29

56 6 0
                                    

Aku terkejut, ketika dengan santainya Ares memelukku dari belakang.

Usai berbincang dengan Buna Elona tadi, aku memutuskan untuk menikmati langit malam di balkon kamar yang aku tempati.

"Kok masih di luar sih? Kamu ga dingin?" tanya Ares, meletakkan dagunya pada pundakku.

Aku menggeleng pelan, ikut menaruh kepalaku di atas kepala kekasihku itu. Walau masih tidak percaya, setidaknya perlakuan Ares pelan-pelan membuatku terbiasa menjadi kekasihnya.

"Aku abis telfon abang tadi, katanya dia mau ketemu. Boleh anterin aku ga?" tanyaku, membuat Ares langsung berdiri tegak dan menarik aku untuk berhadapan dengannya.

"Ngapain telfonan sama dia?" tanya cowok itu, sibuk mengelus kepalaku.

"Ares, kita udah bahas ini kan sebelumnya? Mungkin abang mau jelasin sesuatu"

Ares mendengus, cowok itu beralih mengelus sudut bibirku yang masih dihiasi luka sobek itu.

"Lukanya bahkan masih ada Bi. Aku yakin, kamu juga pasti masih sakit hati kan? Harusnya aku patahin aja tangan si tua bangka itu," jawab Ares mulai melayangkan tatapan intensnya padaku.

Aku tersenyum tipis. Susah memang membujuk manusia es kesayanganku ini.

"Tapi ga ada salahnya aku ketemu sebentar. Sekalian ambil barang-barang aku kan?"

Hening. Hanya itu yang kudapat dari Ares. Cowok itu malah keasikan memainkan rambut hitam panjang milikku.

"Ares ih. Jawab dulu! Boleh yaa?" ucapku sekali lagi dengan ekspresi yang kubuat sememelas mungkin, agar cowok itu mengizinkan.

"Yaudah boleh. Tapi, harus aku yang nemenin dan anterin kamu. Deal?"

Seperti yang dikatakan Ares semalam, aku benar-benar pergi ke rumah abangku bersama cowok itu. Sepanjang jalan, kami hanya ditemani lagu Always milik Daniel Caesar yang akhir-akhir ini memang sedang naik daun.

"Kamu tunggu di mobil aja, aku ga lama kok!" ucapku, yang tidak diindahkan oleh cowok itu. Terbukti dengan pergerakannya yang juga ikut keluar dari dalam mobil.

"Batu banget sih, dibilangin tunggu di mobil aja juga!" aku berucap sebal, sambil terus berjalan dengan Ares yang seperti pengawal berjalan di belakangku.

Cowok itu lebih banyak diam, walau sikap manisnya tidak pernah hilang. Seperti melindungi kepalaku dari terik matahari yang memang sedang panas-panasnya siang itu.

"Bianca?! Kamu kok?!" ucapan Mbak Arum terhenti ketika melihat kehadiran Ares. Cowok itu sempat berbisik agar aku langsung bergegas mengambil barangku di kamar.

"Kamu siapa?"

Ares terlihat memutar bola mata malas. Masih ingat kan kalau aku pernah bilang attitude Ares sedikit buruk? Ternyata cowok itu akan bersikap demikian kalau berhadapan dengan sesuatu yang tidak ia sukai. Seperti sekarang ini.

"Pacar Bianca," balasnya, sebelum menyusulku ke kamar.

"Abang minta maaf Bi. Abang ga maksud ngelakuin itu ke kamu, abang terpaksa karena harus lunasin hutang Mbak kamu," ucap Bang Viko, yang kini sudah berlutut disampingku.

Aku masih mematung, bingung sekaligus marah. Bingung, harus memberikan reaksi yang bagaimana kepada orang yang kukenal dan satu-satunya keluargaku sejak enam belas tahun silam.

"Bangun! Lunasin hutangnya pake ini, degan syarat lo ga boleh ketemu Bianca lagi setelah ini," ucap Ares, menyodorkan sebuah kartu kredit pada Bang Viko yang kini sudah ia paksa untuk bangun dari posisi berlututnya.

"Ares, ini urusan aku," ucapku, karena tidak ingin merepotkan cowok itu untuk yang kesekian kalinya.

Ares menggeleng kuat, sambil ikut membantu mengemas bajuku.
"Sejak jadi pacarku, semua urusan kamu jadi urusan aku juga. Sekarang fokus packing dulu yah. Buna udah rewel nyariin anak gadisnya," balas cowok itu, dengan sebuah senyum tipis di akhir kalimatnya.

***

Yuhuu

Another update from LOVER

AUTHOR BAKAL Kembali LAGI SEGERA

JAN LUPA VOTE SAMA KOMEN YAA

CU

LOVERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang