Rumah Dhanuwijaya Hakim

5K 567 36
                                    

"Alle, Nak kamu benar-benar nggak mau Ayah anterin ke rumah sakit? Bibirmu sobek loh, Nak."

Di dalam mobil yang melaju, Ayah membersihkan lukaku, bukan hanya bibirku yang sobek, tapi hidungku terasa pengar, dan mataku terasa nyeri, bisa aku tebak jika mata dan hidungku kini pasti lebam karena ulah dari anak haram yang sudah menghajarku seperti orang gila.

Sungguh menggelikan jika di pikirkan, Kalina menyebutku Pelakor sementara kenyataannya justru dia yang anak Pelakor, mana Pelakornya ngerebut suami dari Kakaknya sendiri. Benar-benar definisi tidak tahu malu dan ular dalam selimut. Tidak heran anaknya menjadi seliar itu, memang bibit tidak bisa berbohong.

Walaupun kini wajahku terasa berdenyut nyeri, tapi hasil yang aku dapatkan dari bersabar tanpa balas melawan berbuah sangat manis. Selama ini dunia selalu melihat kebersamaan indah antara seorang Dhanuwijaya Hakim dengan anak-anaknya, tapi perlahan, di mulai dari hari ini aku akan membuat jarak yang lebar di antara Ayah dan anak tersebut. Tidak akan ada lagi cinta dari Ayah untuk anak-anak Pelakor itu. Aku akan membuat Ayah membenci mereka dan hanya melihat keburukan yang selama ini terus menerus Ayah sembunyikan.

Kemarahan dari Ayah terhadap Kalina adalah hal yang aku harapkan, hadiah selamat datang yang terasa begitu manis untuk aku rasakan. Rasanya sangat puas mendapati Ayah membentak Kalina atas sikapnya yang semena-mena terhadapku.

"Nggak apa-apa, Yah. Nggak perlu ke rumah sakit, nanti di kompres pakai es juga redam lebamnya, tapi kalau nanti perut Alle masih sakit, Alle boleh ya bilang ke Ayah." Pintaku memelas, untuk hal ini aku memang tidak berbohong, perutku yang di duduki oleh Kalina memang benar-benar sakit, rasanya sangat mual, dan melihatku yang masih meringis menahan sakit membuat Ayah semakin murka.

"Tentu saja kamu harus bilang, Al. Di sini kamu tanggungjawab Ayah, Bundamu bakal bunuh Ayah kalau sampai kamu krnapa-kenapa di sini. Ayah nggak mau kamu pergi lagi dari Ayah seperti selama ini. Jadi Ayah pastikan tidak akan ada yang berani mengusikmu, termasuk adik-adikmu nanti di rumah."

Tanpa sepengetahuan Ayah aku tersenyum kecil, puas karena rasa bersalah sudah benar-benar menguasai Ayah. Tentu saja hal ini tidak akan aku sia-siakan. Terserah orang mau menyebutku munafik atau bermuka dua, jika untuk mendapatkan sesuatu aku hanya harus bersikap manis kenapa pula aku harus membuang energi dengan bersikap arogan dan marah-marah tidak jelas. Sama sekali tidak aku sangka jika Ayah masih secuil nurani yang memikirkan tentang perasaan Bunda jika sampai aku di sakiti.

"Termasuk jika Bibi yang menyakiti Alle, Yah?"

Mendengar panggilan Bibi yang aku pakai untuk menyebut istrinya membuat wajah Ayah mengeruh, sepertinya panggilan yang aku gunakan untuk menyebut istrinya tersebut membuat Ayah teringat kembali betapa fatalnya kesalahan yang sudah dia lakukan. Berselingkuh saja sudah salah, apalagi selingkuhannya adalah adik kandung dari istrinya sendiri bahkan mereka berbuat yang tidak-tidak di bawah atap yang sama dengan rumah tempat berlindung sang istri, antara Ayah dan Bibiku mereka berdua benar-benar definisi manusia berotak binatang yang sama sekali tidak tahu malu tidak berperasaan.

Melihat wajah Ayah yang sudah tidak karuan, campuran antara malu, marah, tersiksa dan entah apalagi justru membuatku senang, ya setiap detiknya aku akan mengungkit kesalahan beliau secara halus hingga beliau akan mati tenggelam dalam perasaan bersalah yang tidak termaafkan.

"Yah, bagaimana? Kalau di rumah Ayah nanti Alle cuma bikin masalah dan rumah nggak tenang, Alle nggak apa-apa kok kalau Alle ngekos saja. Ini saja Alle sudah makasih banget Ayah mau bantuin Alle masalah rumah di kampung. Ayah nggak perlu khawatir, Alle udah terbiasa kok hidup sendiri."

Mendapati keraguan yang sempat singgah di mata Ayah membuatku bergerak cepat, jika memaksa tidak bisa, maka jalan terbaik adalah meluluhkan dan melepaskan. Dan benar saja dugaanku, saat mendengar aku memilih mengalah untuk tinggal di rumah beliau, seketika Ayah menggeleng dengan cepat.

"Tidak, kamu tidak boleh tinggal di tempat selain rumah Ayahmu ini. Percayalah, Nak. Tidak akan ada yang berani menyakitimu lagi, Ayah berjanji."

....
........

"AMELIA!!!!!!"

"............"

"DI MANA KAMU SEMBUNYIKAN ANAKMU YANG KURANG AJAR ITU?"

Melihat sebuah mobil Mini Cooper yang terparkir di depan mobil Ayah telah di depan rumah membuatku tahu jika perempuan kurang ajar yang sudah membuatku terluka tersebut sudah kembali ke rumahnya yang megah ini.

Di bandingkan mengikuti Ayah yang akan memarahi anaknya yang sudah mempermalukannya di tempat umum, aku lebih memilih untuk berdiri di tempatku sekarang untuk melihat bagaimana megahnya rumah yang di tempati Ayahku.
Jangan kalian tanya bagaimana perasaanku sekarang melihat hidup dua orang yang sudah menyakiti Bunda begitu nyaman dan bahagianya berbeda 180° dengan Bunda yang harus banting tulang hanya untuk sekedar makan kami berdua. Segala usaha yang dulu di rintis Bunda di awal pernikahan beliau dengan Ayah hasilnya justru di nikmati orang-orang yang tidak tahu diri ini.

Itulah sebabnya aku akan benar-benar menagih setiap janji yang di ucapkan oleh Ayahku saat akhirnya mobil mewah milik Ayahku ini berhenti di sebuah rumah megah yang selama ini selalu di pamerkan oleh Bibi dan juga adik-adik tiriku, aku hanya perlu berdiam dan Ayahku lah yang akan membereskan semuanya.

Entah pertengkaran macam apa yang terjadi di dalam sana, yang jelas saat nama Ibuku di sebut berulangkali oleh mulut kotor Sundal yang tidak tahu malu itu, aku segera melangkahkan kakiku untuk masuk ke dalam rumah megah tersebut. Sayang sekali rasanya jika sampai aku tidak melihat perdebatan seru yang menjadi acara penyambutanku di rumah Ayahku ini.

"Kurang apa aku selama ini ke kamu, Mas? Sampai kamu harus bawa lagi masalalu kamu ke rumah kita, haaah?"

"Alleyah, dia anakku juga, Amelia. Kamu tidak berhak melarang Alle untuk tinggal bersamaku."

"Nggak, aku nggak izinin anak si Alim itu masuk ke rumahku. Hari ini anaknya, bukan nggak mungkin besok kamu bawa Alim kembali ke dalam hidup kita. Semua ini cuma alasan kamu kan buat bawa Alim balik lagi."

"Gila kamu, Mel!"

"Kamu yang gila, Mas. Nggak, kamu nggak boleh bawa Alim atau bahkan anaknya untuk datang ke rumahku."

Benar sesuai dugaanku, baru saja aku menginjakkan kakiku di ruang tamu yang berhias potret keluarga seorang Dhanuwijaya Hakim dengan pakaian mereka yang serasi, sebuah vas melayang ke arahku nyaris menghantam kepalaku. Pantas saja kelakuan Kalina seperti Tarzan, lha emaknya saja kayak Gorila ngamuk. Rasanya sangat puas sekali melihat bagaimana Bibiku ini begitu takut dengan bayang-bayang Bunda yang selama ini menghantui hari-harinya.

Kebahagiaan yang terlihat di media sosial nyatanya tidak sepenuhnya benar terjadi di kehidupan nyata, selamanya mereka akan terbayang-bayang ketakutan dari orang-orang yang sudah mereka sakiti dan rebut kebahagiaan. Wajah pucat dan penuh kemarahan dari Bibiku tercinta saat melihatku sekarang ini sudah menjelaskan semuanya.

"Kamu......"

Ya, kalimat yang sama persis seperti yang di ucapkan oleh adik tiriku tadi.

"Halo Bibi, sambutan yang meriah ya, Bi?!"

DIGNITY (Pembalasan Luka Putri Sang Jendral)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang