"Halo Bibi, sambutan yang meriah ya, Bi?!"
Dengan tangan yang masih memegang vas bunga, aku mendekati Bibi yang kini mendelik murka ke arahku yang semakin mendekat ke arah beliau. Tepat saat aku sampai di antara Ayah dan Gundik yang kini menjadi ratu di rumah ini, aku meletakkan kembali vas bunga ini ke tempatnya semula.
"Nyaris saja vas bunganya kena Ayah. Lain kali hati-hati, Bi. Nggak baik main hancurkan barang kayak gini. Nggak patut di contoh sama bawahan Ayah."
Tidak ada nada tinggi, tidak ada umpatan kasar seperti yang Bibi dan Kalina teriakkan, tapi kalimatku yang halus sukses membuat wajah Bibi sudah semerah tomat busuk.
"Kamu!!!!" Tunjuknya lantang ke arahku, mata dengan bulu mata cetar membahana bagai selebritis ibu kota tersebut melotot ke arahku, kesan sosialita yang anggun khas Ibu-ibu Pejabat seperti yang selama ini di bangun Bibiku hancur tidak bersisa, percayalah, di bandingkan seorang Ibu Bhayangkari yang lembut dan anggun, Bibiku lebih mirip Ursula. "Siapa yang ngizinin kamu masuk ke rumahku?! Pergi sana, aku nggak sudi rumahku di injak-injak olehmu. Kamu tidak di terima di rumah ini sama seperti Ibumu yang tidak layak ada di sini."
Kedua tanganku terkepal, amarah menguasaiku mendengar mulut kotor jalang tidak tahu diri ini menyebut nama Bunda dengan lancangnya, dan apa dia bilang tadi Bundaku tidak layak ada di sini? Sebelum Ayahku membuka suaranya memberikan pembelaan terhadapku, aku sudah lebih dahulu berbicara, tanpa menyembunyikan seringaiku melihat kekalutannya sekarang ini saat melihatku hadir di dalam hidupnya bak sebuah borok di tengah kesempurnaan.
"Bibi, koreksi sedikit ya. Bunda bukan nggak di terima di rumah ini, Bi. Tapi Bunda yang lebih memilih angkat kaki dari rumah Ayahku. Bisa di bedakan ya Bi nggak di terima sama pergi. Masak sih Bi, Bibi ini harus di ingatkan sama Alle soal kenaikan Bunda ini, kalau Bunda nggak angkat kaki, selamanya Bibi jadi simpanan Ayah dong."
"Anak kurang ajar, lihat Mas, lihat anak Alim yang kurang ajar ini." Murka, bahkan Bibiku ini nyaris menyerangku jika saja Ayah tidak menghalangi Bibiku yang menggila. Mendapati Ayah lebih memilih menyelamatkanku membuat Bibi semakin murka.
"Diamlah Amelia. Jangan usik Alleyah."
"Bagaimana aku tidak mengusiknya jika baru saja sampai tapi dia sudah berani menghinaku."
Astaga, sulit aku percaya Bunda memiliki saudara kandung segila Bibiku ini, sikapnya benar-benar buruk. Dia yang sudah berbuat jahat pada Bunda, tapi dia dengan soknya justru bersikap seakan dia adalah korban. Entah pelet apa yang sudah Bibiku ini gunakan pada Ayah hingga Ayah mau dengannya.
Saat berurusan dengan selakangan wanita, pria pintar seperti Ayahku pun bisa bodoh seketika. Rasa benciku pada Ayah kini bercampur dengan rasa kasihan karena beliau harus hidup dengan ODGJ seperti Bibiku.
Benar-benar definisi membuang berlian demi batu gamping.
"Alle nggak akan ngusik Bibi kalau Bibi nggak bawa-bawa nama Bunda." Tidak ingin mengalah, aku menjawab dengan sama lantangnya. "Salah apa Bunda dan aku sampai Bibi nggak nerima Alle di rumah Ayah Alle sendiri? Apa 18 tahun masih kurang Bi? 18 tahun penuh Bibi kuasai Ayah sampai Ayah lupa jika Ayah masih punya anak perempuan dari Bundaku. 18 tahun Ayah nggak menuhin tanggung jawabnya sebagai seorang Ayah terhadapku, lantas sekarang Bibi mengusirku dari rumah Ayahku sendiri? Saat Bibi meminta Ayah dari Bunda saja Bunda memberikannya, tapi untuk secuil tanggung jawab saja Ayah berikan kepadaku Bibi tidak rela?"
Semua orang yang ada di ruangan ini terdiam, bukan hanya Bibiku, tapi juga Ayahku, Kalina yang sedari tadi menciut ketakutan karena baru saja kena damprat Ayah, juga Kaisar, putra bungsu Ayah yang baru saja memasuki rumah dan masih mengenakan seragam, semuanya membeku mendengar serentetan protes yang aku layangkan pada mereka.
"Kalian itu manusia, tapi persis pohon pisang. Berjantung tapi tidak berhati. Kalau memang hadir Alle tidak di terima di rumah ini, it's oke, nggak masalah, toh Alle juga sudah terbiasa hidup tanpa figur seorang Ayah."
Aku berbalik, dengan langkah mantap aku menjauh dari para manusia tidak berhati ini tanpa keraguan sedikit pun. Kali ini aku benar-benar bertaruh dengan takdir akan keputusan yang aku ambil ini, bertaruh tentang Ayahku akan memilihku atau beliau akan memilih mempertahankan keluarganya, dan aku sangat yakin jika akulah pemenangnya.
Seperti yang bisa aku duga. Tepat saat kakiku ada di bibir pintu rumah megah ini, Ayah berteriak memanggilku menghentikan langkahku, seakan takut jika aku akan pergi, bahkan beliau berlari untuk menghentikanku agar tidak pergi dari rumah ini.
"Alleyah, Ayah nggak izinin kamu pergi kemanapun. Ini rumah Ayah dan Ayah yang berhak menentukan siapa-siapa saja yang boleh tinggal di rumah ini. Kamu ngerti?"
Aku terdiam, pandanganku sendu saat melihat Ayahku tengah mengiba seperti sekarang ini, tapi percayalah, jauh di lubuk hatiku tidak ada sedikit pun kehangatan yang aku rasakan mendapatkan perhatian Ayah yang begitu besar. Hatiku terlanjur mati tidak bisa di sentuh lagi oleh ketulusan Ayahku ini.
"Alle nggak akan tinggal di sini jika keluarga Ayah itu masih menyakiti Alle ataupun menyinggung Bunda."
"Nggak akan ada yang nyakitin kamu di sini, Nak. Ayah pastikan itu."
Ayah menggeleng keras, sepertinya tekad beliau untuk menebus tahun-tahun yang sudah berlalu di dalam hidupku benar-benar sudah bulat. Bahkan kemarahan dari keluarganya pun sudah tidak di pedulikan oleh Ayah.
Syukurin, sekarang Pelakor tersebut merasakan apa yang pernah Bundaku rasakan. Dulu Bibiku tertawa di atas tangis Bunda saat Ayah berkhianat, maka sekarang akulah yang akan tertawa melihatnya tidak di pedulikan oleh Ayahku."Waaaah, luar biasa! Baru hari pertama kamu menginjakkan kaki di rumah ini, dan kamu sudah bisa mempengaruhi Papaku sebesar ini, hebat! Hebat sekali! Dalam sekejap kamu bisa bikin Papaku lupa sama kami, apa hebatnya sih Pa anak Papa dari perempuan kampung itu di bandingkan kami yang selama ini sudah bersama Papa?"
Tepuk tangan dari Kalina bergema di tengah tengah ruangan sunyi ini, sepertinya nyalinya sudah terkumpul kembali setelah sedari tadi dia diam seperti curut yang ketakutan. Perhatian yang di berikan Ayah kepadaku sepertinya sudah menyingkirkan ketakutannya. Tatapannya persis seperti saat tadi dia melabrakku, mengira jika aku ini Pelakor.
Tapi secepat sahutan yang Kalina berikan pada Ayahku, secepat itu pula Ayah membalas putri kesayangannya.
"Yang jelas Alleyah nggak pernah nyusahin Papa kayak kamu, Kalina. Daripada mulutmu itu kamu gunakan untuk melawan Papa, lebih baik gunakan otakmu untuk belajar dengan benar. Dari kecil di sekolahkan di tempat terbaik tapi otakmu kosong tidak ada isinya. Jika bukan karena nama Papamu ini, tidak akan ada yang mau menghormati perempuan bodoh pembuat onar sepertimu."
"............"
"Tutup mulutmu dan perlakukan Alle dengan baik, atau angkat kaki dari rumah Papa. Ini rumah Papa dan aturan Papa yang berlaku. Bukan aturan Mamamu, atau aturanmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
DIGNITY (Pembalasan Luka Putri Sang Jendral)
RomansMenjadi tokoh antagonis di dunia bukanlah hal yang di inginkan oleh Alleyah Hakim, tapi demi membalas setiap luka yang pernah di torehkan oleh Ayahanda dan juga Ibu tiri yang tidak lain adalah Bibinya sendiri, Alle rela melakukan segala hal untuk me...