10. Awal Yang Manis

4.8K 555 35
                                    

"Ayah benar, ini Alle, Yah. Ayah tahu, Alle kangen Ayah."

Lama Ayah memelukku dengan begitu erat, entah hanya sekedar pencitraan karena masih ada Mas Dirga di ruangan ini atau memang beliau benar-benar senang melihatku ada di hadapannya, tapi sikap Ayah sekarang ini sukses membuat diri beliau terlihat seperti seorang orangtua yang sangat menyayangi anaknya.

Jika saja aku ini orang lain, bukan seorang anak korban keegoisan beliau yang lebih mementingkan nafsu di bandingkan keluarga indah yang sudah milikinya, tentu aku akan terpesona dengan sikap manis beliau ini. Sayangnya hatiku sudah terlanjur mati menyisakan sikap manis tempat kepura-puraan tersembunyi.

Kata rindu, kangen, dan sayang hanyalah sekedar dusta untuk menebar jerat yang akhirnya menjadi senjata untuk membalaskan dendamku pada orangtuaku ini. Entah takdir tengah berbaik hati atau bagaimana terhadapku, nyatanya sikap Ayah yang langsung menerimaku ini sangat jauh dari perkiraanku, aku kira beliau akan menolak hadirku mentah-mentah hingga membuatku harus berjuang untuk mendapatkan pengakuan, nyatanya Ayah menerimaku dengan tangan terbuka penuh kasih sayang.

Jika sudah seperti ini, bodoh bukan jika aku tidak memanfaatkannya. Alih-alih memaki-maki Ayahku ini atas sikap buruknya dan bersikap arogan menyampaikan dendam, maka aku akan mengambil jalan halus untuk mendapatkan apa yang aku inginkan, yaitu tujuanku untuk menghancurkan kesempurnaan keluarga Hakim yang terhormat.

Bukankah dulu Bibi Amelia bersikap manis sebelum akhirnya menusuk Bunda dan merebut Ayah? Cara itulah yang akan aku gunakan untuk memuluskan segalanya. Bersikap manis layaknya anak yang berbakti serta menjual kelemahan dan penderitaan adalah hal yang aku lakukan.

Satu persatu, aku akan merebut apa yang di miliki oleh Amelia dan juga anak-anaknya kembali, bahkan jika di butuhkan, menjadi Pelakor seperti yang di lakukan Amelia dulu pun aku tidak keberatan, satu hal yang pasti, Amelia dan anak-anaknya harus merasakan sakitnya apa yang aku dan Bunda  rasakan sama ini.

Entah berapa lama kami saling memeluk, sampai akhirnya Ayah melepaskan pelukanku, namun walaupun demikian Ayah sama sekali tidak mengizinkanku untuk menjauh, berdua kami duduk di sofa dalam ruangan megah beliau ini dan aku tahu, akan ada banyak pertanyaan yang aku dapatkan dari beliau, tapi sebelum beliau bertanya, aku yang lebih dahulu bersuara.

"Alle nggak nyangka Ayah bisa ngenalin Alle setelah bertahun-tahun kita nggak pernah bertemu. Alle kira Alle harus ngeluarin akta kelahiran Alle dan juga dokumen yang lainnya biar Ayah percaya, kayak di sinetron-sinetron itu loh, Yah."

Walaupun apa yang aku katakan barusan terlontar dengan nada bercanda, siapapun pasti tahu jika itu adalah sebuah sarkasme yang menohok dengan telak. Seperti itulah yang di rasakan Ayahku, karena sosok yang mulai menua ini menundukkan wajahnya sejenak seakan beliau tengah malu akan kenyataan ini.

Dan percayalah, aku sangat puas melihat wajah bersalah Ayahku sekarang ini.

Ayah mendongak, tangan yang tidak pernah menggandeng tanganku ini menggenggam tanganku dengan kuat, dan menepuknya pelan, ada penyesalan terlihat di mata beliau, seakan melewatkan bertahun-tahun tanpa ada hadirku adalah hal yang berat untuk beliau, tapi sungguh hatiku sama sekali tidak tersentuh. "Tentu saja Ayah akan langsung mengenalimu, Alleyah. Wajah cantikmu sama persis seperti Alim, Bundamu. Bagaimana Ayah tidak langsung mengenalimu, Nak."

Wajah cantik Bundaku? Aku kira selama ini mata Ayah katarak sampai-sampai membuang Bunda yang cantik demi si Pelakor yang menor sampai tua. Ciiiihhhh.

Menyembunyikan rasa muak yang membuat dadaku sesak, aku memilih  untuk tertawa, menertawakan kalimat Ayahku barusan. "Alle kira Ayah sudah lupa dengan Bunda, ternyata ingatan Ayah masih TOP. Tapi Yah, kata Bunda, aku tuh fotokopi Ayah plek ketiplek, tahu. Nggak ada miripnya sama Bunda padahal sembilan bulan Bunda bawa-bawa Alle di dalam perut." Layaknya seorang anak perempuan yang bahagia karena baru saja bertemu dengan Ayahnya kembali dan di sambut dengan baik, aku bercerita dengan manja, mengadu pada beliau dengan kekanak-kanakan seakan tidak pernah ada kebencian yang tersimpan di hatiku walaupun bertahun-tahun di lupakan, bahkan dulu usiaku baru empat tahun, usia yang masih sangat muda untuk menyimpan banyak kenangan indah bersama dengan pria di hadapanku ini.

Aaah, siapa sih yang nggak luluh dengan sikap manisku ini? Katakan aku terlalu percaya diri, tapi memang benar terbukti, Ayah yang sebelumnya terlihat ketakutan di dera rasa bersalah kini pun ikut tertawa menghilangkan rasa canggung yang sempat ada, dengan penuh sayang beliau mengusap rambut panjangku yang tergerai, seakan masih tidak percaya aku ada di hadapan beliau, "Bundamu berhasil didik kamu dengan baik ya, Al. Kamu tahu, Ayah sempat takut untuk bertemu kamu, Ayah takut kamu akan membenci Ayah karena apa yang terjadi di masalalu."

Aku menggeleng pelan sembari menarik nafas panjang, ingin sekali aku mengiyakan kebencian yang mengakar kuat di hatiku, tapi aku berhasil menutupinya dengan wajah sedih, "sebenarnya Alle sedih tahu Yah. Bunda bawa Alle pergi jauh, dan Ayah nggak pernah nengokin Alle, selama ini orang-orang ngira Alle anak haram, anak yang nggak di harapkan oleh Ayahnya sendiri. Ayah kenapa nggak ada nengokin Alle?"

Kembali aku mengeluarkan kesedihan pada Ayahku, membuat tatapan bersalah semakin menjadi di mata beliau yang tajam, sorot mata tajam yang sebenarnya menurun padaku tapi aku sembunyikan di balik kesedihan.

"Mungkin kamu tidak akan percaya dengan apa yang Ayah katakan ini, Nak. Tapi Ayah benar-benar tidak tahu kemana Bundamu membawa kamu pergi, bertahun-tahun Ayah mencari keberadaanmu, jika Bundamu tidak mengizinkan Ayah untuk menemuimu, setidaknya Ayah ingin mencukupimu secara finansial. Ayah ingin memastikan kamu tidak kekurangan apapun, tapi bagaimana lagi Nak, segala usaha sudah Ayah usahakan untuk mencari di mana keberadaanmu tapi hasilnya nihil. Dan sekarang melihat kamu justru yang datang pada Ayah seperti sebuah keajaiban untuk doa yang selama ini "
Ayah berbicara dengan penuh penyesalan, nada suara berwibawa dan penuh komando seperti yang selalu beliau perlihatkan di depan Televisi sama sekali tidak terlihat seakan beliau memang benar-benar tersiksa atas tidak di temukannya kami. Entahlah, aku sulit untuk percaya akan apa yang beliau katakan. Hatiku terlalu hancur hanya untuk sekedar tersentuh.
"Maafin Ayah ya, Nak? Maaf karena sudah gagal menjadi seorang Ayah untuk kamu."

Seperti seorang anak yang berbakti aku mengangguk kecil, tidak lupa senyuman aku sematkan di bibirku semakin menegaskan pada beliau jika semua yang berlalu hanyalah bagian dari masalalu yang tertinggal begitu saja tanpa aku permasalahkan lagi.

"It's oke Ayah. Ayah masih punya banyak waktu untuk memperbaikinya."

Ayah mengangguk penuh keyakinan, menunjukkan padaku kesungguhan yang beliau miliki, "mulai sekarang katakan apapun yang kamu inginkan dan Ayah akan memberikannya. Apapun akan Ayah lakukan dan berikan untuk menebus bertahun-tahun kesedihan yang kamu rasakan tanpa kehadiran Ayah, Nak."

Apapun? Percayalah Ayah, putrimu ini bukan seorang yang serakah seperti Pelakor yang pernah merusak rumah tangga Bunda, putrimu ini hanya akan mengambil apa yang seharusnya memang aku miliki.

Takdir, tolong, setelah banyak ketidakadilan yang Engkau berikan kepadaku, kali ini tunjukkan kebaikan-Mu kepadaku.

DIGNITY (Pembalasan Luka Putri Sang Jendral)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang