9

73 14 10
                                    

Lagi, untuk kesekian kalinya Ares mengikatkan kertas pembungkus sedotan tadi pada jari manisku. Entah apa tujuannya, intinya aku selalu senang dengan perlakuan 'anti romantic' nya yang sebenarnya romantis.

"Lo masih Bianca kan?" ucap Ares, mengalihkan tatapanku dari jemari yang sudah ia hiasi cincin buatan itu.

Aku menyergit heran, mengangguk pelan sebagai jawaban. Entahlah, pertanyaan Ares aneh sekali. Memangnya aku terlihat seperti bukan diriku?

"Gue kira kemasukan, ga hafal ayat kursi soalnya," balas cowok itu enteng, lantas menyeruput es teh pesanannya.

"Ih sembarangan! Orang aku ga ada teriak-teriak ga jelas," kesalku, memukul pelan lengan Ares yang kencang berotot itu.

"Ya abisnya senyam-senyum ga jelas gitu kayak orang kemasukan aja," ucap Ares, lantas meraih jemariku untuk ia genggam.

Aku mendengus pelan, mati-matian menahan pekikkan karena tingkah romantis Ares, sampai...

"Jadi, kamu bolos les karna sibuk pacaran ya?" ucap sebuah suara yang lumayan tidak nyaman di pendengaranku, sama seperti Ares yang juga terlihat mendengus malas.

Cowok dengan tinggi semampai itu beranjak untuk berdiri, dengan masih menggandengku ia membawaku ke meja kasir. Yah, harusnya kami pergi membayar, sebelum sebuah suara berhasil memancing emosi Ares.

"Tidur di makam? Mau jadi apa kamu? Ngapain ke sana? Mau minta tips jadi anak lemah ke dia? Berapa kali sih harus mommy bilangin ke kamu?! Kalau masih mau jadi anak mommy, kamu harus berprestasi. Kamu sering bolos les yang udah dibayar mahal, kamu kira itu ga buang-buang duit?! Kalau ga bisa ngasih prestasi minimal usaha dong kayak Raka!" ucap wanita paruh baya dengan style ala-ala ibu sosialita itu sambil menatap tajam ke arah Ares, tidak jarang, Ares ditunjuk-tunjuk oleh wanita yang menyebut dirinya 'mommy' itu.

Dapat kurasakan, genggaman Ares semakin mengerat. Seperti dugaanku, Ares mulai emosi, namun, memang masih bisa mengontrolnya.

"Kalau boleh pilih, saya ga mau lahir jadi anak anda. Satu lagi, adik saya bukan lemah. Dia hanya terlalu kuat untuk orang seperti anda. Impian saya berbeda, dan itu hak dan kewajiban saya untuk mewujudkannya. Kalau anda tidak suka, itu pilihan anda. Saya ga hidup untuk mewujudkan mimpi dan ambisi anda, sekalipun saya terlahir dari anda," ucap Ares, lantas berjalan membawaku beranjak dari tempat itu.

Suasana kembali hening, usai Ares membawaku ke sebuah taman yang tidak jauh dari cafe. Cowok itu masih saja diam, tenggelam dalam pikirannya. Pasti memikirkan kejadian barusan.

Aku mengelus pelan tangan Ares yang masih setia menggenggam jemariku, sesekali menepuk-nepuk punggung tangannya.

"Aku ga tau bisa bantu kamu atau nggak, tapi kalo mau cerita aku siap kok dengerin kamu," ucapku, entah mendapat keberanian dari mana sudah menatap lekat wajah Ares yang matanya ia pejamkan.

Ares membuka matanya, menatapku dengan tatapan yang tak terbaca. Entah apa yang akan ia lakukan selanjutnya, mengusirku atau apapun itu aku sudah sangat siap.

"Yakin mau bantu?" tanya Ares, yang kubalas dengan anggukan mantap. Seolah meyakinkan cowok itu kalau aku benar-benar sudah yakin untuk membantunya.

"Kalau gitu bantu gue lupain kejadian di cafe tadi, cukup ingat ini!" ucapnya sebelum beranjak mendekatkan diri ke arahku.

Cup

Satu ciuman ia berikan di bibirku, meninggalkan ekspresi melongo dengan pipi yang sudah merah bak tomat.

"Lucu," ucapnya lagi, sebelum mencubit gemas pipiku yang masih memerah karena salting.

***

Annyeong

Yuhuu author up lagi nih, kalian suka ga sama dua part kedekatan Ares sama Bianca ini?

Kalau iya, jan lupa vote sama komentnya yaa

Hope u guys enjoy

LOVE U

CU

LOVERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang