"Ini gue bikinnya di dapur dalam apa di luar Ndan?" tanya Ares, sembari melirik ke arahku dengan tatapan yang sulit diartikan.
Iya, Ares adalah target Jordan untuk melimpahkan permintaanku. Sejauh yang kuketahui, belum pernah aku mendengar bahwa Ares pandai atau bahkan bisa memasak sebelumnya.
"A, kok?!"
Jordan dengan cepat menatapku sedikit garang, cowok itu sudah berpindah posisi menjadi berdiri dua langkah di depanku.
"Tenang aja, Bi. Urusan kamu makan rotinya, A'a yang urus ini manusia. Kalo dia bikin perkara, dia aja yang dijadiin roti gepeng," ucap Jordan, sebelum berlalu bersama Ares menuju dapur.
Ares tidak bereaksi apa-apa, bahkan dengan wajah tampan yang dihiasi bekas lebam di bagian pipi kiri pun, cowok itu masih tetap telaten mengadon adonan roti. Sesekali ia melirik ke arah ponselnya yang menampilkan tutorial.
"Adek ngapain?" tanya Jordan, ketika melihatku yang sudah duduk di kursi dekat dapur, sibuk melihat live cooking ala Ares.
"Bosen di kamar, mau mantau aja siapa tau dimasukin obat aborsi ke dalam rotinya," balasku, melirik sekilas ke arah Ares.
BRAK
Ares membanting sedikit lebih keras, adonan roti yang sedang ia uleni. Aku tahu, dia pasti sedang marah karena perkataanku barusan. Tapi, apa boleh buat? Sekarang, rinduku akan kuberitahu lewat ucapan sarkas yang justru terdengar menyakitkan.
"Heh, jan emosi! Lo udah janji," titah Jordan, yang disambut anggukan pelan oleh Ares.
Jordan beranjak menuju kamar, abangku itu memang tidak begitu suka menyaksikan orang memasak, apalagi itu bukan bidangnya. Alhasil, ia meninggalkanku dengan mewanti-wanti Ares agar tidak macam-macam.
"Mau rasa apa isinya?" tanya Ares, dengan suara lembutnya yang nyaris membuatku berlari untuk memeluk cowok itu.
"Terserah," balasku singkat.
Ares menghela napas pelan, tetap tersenyum sambil mengambil beberapa mangkuk kecil berisi isian yang akan ia tambahkan ke dalam roti.
"Kalo gitu kamu milih yang ga kamu suka, sisanya aku masukin biar banyak variant rotinya," kata Ares, menatapku sebentar.
Aku tidak merespon, tapi, tanganku bergerak untuk menyisihkan selai durian, keju dan nanas dari deretan wajah itu. Ares tahu, aku tidak bisa makan ketiganya, sebenarnya nanas bisa, namun, ibu hamil tidak dianjurkan untuk mengkonsumsi buah itu demi kebaikan janin.
"Niat banget mau bahayain bayinya. Pake segala beli nanas lagi," ujarku, dengan bibir yang sudah maju beberapa senti.
Ares terlihat kaget, sebelum mengambil selai nanas tersebut lalu membuangnya di dalam tong sampah.
"Maaf, maafin aku yah Bi. Aku ga bermaksud gitu, tadi aku ngambil semua variant, ga ingat kalo kamu ga boleh makan nanas," balas Ares, kali ini dengan muka memelas serta tangan mengatup. Meminta maaf berkali-kali padaku.
"Hm, lo ga harus peduli sih. Lanjut gih, " balasku, beralih membolak-balikan majalah milik Mami yang kemarin aku pinjam.
Ares kembali fokus, walau sesekali melirik ke arahku, cowok itu akhirnya berhasil memasukan adonan dengan bentuk sama persis seperti permintaanku ke dalam oven.
Ares beralih merapihkan beberapa peralatan masak yang berantakan di meja, usai mencuci piring, cowok dengan kaos coklat itu beralih duduk di hadapanku, ralat, melewati dua bangku di hadapanku. Jarak kami tepat pada angkat satu meter sekarang.
"Lain kali, kalo mau sesuatu chat aku aja. Biar aku yang nyariin apapun yang kamu mau," ucap cowok itu, menatap intens ke arahku.
Aku menghentikan gerakan membalik halaman majalah, kemudian melirik sinis ke arahnya.
"Bahkan dengan sikap baik lo ini, semuanya tetap sama Ares. Dia tetap ada di sini, dan luka yang lo kasih masih ada. Jadi, jangan berusaha buat ngeyakinin gue lagi, lo tau sendiri kan? Kalau gue bilang nggak, artinya beneran nggak," ucapku, sebelum meninggalkannya dengan sebuah kotak P3K di meja.
***
Yuhuu
Author up lagi lho ini
Semoga bisa end yaaJan lupa vote sama komennya lho
Love u guyss
CU
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVER
Teen FictionMenurut kalian apa level tertinggi dari mencintai? Banyak yang bilang level tertinggi dari mencintai adalah mengikhlaskan, tapi, itu tidak berlaku untuk Bianca. Gadis biasa yang tidak begitu populer di SMA Harapan itu punya anggapan sendiri tentang...