Aku makan dengan tenang dan lahap. Soal Ares, cowok itu sedang menemui ayahnya di halaman belakang. Alhasil, aku hanya berdua dengan Buna Elona. Wanita yang umurnya masih sekitar 20an itu memang memintaku untuk memanggilnya Buna.
Sejak kedatanganku di rumah orangtua Ares, aku jadi banyak mengetahui hal baru tentang cowok yang sekarang sudah menjadi pacarku itu. Masih kuingat, bagaimana jawaban ayah Ares yang malam itu berterima kasih kepadaku.
"Makasih yah, Bianca. Om kira selama ini anak Om belok" mau tidak mau,aku terkekeh mendengar pernyataan itu. Yang patut kuapresiasi, keluarga Ares tidak pernah memandang rendah diriku yang bisa dibilang dari kalangan menengah ke bawah. Bahkan, dengan penampilanku malam itu yang baru saja akan diperkosa. Mereka tidak berkomentar.
Satu hal yang pasti, aku dibuat jatuh cinta lagi dengan Ares karena keluarganya.
"Obatnya udah diminum belum? Kamu kalo butuh apa-apa bilang aja yah ke Buna, jangan sungkan," ucap Buna Elona, usai meneguk segelas jus miliknya.
Aku mengangguk sebagai jawaban, karena masih mengunyah makanan. Semalam, Om Dion atau ayah dari Ares langsung menghubungi dokter untuk segera memeriksa keadaanku. Untungnya, karena ada Ares di lokasi kejadian dan langsung menyelamatkanku, sehingga tidak ada trauma yang kualami. Paling hanya emosi sesaat, yang bisa hilang selama beberapa hari.
"Bun, Ares beneran dimarahin yah sama Om Dion?" tanyaku, karena Ares tak kunjung kembali ke meja makan, bahkan setelah kami selesai makan siang.
Wanita itu nampak terkekeh. Ia mengedipkan satu matanya untuk menggodaku. "Tenang aja, paling cuman dibawelin sama Daddynya," jawab Elona dengan senyuman tipis.
"Emang Om Dion bawel yah Bun?"
Elona terkekeh pelan, ia menatapku sekilas, sebelum menyuapi sepotong apel sebagai pencuci mulut padaku.
"Cerewet banget kalo lagi marah hahaha"
Menangkap raut khawatirku, wanita yang memintaku untuk memanggilnya Buna itu kembali tertawa.
"Jangan tegang dong. Si abang aman kok, palingan itu lama karna obrolannya udah merembes ke basket sama motor," kata Elona, membuat aku menghela napas lega pada akhirnya.
Sementara itu di taman belakang kediaman Dion, ayah dan anak itu nampak sedang berbicara serius.
"Daddy kok kayak punya firasat kalo kita dekat sama ortu Bianca yah Bang?" tanya Dion, menarik perhatian putra sulungnya.
"Maksud Daddy? Kita kenal sama ortu Bianca?" jawab cowok itu, yang memang sejak kemarin sudah meminta tolong pada Dion untuk mencari tahu siapa orangtua kandung Bianca.
"Maybe. Belum yakin juga sih, tapi ntar deh Daddy minta bantuan Om Satya buat bantu liat data"
Ares mengangguk patuh, sebenarnya ia sudah menerima banyak wejangan dari sang ayah. Terutama karena tingkahnya yang menyusup untuk tidur siang di kamar tamu yang sudah disulap menjadi kamar Bianca.
"Yang tadi jangan lupa yah, Bang! Kamu sekalinya bar-bar, sampe segitunya banget. Perasaan Daddy dulu sama Buna ga ada tuh bar-bar kayak kamu Bang"
Ares menampilkan cengiran polos. Salah sendiri ayahnya malah mengira cowok itu belok alias tidak suka cewek.
"Ya kan cuman tidur siang doang Dad. Cuman meluk, ga lebih," jawab Ares, langsung mendapat lirikan mengejek khas Dion.
"Yakin?"
"Ng... Ya kecup-kecup sedikit ga perlu dihitung lah yah"
"Itu sih maunya kamu"
Keduanya tertawa, begitulah cara mereka menghabiskan Daddy & son time. Ares tersenyum, ia berharap ayahnya bisa membantu menemukan orangtua kandung kekasihnya.
***
Hello gess
Yuhuu author up lagi nih
Semoga kalian semua suka yaa
Jan lupa vote sama komenCU
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVER
Teen FictionMenurut kalian apa level tertinggi dari mencintai? Banyak yang bilang level tertinggi dari mencintai adalah mengikhlaskan, tapi, itu tidak berlaku untuk Bianca. Gadis biasa yang tidak begitu populer di SMA Harapan itu punya anggapan sendiri tentang...