Tridasa [13]

1.5K 250 24
                                    

"Aku gak mau bun!"

Persetan dengan segala hal yang ada di dunia, begitu pula dengan keinginan bunda saat ini.

Bagaimana bisa bundamu menyuruh agar belajar bersama dengan Kaiser.

"Sekali ini aja turutin omongan bunda." Sahut bunda yang sibuk berkutat pada peralatan dapur.

Bukan apa, yang diinginkan bunda adalah agar kamu bisa bersanding dan banyak menghabiskan waktu dengan Kaiser.

Pemikiran konyol.

Kamu menghela napas jengah, "Bun!"

"Selama ini aku udah nurutin segala yang bunda bilang, dari di mana bunda nuntut prestasi, nuntut biar selalu mandiri, sempurna, dan gak ngandelin siapa pun.... semua udah aku penuhi."

Bundamu langsung memberhentikan aktifitasnya. Ia menatapmu balik, "Kamu-"

"Terus? Kenapa sekarang bunda yang berbalik pikiran?" Lanjutmu dengan napas terengah-engah.

Emosimu sudah tidak stabil. Ditambah dengan raut wajah yang cenderung marah.

Penjelasan panjang dan lebar sudah kamu keluarkan. Sebuah unek-unek yang telah kamu pendam sendiri, akhirnya terkeluarkan.

Kedua alis bundamu menyatu dengan kening yang mengerut. "Terus? Itu semua demi kebaikan kamu sendiri."

"Tapi itu bikin hidupku gak baik bunda...."

BRAK

Bantingan alat dapur yang disengaja, membuatmu terlonjak kaget. Pandanganmu langsung mengarah pada bunda.

Wanita paruh baya itu terlihat sangat marah. Hal tersebut terlihat pada cara berjalannya yang menuju ke arahmu dengan tergesah-gesah.

"Hidup kamu gak baik? SELAMA INI MATA KAMU KE MANA?!" Tanya bunda meninggikan oktaf suara.

Refleks pandanganmu menyalang. Secara bersamaan bola matamu tiba-tiba terasa panas. "Bunda kenapa sih?"

Pertanyaan tersebut terlontar dengan pandangan yang saling beradu.

Bunda tersenyum kecut dan membuang wajahnya kasar. Lalu kembali menatapmu tajam.

"Jangan suka ngeluh jadi perempuan, kamu masih muda. Tugas kamu cuman belajar dan berpendidikan tinggi, segitu doang kamu capek?" Ejek bunda menaik turunkan ucapannya.

Kamu semakin tidak habis pikir. Sebenarnya apa sih yang diinginkan bunda?

Selaras otak yang bekerja, napasmu naik turun tidak karuan. "Kelihatan spele ya, bun? BUNDA GAK TAU GIMANA STRESS NYA AKU NGEJAR NILAI!"

"Kamu!"

"BUNDA GAK BAKALAN TAU! Bunda gak bakalan ngerti, aku pengen bebas, bun. Aku juga pengen pacaran sama nikmatin masa remaja. TAPI GIMANA, GIMANA CARANYA KALO BUNDA AJA NUNTUT SANA SINI,"

Hendak saja ucapan kasar kamu lontarkan, "KALO AJA-"

PLAK

Tamparan mulus mendarat langsung di pipimu. Terasa sangat panas dan berat. Saat itu juga air matamu meluncur.

Perasaan sedih, kesal, marah, penyesalan, bercampur menjadi satu.

Tak hanya air mata, hidungmu pun ikut mengeluarkan air dan bahu yang bergetar kencang.

"Jangan melebihi batas. Bunda gak pernah ngajarin kamu sikap kurang ajar!" Tekan bunda di akhir kalimat.

Bibirmu bergetar, namun kamu berusaha menstabilkan agar terlihat tidak kalah dari bunda. "Te-terus? Bunda juga kurang ajar, sekarang suka main tangan!"

꒷ 𝐒ampoerna ،  𝐊aiser Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang