17. Kamar Baru dan Kaisar

5K 645 40
                                    

"Yang jelas Alleyah nggak pernah nyusahin Papa kayak kamu, Kalina. Daripada mulutmu itu kamu gunakan untuk melawan Papa, lebih baik gunakan otakmu untuk belajar dengan benar. Dari kecil di sekolahkan di tempat terbaik tapi otakmu kosong tidak ada isinya. Jika bukan karena nama Papamu ini, tidak akan ada yang mau menghormati perempuan bodoh pembuat onar sepertimu."

"............"

"Tutup mulutmu dan perlakukan Alle dengan baik, atau angkat kaki dari rumah Papa. Ini rumah Papa dan aturan Papa yang berlaku. Bukan aturan Mamamu, atau aturanmu."

Bolehkah aku tertawa ngakak sekarang ini karena Kalina yang tidak bisa berkutik sama sekali. Satu bantahan dia berikan pada Ayah, dan sekarang Ayah mengungkit kembali bagaimana onarnya seorang Kalina Hakim. Sudah bukan rahasia umum lagi jika perempuan yang empat tahun lebih muda dariku ini sudah berkali-kali membuat keributan hingga viral di media sosial. Di mulai dari membuat ricuh di Club malam dengan pertengkaran dengan seorang selebgram, jangan lupakan juga dia yang menerobos operasi lalu lintas saat mabuk dan banyak hal lagi.

Di bandingkan sebuah prestasi, seorang putri Dhanuwijaya Hakim justru terkenal dengan keonarannya, satu-satunya yang bisa di banggakan oleh Kalina hanya wajah cantik dan nama Hakim yang tersemat di belakang namanya. Jika bukan karena nama Hakim, Kalina tidak lebih dari seorang perempuan yang sama sekali tidak berguna beban keluarga.

Kalina yang berang mendengar teguran keras dari Ayah terlihat hendak memberontak, tapi dengan sigap Bibiku tercinta tersebut menahannya, entah apa yang di bisikannya hingga sukses menahan anaknya yang begajulan tersebut untuk tetap diam walau wajahnya sudah benar-benar butek persis seperti orang yang menahan berak.

Tapi percayalah, aku sangat menikmati ketidakberdayaan mereka. Saat Ayah sudah mengeluarkan ultimatumnya, dua orang parasit ini tidak akan bisa berbuat apapun. Jika macam-macam, bukan tidak mungkin Ayah akan benar-benar menendangnya.

18 tahun benar-benar menyimpan bom bukan hanya untukku tapi juga untuk Ayah.

"Sekarang kamu istirahat ya, Nak. Biar Mbak Ratna yang beresin kamar kamu. Kamu ikut dia ya. Kalau ada apa-apa atau kamu di gangguin Kalina, kamu langsung bilang saja ke Ayah."

"Makasih ya, Yah."

Ayah mengusap rambutku pelan menerima ucapan terimakasihku, seakan ada yang hendak beliau katakan kepadaku, tapi saat aku menunggu apa yang hendak beliau katakan, beliau akhirnya hanya mengangguk kecil sebelum akhirnya beliau berbalik pergi. "Sudah seharusnya Ayah menjagamu, Nak."

Lama aku memandang punggung tegap tersebut, percayalah, aku bahkan lupa bagaimana kokohnya punggung seorang Ayah yang dulu pernah menggendongku. Aku terlalu kecil saat badai menggulung rumah tangga kedua orangtuaku hingga aku nyaris tidak memiliki kenangan indah sedikit pun bersama beliau.

Masa kecil yang seharusnya penuh kebahagiaan dan kesempurnaan hilang musnah karena hadirnya Sang Penggoda, musuh dalam selimut yang datang tanpa tahu malu dan balas budi. Bahagiaku di renggut orang lain, dan saat akhirnya Ayah berusaha untuk menebusnya, aku merasa semuanya sudah terlambat.

"Mari Non Alleyah ikut saya."

Sapaan dari seorang Pembantu rumah tangga yang masih muda membuatku tersentak dari pandanganku akan punggung tegap Ayah, seulas senyum aku berikan pada Mbak Ratna ini, sikap yang seketika membuat Mbak Ratna salah tingkah.

"Jadi Non ini putri Sulungnya Pak Jendral ya, Non?"

Pertanyaan yang sama dan entah untuk keberapa kalinya, tapi kali ini aku sama sekali tidak keberatan dengan Mbak Ratna yang bertanya karena aku bisa merasakan hanya rasa penasaran yang tersirat di suaranya.

"Iya Mbak Ratna, saya anak dari istri pertamanya Ayah saya."

Mbak Ratna mengangguk, sepertinya dia masih ingin bertanya tapi dengan cepat dia menggeleng, seakan dia tengah memperingatkan dirinya sendiri agar tidak melebihi batas.

"Maaf ya Non kalau pertanyaan saya barusan terkesan lancang, tapi saya benar-benar nggak nyangka loh Non, soalnya lima tahun saya ikut keluarga Pak Jendral nggak pernah ada dengar kalau Pak Jendral punya anak selain Non Kalin sama Mas Kaisar."

"Mbak Ratna bukan orang pertama kok yang nanya kayak gini." Jawabku acuh, tepat saat akhirnya kami sampai di depan sebuah pintu kamar yang aku tebak adalah kamar tamu yang di peruntukkan untukku. "Jadi ini kamar saya?"

Mbak Ratna dengan cepat membuka pintu dan membawaku ke dalam ruangan bernuansa abu-abu terang yang tampak simpel dengan perabotan yang sederhana, sudah jelas sekali jika ini adalah kamar tamu. Kembali, saat melihat betapa nyamannya kamar tamu ini saja membuatku miris, segala hal yang ada di ruangan ini adalah yang terbaik di kelasnya. Baru kamar tamu saja sudah semewah ini, entah bagaimana dengan kamar-kamar anggota keluarga ini, pemandangan yang aku dapatkan ini membuat dadaku semakin sesak.

Benar aku memang tidak hidup kekurangan dengan Bunda, tapi untuk mendapatkan sesuap nasi esok hari, aku dan Bunda harus berjuang hari ini penuh kerja keras. Harga diri yang di perjuangkan oleh Bunda memang lebih dari sekedar nilai materi, tapi tetap saja dunia begitu tidak adil terhadap mereka yang terkhianati seperti Bunda.

"Non, Non Alleyah nggak suka?" Mungkin karena melihatku diam sedari masuk tanpa berkata apapun membuat Mbak Ratna khawatir tentang apa yang aku pikirkan sekarang ini, "kata Pak Jendral, Non boleh atur kamar ini sesuai selera Non, kok. Mbak bakal bantuin Non buat pilih-pilih barang dan atur ulang."

Mbak Ratna berujar dengan cepat, bahkan saat aku berbalik untuk melihat ke arahnya perempuan ini tampak ketakutan khawatir jika dia berbuat salah sepertiku, sepertinya ada banyak tekanan di rumah ini yang dia dapatkan hingga Mbak Ratna harus setakut ini.

"Saya bisa atur semuanya sendiri, Mbak. Nggak usah khawatir Mbak. Kamar ini lebih dari cukup, jauh di bandingkan kamar saya di rumah saya yang dulu......."

"Nggak usah jual kesedihan dan kemalangan terus menerus, Kakak Sulung."  Suara berat tersebut menginterupsi obrolanku dengan Mbak Ratna, membuatku menoleh ke arah pintu kamar dan mendapati adik  bungsuku ada di sana.

Sama seperti Ibu dan Kakaknya yang arogan dan semena-mena, laki-laki bernama Kaisar ini juga mengangkat dagunya tinggi sembari bersedekap saat dia mendekat ke arahku.

"Percayalah, telingaku gatal mendengarmu menjual cerita sedih seperti seperti skenario dalam drama ikan terbang. Nggak ada yang lain apa yang bisa di lakukan untuk menarik perhatian Papa selain cerita sedihnya yang memuakkan itu?" Tambahnya sembari mengejekku.

Alih-alih tersinggung dengan apa yang anak kecil ini katakan, aku justru membalasnya dengan tawa geli.

"Nggak jual kesedihan sih Dek. Tapi beneran sedih loh lihat manusia-manusia pohon pisang seperti kalian. Udah ngerebut eeeh ngerasa jadi korban. Adek ini nggak lupa kan kalau Papanya si Adek hasil ngerebut dari Bundaku, bahagiamu ini sebenarnya milikku, Dek. Ibumu, kakakmu, dan kamu yang merebut Ayah dariku, bukan sebaliknya."

".........."

"Paham kamu?! Baik-baik kalau ngomong ya. Ingat, dulu Bundaku di buang begitu saja karena tergoda Ibumu, bukan tidak mungkin jika hal yang sama akan terulang kembali. Karma itu ada, Sayang."

DIGNITY (Pembalasan Luka Putri Sang Jendral)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang