Happy reading!
Kutatap satu persatu orang yang ada di meja makan pagi ini. Dimulai dari interaksi canggung nan romantis diantara papi dan mami, kemudian Ares dan Jordan yang sesekali membahas tentang geng motor mereka.
Bukan merasa diasingkan, hanya saja, aku berharap mereka dapat tetap seperti sekarang jika nanti aku benar-benar tidak bisa bergabung lagi bersama mereka.
"Adek kenapa? Kok diem aja?" tanya Jordan, sekali lagi dengan insting seorang abang siaga dan manusia berpredikat si paling peka itu, berhasil membuatku tersenyum lalu menggeleng pelan.
"Sayang, serius kamu gapapa? Apa aku ga berangkat aja?" kali ini, Ares, Papa siaga yang bersuara.
Aku mendengus pelan, "Ngawur! Aku gapapa ih, lagi menikmati pemandangan pagi aja. Suka deh liat meja makan rame kayak gini," jawabku, mendapat deheman penuh arti dari Jordan.
Kegiatan sarapan yang sempat tertunda tadi, kembali dilanjutkan dalam keheningan. Entah karena Papi dan Mami yang akhirnya semakin canggung, atau Jordan dan Ares yang ada jadwal ulangan harian pagi ini.
Keheningan membuat waktu berjalan begitu cepat. Meninggalkan aku sendiri di rumah, dengan para pelayan sebagai teman.
"Gue ga expect bakal home schooling kayak gini," ucapku, usai mengikuti sesi zoom sebagai pengganti kelas offline yang sudah sejak enam bulan lalu aku jalani.
Tess
Darah segar kembali mengalir dari hidungku, kali ini disertai dengan rasa sakit di kepalaku yang semakin menjalar, bahkan plafon kamarku rasanya berputar sangat kencang.
"D-dek, kuat yah sayang..." lirihan itu adalah hal terakhir yang ada dalam ingatanku, sebelum semuanya menggelap.
Author POV
Ares berlari kencang begitu mendapat telfon dari Chitta. Wanita yang merupakan ibu kandung dari kekasihnya itu terdengar panik saat memintanya untuk segera ke rumah sakit.
"Hemofilia"
Tubuh Ares seketika melemah. Cowok berseragam SMA itu mendadak bingung sekaligus marah pada dirinya sendiri. Seharusnya ia lebih memperhatikan keadaan Bianca, bukan malah mengabaikan kekasihnya itu usai diajak nikah.
"Ares, kamu harus kuat yah. Saya tau ini berat, tapi Bianca pasti bisa. Sama seperti saya yang bisa melewati ini selama dua kali melahirkan Jordan dan Bianca. Sekarang kamu samperin Bianca gih, kasih dia semangat," ucap Chitta, wanita yang kerap disapa Mami oleh Jordan dan Bianca itu menepuk pelan pundak Ares, sebelum cowok itu beranjak menuju ke ruangan yang dimaksud.
Hal pertama yang dilihat Ares adalah Bianca yang sedang bersandar pada ranjang, kekasihnya itu terlihat sedang mengelus lembut perut buncitnya yang membesar. Jangan lupakan infus yang terpasang pada tangan kanannya.
"Sayang," Ares berucap, lantas dekati wanita itu.
Bianca tersenyum. Senyum yang sama sekali tidak dia paksakan, melainkan senyuman manis yang selalu sama seperti biasanya.
"Hey, kok nangis?"
Bianca terlihat panik, begitu melihat Ares yang sudah banjir airmata. Ia tahu, kekasihnya itu pasti merasa bersalah atas semuanya.
"Ares, kok ga dijawab?"
Ares menyeka kasar airmatanya, sebelum membawa Bianca dalam dekapan erat. Lidahnya masih kelu untuk sekedar menjelaskan alasan mengapa ia menangis. Jadi, setidaknya lewat pelukan erat itu, Bianca tahu bahwa ia tidak ingin kehilangan orang tersayangnya lagi.
"Aku tau kamu ga mau kehilangan aku sama adek. Tapi, kalo aku boleh ngasih saran, pilih adek aja yah. Aku sudah cukup bahagia dan dapat banyak cinta dari kami, papi, Ndan dan mami. Tapi, adek kan belum sempat liat dunia. Jadi, aku mau sisa kebahagiaan aku buat adek aja biar kamu yang jagain dia yah, aku ga masalah pergi dulu—"
Ucapan Bianca terbungkam ciuman menuntut dari Ares. Ia tahu, cowok itu sedang marah karena ia mengungkit hal yang Ares benci. Yah, perpisahan.
"Kamu bisa sama adek. Mami bilang gitu! Aku ga akan mau pilih salah satu dari kalian, ataupun kehilangan salah satu dari kalian. Apa gunanya aku sama adek hidup kalo kamu ga ada di samping kita? Apa gunanya aku nyelamatin adek, kalo dunia aku sama dia aja pergi ninggalin kita? Sayang, please aku yakin kalian berdua bisa selamat. Aku yakin!"
***
Author is back hwarang'ers!
Kangen ga? Hehe
Jan lupa voment yaaa
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVER
Teen FictionMenurut kalian apa level tertinggi dari mencintai? Banyak yang bilang level tertinggi dari mencintai adalah mengikhlaskan, tapi, itu tidak berlaku untuk Bianca. Gadis biasa yang tidak begitu populer di SMA Harapan itu punya anggapan sendiri tentang...