21. Peringatan Dhanuwijaya

5.5K 643 39
                                    

Holaa, sekarang Alleyah sudah full part on playbook, yuk yang mau baca secara lengkap lebih dahulu bisa ke playbook ya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Holaa, sekarang Alleyah sudah full part on playbook, yuk yang mau baca secara lengkap lebih dahulu bisa ke playbook ya.
Link pembelian ada di profil dan beranda wattpad.
Happy reading semuanya.
Enjooy

"Tuan, kata Nyonya dan Non Kalina, beliau nggak mau makan di bawah selama ada Non Alle."

Seketika Ayah meletakkan sendok makan beliau, bukan hanya beliau, Ajudan Ayah yang tidak aku hafal namanya pun turut meletakkan sendoknya, tapi hanya sekejap Ayah mendesah lelah, karena selanjutnya beliau kembali mengangkat sendoknya dan mulai menyuap nasi sop hasil masakanku seakan beliau tidak mendengar apapun.

"Kalian ayo lanjutkan makannya, sayang kalau makanan seenak ini tidak di makan hanya karena orang-orang yang sudah tua tapi merajuk tidak tahu tempat."

Pelan dan nyelekit. Suasana meja makan pagi ini terasa suram karena ulah Ibu dan saudara tiriku, tapi tidak mau membantah apa yang di perintahkan oleh Ayah, mereka pun melanjutkan makan dengan tenang seakan tidak terpengaruh dengan absennya tiga anggota inti rumah ini yang protes karena kehadiranku.

Beberapa pasang mata melihatku menelisik, penasaran akan hadirku di rumah ini yang langsung mendapatkan perlakukan istimewa dari Ayahku. Terlebih saat Ayah mengajakku berbicara hal-hal tentang kuliah, dan juga saat aku mengutarakan rencanaku untuk mengambil tawaran sebagai editor di sebuah penerbit mayor yang cukup terkenal.

Bisa aku lihat jika Ayah semakin terkesan dengan apa yang telah aku capai dan tertatanya hidupku.

"Ayah akan mendukung apapun pilihanmu, Alleyah. Selama kamu senang melakukannya dan tidak terbebani ambil saja pekerjaan itu, bangun koneksi seluas mungkin dan asah pengalaman dengan baik. Tapi ingat, kamu ambil pekerjaan ini hanya sebagai sampingan. Apapun kebutuhanmu tetap jadi tanggung jawab Ayah, kamu mengerti."

Aku mengangguk bersemangat, senang karena izin untukku bekerja sudah aku kantongi. "Terimakasih, Yah."

Ayah mengusap rambutku pelan, sama sepertiku, beliau pun tersenyum kecil, "sama-sama, Alleyah. Terimakasih juga sudah membuat sarapan paling enak buat Ayah."

Menanggapi pujian dari Ayah, aku meraih kembali satu sendok sayur ke piring Ayah, "kalau begitu Ayah harus makan yang banyak. Selama Alle di sini, Alle akan sering-sering masak buat Ayah. Ayah tinggal bilang ke Alle mau makan apa, dan bim salabim Alle akan menghidangkannya buat Ayah."

"Baiklah, Ayah akan menunggu setiap kejutan dari putri cantik Ayah ini. Apapun yang Alle masak buat Ayah, Ayah akan menghabiskannya."

Mendengar pujian dari Ayah seketika aku tertawa, tawa bahagia yang diam-diam membuat iri orang-orang yang tidak menginginkan hadirku di rumah ini. Siapa lagi yang membenci hadirku di rumah ini jika bukan Ibu dan dua saudara tiriku.

Ibu tiri atau lebih tepatnya adalah Bibiku ini tengah memandangku penuh kebencian bersama dengan Kalina. Ibu tiriku yang merajuk tidak mau turun untuk sarapan berharap Ayah akan membujuknya nyatanya harus gigit jari karena Ayah lebih memilih untuk makan bersamaku dan ajudannya.

Ibu tiriku selama ini merasa menang sudah bisa menguasai Ayah dan membuat Ayah lupa dengan hadirku karena dengannya Ayah memiliki sepasang anak yang lengkap, perempuan dan laki-laki. Bibiku yang jahat ini terlalu mengenal Bundaku, dia tahu harga diri Bunda yang begitu tinggi tidak akan mengizinkan Bunda untuk kembali kepada Ayah, Bibiku merasa di atas awan tanpa khawatir kami akan mengusik bahagia yang sudah di rebutnya.

Sayangnya hadirku yang tiba-tiba merusak semua kebahagiaan yang sudah di rebut Bibi. Dalam sekejap kasih sayang Ayah yang begitu besar kepada anak-anaknya berangsur berkurang dan beralih kepadaku.

Di bandingkan anak-anaknya yang hanya mengandalkan nama Hakim di belakang nama mereka, kedua anak Bibi kalah telak denganku. Dengan mengandalkan kedua kakiku sendiri aku bisa berdiri dengan sederetan prestasi yang bisa Ayah banggakan.

Tidak ada drama tentang Ayah yang menolak mengakuiku. Ayah menerimaku dengan bahagia, dan itu membuat Bibiku geram. Itulah sebabnya, saat semua Ajudan Ayah sudah selesai sarapan, Bibiku dan juga Anak perempuan kesayangannya yang masih menekuk mukanya yang jelek karena marah kepada Ayah karena membelaku, menghampiriku dengan tatapannya yang nyalang.

"Papa ini gimana sih?" Brakkk, seperti preman, Bibiku menggebrak menja makan, membuatku seketika mendongak menatap wajahnya yang memerah menahan amarah, "Istri sama anaknya nggak ikut sarapan, bukannya di bujuk malah enak-enakan sarapan sendiri! Kok bisa Papa makan nggak pakai kesedak nggak ingat anak istri."

Ayah sama sekali tidak bereaksi, alih-alih menjawab protes dari istrinya yang barbar, Ayah justru memanggil Bik Lela dan yang lainnya untuk membereskan meja makan, membuat Bibiku ini semakin murka. "Bik, makanannya kalau nggak habis di makan sama Bibi kasih ke yang lain, kalau perlu kasih ke satpam komplek." Pesan Ayah yang langsung di jawab anggukan Bik Lela.

"Pa, ini kenapa malah di beresin sih, Mama sama Kalina belum makan, malah makanannya di kasih ke para Babu!"

Babu? Mendengar panggilan yang sangat merendahkan tersebut membuatku meradang, aku tahu jika Bibiku ini manusia Pohon Pisang, tapi mendengar mulut kotornya tersebut berucap begitu entengnya menghina orang lain membuatku berdecak kesal. Apalagi saat melihat wajah Bik Lela yang begitu sedih, huuuh, ingin sekali ku sumpal bibir menornya tersebut.

"Bawa ke belakang saja, Bi." Tambahku saat Bik Lela meragu, di lema harus menuruti perintah siapa.

"Heeeh, apa-apaan kamu ini! Anaknya Alim, kamu nggak usah sok ikut campur di rumah ini. Saya Nyonya di rumah ini, saya lebih berhak memberikan perintah daripada kamu."

Nyonya rumah dia bilang! Ckckck, dasar Pelakor tidak tahu malu. Dapat gelar Nyonya rumah hasil nyolong aja bangganya nggak ketulungan. Enggan untuk menanggapi dengan kemarahan yang sama aku membalas ucapan Bibiku dengan santai.

"Yakin Bibi mau makan masakan itu? Itu masakan Alle loh, Bi! Syukur sih kalau Bibi berkenan makan masakan Alle. Alle juga ikutan senang." Cetusku yang langsung di sambut pelototan Bibiku ini, persis seperti ikan emas yang tengah di cekik. Tidak hanya itu, melengkapi rasa jijiknya kepadaku, Bibiku ini bahkan bergidik.

"Iyuuuh, sana cepetan singkirkan. Nggak sudi aku makan masakan anaknya si Alim ini, bisa-bisa di dalamnya di kasih santet lagi, casingnya saja yang kalem, dalamnya siapa yang......"

Braaaakkkkk. Belum selesai Bibiku menyelesaikan ejekan yang membawa-bawa nama Bundaku, Ayan sudah lebih dulu menggebrak meja dengan geram, membuat Bibi yang tengah berapi-api mengeluarkan ejekannya seketika menciut ketakutan saat Ayah melihatnya dengan pandangan mata tajam.

"Jika tidak mau makan makanan yang ada di rumah ini, diam dan tutup mulutmu yang suka menghina itu Amelia. Kurang sabar apa aku menghadapimu selama ini. Sekali lagi aku mendengarmu menghina Alleyah, aku pastikan akan melemparmu ke jalanan. Camkan itu baik-baik."

Senyum terukir samar di bibirku, rasanya sangat bahagia mendengar bagaimana Ayah memberikan ultimatum pada Pelakor ini, dan menyemburkan pagiku yang indah, Ayah memberikan perintah khusus pada Mas Dirga yang membuat Kalina menggerung kesal tapi tidak berani mengeluarkan protes.

"Dirga, antarkan Alleyah ke Kampus, nggak usah nungguin Kalina. Biar dia beranjak sendiri mulai sekarang."

DIGNITY (Pembalasan Luka Putri Sang Jendral)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang