"Pucuk dicinta, ulam pun tiba."
Hembusan angin sepoi-sepoi pagi itu menyerbu surai Ashilla yang terurai rapi. Tangannya segera bergerak menyelamatkan rambut bergelombang hasil dipanasi catokan rambut selama dua jam tadi. Tak lupa, cewek itu kembali menutup kedua telinganya dengan rambut, sebagai tanda siap menerima sindiran dari sana sini karena ia datang ke acara pernikahan kawannya seorang diri. Lagi dan lagi.
Pupil Ashilla bergerak mengitari lokasi acara. Sambil mencari ruangan mempelai wanita, ia berjalan lamban menikmati indahnya pemandangan di depannya. Di kiri, terdapat halaman luas didominasi dengan rerumputan hijau terang yang telah terpasang berbagai macam dekorasi untuk acara outdoor nanti. Di belakang panggung, sebuah danau membentang luas, membatasi rerumputan dengan laut biru cerah di atasnya. Sekawanan burung terbang melintas di atas, menambah tenangnya suasana.
Tanpa sadar Ashilla tersenyum sambil memejamkan mata. Sudah lama ia tak berinteraksi dengan alam seperti ini. Kesibukannya akhir-akhir ini hanya berkutat pada sesaknya ibukota, tempat Ashilla mengais rejeki hingga lupa rumah sendiri di usianya yang menginjak angka dua puluh sembilan tahun ini.
"Kak Ashilla?" sebuah suara yang akrab di telinga menggugah Ashilla untuk memutar kepala. Tak jauh di sana, ada Mahesa, calon adik iparnya—kalau cowok itu jadi menikah dengan Thalia—yang sedang berlari kecil ke arahnya. "Sendirian, Kak?" tanyanya begitu kedua kaki berhenti tak jauh dari tempat Ashilla berdiri.
"Kalau Thalia gak lo bawa, harusnya lo yang sendirian, sih," entah karena hubungannya dengan Mahesa yang terlalu akrab atau karena Ashilla terlalu sensitif dengan kata 'sendirian', hanya jawaban sinis yang lolos dari mulut si cewek.
Bukannya merasa tidak enak karena sudah menekan pelatuk tak kasatmata secara tidak sengaja, Mahesa justru tergelak apalagi setelah Ashilla memasang muka sok galak, sudah biasa dengan bercandaan semacam itu. "Gak gitu! Ah elah, sensi amat dibilang sendirian, mentang-mentang jomblo kronis dan gak dapet-dapet pasangan," kata si cowok justru makin melebarkan candaannya, yang segera dihentikan kala tangan Ashilla sudah mulai ditarik ke atas, bersiap menggamparnya. "Galak amat. Tadi geng lu udah pada masuk sana noh, Kak!"
Ashilla menoleh ke kanan, mata menyusur ke dalam sebuah gedung dengan pintu kaca dibuka lebar. Tak jauh dari pintu masuk gedung, berdiri penanda ruangan mempelai wanita, tempat yang sedari tadi dicari-carinya.
"Kalo Thalia gak usah dicari, Kak. Dia mah pasti sama gua, masih di toilet anaknya," Mahesa berujar sombong sambil menaikkan kedua alisnya, sebelum akhirnya pamit meninggalkan Ashilla untuk kembali menemui kekasihnya. Ashilla hanya bisa menatap sinis dari sudut mata, memandang tajam sesosok budak cinta yang baru saja berlalu dari ujung kaki hingga ujung kepala sambil memberikan sumpah serapah lirih yang hanya bisa didengar olehnya.
Langkah kaki membawa Ashilla ke ruangan mempelai wanita. Suara Nayla yang berteriak menggema menyapa dirinya jadi sambutan pertama tatkala pintu terbuka. Senyum Ashilla mengembang melihat banyaknya kawan lama belasan tahun silam. Bahkan ada satu set pom pom pemandu sorak yang membuatnya mendadak memiliki kilas balik ingatan masa SMA ketika ia, Nayla, dan kawan-kawannya yang lain masih aktif berpartisipasi pada setiap kegiatan pemandu sorak di sekolahnya dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
✅️ Crush Me Lovingly | wonwoo×sana
FanfictionAshilla menariknya mendekat, kemudian memintanya menjauh pergi setelah menyadari ia pria baik hati. Sedang Wildan yang naif, hanya jatuh hati.