38

64 4 0
                                    

Lelah, adalah satu kata yang dapat menggambarkan bagaimana diriku saat ini. Entah dorongan dari mana, aku yang biasanya menghabiskan hari libur dengan tidur lalu bekerja, kini baru saja selesai berjalan mengelilingi kompleks perumahan Papi Jo.

"Anj*ng lu!" ucap Jordan, yang baru saja masuk dengan napas ngos-ngosan, serta wajah yang dibasahi oleh keringat.

Kami memang kembali menggunakan lo-gue kalau sedang cekcok atau kesal saja. Selebihnya menggunakan aku-kamu atau A'a-adek.

Aku nyengir, menyodorkan segelas air es yang diberikan oleh bi Sasa, pembantu rumah tangga di rumah itu.

"Makasih yaa A'a udah mau nemenin," ucapku, dengan senyum manis, membuat Jordan mengangguk walau bergidik ngeri.

Hening. Kini hanya suara dari ponsel Jordan yang sedang bermain game, yang menjadi pemecah kesunyian. Papi Jo memang sedang berada di luar kota untuk mengurus beberapa pekerjaan di sana, sedangkan Mami Chitta tentu saja sedang sibuk di rumah sakit.

Kutatap Jordan bimbang, menimang-nimang antara meminta padanya atau tidak. Sejak hamil, aku sudah sangat merepotkan cowok itu. Waktu bermain gamenya berkurang, karena harus menemaniku yoga dan berjalan santai di sekitar komplek, terkadang, ia tidak sempat tidur siang karena harus menemaniku nonton TV di ruang tengah.

Merasa ditatap, Jordan melirik sekilas ke arahku, sebelum kembali fokus pada permainannya.

"Kenapa liat-liat? Mau apa?" tanya cowok itu, masih setia dengan ponselnya.

Aku menampilkan senyuman tipis, lupa kalau Jordan orangnya kelewat peka.

"A'a yakin mau bantu?"

"Ya apa dulu permintaannya?"

Aku berangsur mendekati Jordan, dengan senyum cerah, aku mulai berucap.

"Adek pengen makan roti, tapi bentuknya yang berotot kayak gini," ucapku, menunjukkan foto roti yang baru saja kutemui di pinterest.

Seketika itu juga, Jordan menjatuhkan rahangnya, aku tahu betul ia tidak pernah malah tidak bisa memasak roti dan sejenisnya, selalu bantet dan gagal

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Seketika itu juga, Jordan menjatuhkan rahangnya, aku tahu betul ia tidak pernah malah tidak bisa memasak roti dan sejenisnya, selalu bantet dan gagal.

"A'a ga mau yah?"

Jordan menatapku dengan tatapan memelas, wajahnya sudah terlihat frustasi usai mengacak rambutnya.

"Bukan ga mau, Dek. Masalahnya kan kamu tau sendiri, A'a ga bisa banget kalo bikin yang begituan. Ganti semur aja yah? Ini mami juga ga bisa bantu," jelas Jordan, membuat mataku semakin berkaca-kaca. Entah faktor kehamilan atau apa, aku benar-benar sensitif bahkan akan menangis ketika keinginanku tidak dikabulkan.

Jordan terlihat panik, cowok itu bahkan semakin frustasi ketika aku menepis tangannya yang hendak menyentuhku.

"Yaudah iya, A'a cari bala bantuan dulu yah. Tenang aja, roti kamu pasti jadi kok," ucapnya, membuatku dengan cepat menyeka airmata yang baru saja membasahi pipiku.

"Kan Bimo lagi ga boleh masak sama dokter A. Apalagi yang tepung-tepung gini, yakali Amanda yang ada aku keracunan ding," protesku, membuat Jordan yang sedang mengetik pesan melirikku dengan tatapan tengilnya.

"Tenang aja kamu, ini terpercaya kok masternya bikin roti. Pemula kayak dia ga pernah gagal tau," kata Jordan, usai menyimpan ponselnya.

Aku melirik curiga ke arah cowok itu, entah siapa yang ia hubungi, pesan online pun pasti tidak akan ia lakukan, mengingat perutnya yang sensitif sudah menular kepadaku.

"A'a panggil chef ya?"

Jordan menggeleng, "Ga ih! Dia harus ngerasain susahnya juga, jangan mau enaknya aja," balasnya, membuatku semakin curiga.

"Jangan bilang, or—" ucapanku terpotong, begitu melihat kehadiran sosok yang tidak ingin kutemui tengah berdiri di ambang pintu, lengkap dengan dua kantong belanjaan.

***

Holaa

Yuhuu author up lagi nih
Kalian jangan lupa vote dan komen yaa

Happy reading

CU

LOVERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang