Lagi, Bianca bersuara tanpa ada sahutan. Hanya angin sepoi-sepoi yang jadi temannya. Hingga sebuah pelukan hangat dari balik tubuhnya, alihkan rasa sepi tadi.
"Kenapa nanya ke adek aja? Kan ada aku, kita bertiga bakal ngelewatin semuanya bareng. Pasti bisa," Ares berucap, sesekali mengecup puncak kepala Bianca dengan tangan yang tidak tinggal diam mengelus perut kekasihnya itu.
Bianca tersenyum tipis, lantas menjawab, "Iya, kita bertiga bisa. Semoga"
Ares eratkan pelukannya, cowok itu memang bisa dibilang jarang mengeluarkan dukungannya lewat kata-kata manis, meski dirinya adalah penulis lagu. Khusus untuk Bianca, ia selalu balas semuanya melalui afeksi berupa pelukan, kontak fisik dan banyak hal lain
"Pulang yuk, ga bagus angin malam buat kamu sama adek," final Ares yang dibalas anggukan oleh Bianca. Iya, untuk saat ini Bianca memilih untuk kembali ke rumah bersama sosok yang jadi rumahnya. Semoga, takdir berkehendak baik malam ini dan malam-malam selanjutnya.
BACK TO BIANCA'S POV
Aku terbangun usai tidur nyenyak dalam dekapan Ares, sepanjang malam tadi.
Usai memastikan Ares masih terlelap, aku bergegas menuju kamar mandi. Rasa asin seperti rasa besi, adalah hal pertama yang kurasakan ketika meneguk air minum dari atas nakas. Menghela napas pelan, aku mulai menyalakan keran agar terdengar seperti sedang mandi.
Sementara mataku sibuk meneliti cermin, yang menampilkan lengan kiri dan kananku yang dihiasi lebam.
"Dek, kita bisa kan? Kuat yah sayang, kita berusaha sama-sama oke?" aku berucap, sesekali mengelus perutku, sebelum memutuskan untuk mandi, perkara lebam, bisa kututupi dengan concealer nanti.
"Wangi banget sih," ucap Ares, yang kini sudah memeluk tubuhku dari belakang. Entah karena baru saja berdamai atau bagaimana, Ares jadi semakin clingy padaku. Terbukti dengan kebiasaan cowok itu yang sedikit-sdikit minta dipeluk.
"Iya dong, kan udah mandi. Kamu juga gih sana. Katanya mau nemenin ke rumah sakit," kubalas ucapam Ares dengan tangan yang sibuk mengaplikasikan pelembab di area wajahku.
"I need my morning kiss first"
Aku reflek mencubit perut berotot milik Ares yang terekspos, mengingat kebiasaannya yang lebih nyaman tidur tanpa mengenakan atasan.
"Mandi dulu sana!" usirku, sebelum kembali meneguk segelas air hangat untuk meredakan rasa tidak nyaman dari mulutku.
"Dek, nanti kita tunjukin ke Papa kamu kalo kita kuat yaa," aku kembali berdialog, sebelum beranjak menuju ke luar kamar. Tidak lupa menyiapkan pakaian ganti untuk Ares.
"Morning princes," sapaan papi Jo adalah hal pertama yang kudapat sebagai sambutan.
Aku tersenyum sebelum membalas pelukan ayah tercintaku itu, kemudian beralih menghambur ke pelukan Jordan yang sudah merentangkan tangannya sedari tadi.
"Ponakan uncle hari ini mau check up ya? Ga sabar deh A'a liat anak kamu dek," Jordan berucap, sambil mengelus perutku yang mulai membuncit karena usia kehamilan yang mulai menginjak enam bulan.
Aku terkekeh, sesekali mencubit gemas pipi Jordan yang tembem itu.
"Jangan cubitin A'a ih! Ini juga tembem gara-gara disuruh ngabisin makanan kamu," protes Jordan, sebelum menjauhkan dirinya untuk duduk di meja makan.
Aku terkekeh, lantas mendekati meja makan yang sudah dipenuhi dengan beberapa makanan hasil karya Bunda Chitta.
"Pagi sayang, duduk dulu yah ini Mami mau selesai bikin susu buat kamu,"
Kalian tidak salah, itu Mami Chitta. Ibunda kesayanganku yang entah mengapa selama seminggu ini selalu mampir ke rumah Papi Jo untuk sekedar memantau makanan dan apa saja yang kami konsumsi.
Aku mengangguk antusias, pasalnya wanita yang biasanya hanya kutemui sekali sebulan saat memeriksa kandungan itu kini bisa kutemui setiap hari.
"Nanti ke rumah sakitnya mau bareng Mami atau mau ditemenin Ares?"
Aku berpikir sejenak, agak ribet memang kalau harus menunggu Ares yang notabene harus ke sekolah dulu baru bisa menemaniku ke rumah sakit.
"Nanti sama aku aja, Mi. Hari ini baliknya cepat kok, ada rapat komite nanti," Ares berucap, sebelum aku sempat menjawab. Cowok dengan seragam sekolah lengkap itu, sibuk membantu Jordan menata beberapa menu makanan. Sementara aku, koni duduk ditemani oleh papi Jo.
***
Please leave some vote and coment!
Enjoy!!
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVER
Teen FictionMenurut kalian apa level tertinggi dari mencintai? Banyak yang bilang level tertinggi dari mencintai adalah mengikhlaskan, tapi, itu tidak berlaku untuk Bianca. Gadis biasa yang tidak begitu populer di SMA Harapan itu punya anggapan sendiri tentang...