mempesona, bahkan aku sendiri kagum pada diriku sendiri. Sungguh menakjubkan memang melihat pakaian bagus bisa mengubah seseorang dalam sekejap.

Memang harga sama sekali tidak mengkhianati kualitas. Bahkan baju pun bisa memiliki auranya sendiri. Tidak ingin menikmati penampilan baruku sendirian, aku mengambil mirror selfie beberapa kali dan mengirimkannya pada Bunda. Mengingat Bunda membuatku sedih sekaligus tegar di saat bersamaan. Aku sedih karena di sana pasti Bunda sendirian tidak ada yang membantu, tapi mengingat bagaimana tidak adilnya dunia pada Bundaku membuatku merasa jika aku harus bertahan di sini apapun yang terjadi.

Tanpa menunggu lama, balasan pun aku dapatkan dari Bunda, membuatku tersenyum penuh semangat menghadapi hari.

Cantiknya kesayangan Bunda. Bahagia di sana ya, Nak. Jangan biarkan orang-orang jahat itu menyakiti kamu. Bunda yakin anak Bunda yang kuat ini akan bisa mengatasi mereka semua.

Ya, demi Bunda, dan demi diriku sendiri, tidak akan aku biarkan orang-orang jahat seperti mereka menyakitiku. Jika dulu Bunda memilih pergi karena pengkhianatan Ayah dan membuat para benalu tersebut menari-nari penuh kemenangan, maka hadirku di rumah ini untuk mengacaukan kebahagiaan mereka.

Satu persatu, aku akan membuat rumah ini serasa seperti neraka untuk mereka, di mulai dari merebut perhatian Ayah, aku akan memulai langkahku untuk merebut apa yang lainnya miliki, bahkan jika aku harus menjadi Pelakor seperti Bibiku tercinta, aku merasa itu bukan masalah asalkan sakit hatiku terbalas.

Enggan berpangku tangan di dalam kamar dan bersikap seperti Nona yang tidak tahu diri, aku memilih beranjak dari kamar, suasana sepi masih terasa saat kakiku melangkah turun ke arah dapur, satu-satunya tempat yang sudah menunjukkan aktifitasnya di rumah ini.

Obrolan yang sempat riuh terdengar terhenti seketika saat mereka melihatku datang, bukan hanya asisten rumah tangga yang bertugas menyiapkan makanan yang ada di dapur sekarang ini, tapi beberapa wajah yang aku lihat sejak kemarin mendampingi Ayah juga ada, salah satunya adalah pria bernama Azhar, dan juga sosok yang langsung tersenyum saat melihatku datang, Dirgantara.

"Mas Dirga." Sapaku terlebih dahulu, berbeda dengan rekan Mas Dirga lainnya yang menyingkir tidak nyaman karena kehadiranku, Mas Dirga tetap bertahan di posisinya.

"Kamu mau ngapain pagi-pagi di dapur, Al?" Tanyanya menyuarakan rasa herannya mewakili mereka yang ada di belakang tengah memasak.

"Non Alle mau minum? Bibik bikinin teh ya, Non?" Tambah Bik Lela, juru masak kepercayaan Ayah yang bertugas mengurus menu di rumah Hakim ini. Berbeda dengan yang lainnya, Bik Lela ini tidak tampak canggung sama sekali denganku, bahkan beliau yang sedikit lebih tua dari Ayah ini tampak bersahaja dan merangkulku seakan aku adalah anggota keluarga yang sudah sedari lama ada di rumah ini. "Atau Non mau makan? Kemarin Non nggak sempat makan malam kan keburu langsung tidur capek habis beres-beres."

"Nanti Alle ambil sendiri saja, Bi." Aku menggeleng pelan menolak apa hamba di tawarkan secara halus, aku belum lapar dan aku juga belum haus, alih-alih meminta semua hal itu aku justru meraih pisau bawang-bawangan yang sudah di kupas,"Alle mau bantuin masak aja, Bik. Ini di potong, kan?"

Mendapati aku mengangkat pisau tersebut seketika semuanya sontak terkejut, bukan hanya Bik Lela, Mbak Ratna dan juga Teh Umin pun bergegas menghampiriku seakan takut jika pisau yang aku pegang akan aku gunakan untuk mengiris tanganku.

"Ya ampun, Non. Nggak usah bantuin."

"Ini kerjaan kita, Non."

"Udah ya Non, siniin pisaunya, ntar jarinya kepotong bisa berabe, Non."

Mendapati tiga orang menyerbuku, hendak merebut pisau yang aku bawa sekarang ini seketika aku tertawa, rasanya sangat lucu melihat semua orang panik hanya karena aku hendak ikut membantu memasak, ya ampun, aku tahu jika ini zaman modern di mana beberapa perempuan memang anti dapur dan lebih memilih berkarier, aku pun tidak akan menyombongkan diri yenyang kemampuanku memasak yang jauh dari kata jago, tapi jika sekedar tumis-tumis atau masakan rumah sederhana, ya aku bisalah. Tapi sepertinya hal biasa yang bisa aku lakukan ini menjadi hal yang luar biasa untuk para ART yang kini melihatku dengan panik.

"Nggak usah khawatir, Bik. Alle sama pisau sudah berteman dengan baik kok. Beneran deh, Alle beneran bisa masak nggak cuma gaya-gayaan apalagi caper sok-sokan masuk ke dapur. Mau buktinya kalau masakan Alle beneran bisa dimakan?"

"Nggak usah ya Non, nanti Bik Lela loh Non yang di marahin Tuan."

"Ayah nggak akan marah, Bik. Yakin deh sama Alle."

Tiga orang ART ini saling pandang, seakan saling bertukar pendapat mengenai apa yang baru saja aku katakan mengenai turun memasak di dapur. Sepertinya ketakutan jika aku akan menghancurkan dapur ini dan membuat masalah membuat mereka enggan untuk mengizinkan, hingga akhirnya Mas Dirga yang sedari tadi menjadi penonton yang diam menyimak perdebatan lucu mengenai pisau dapur angkat bicara.

"Izinkan saja Bik Lela semua resiko saya yang tanggung."

DIGNITY (Pembalasan Luka Putri Sang Jendral)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang