2. Jawaban

40 11 11
                                    

"Bahkan jika aku boleh meminta pada langit, aku akan meminta waktu 'tuk berhenti sejenak agar aku bisa memandangmu tanpa ada durasi yang mengikis pertemuan."
~Ajil Prayoga

.
.
.

"Aku masih enggak percaya sama Ajil, Qil. Dengan alasan apa dia langsung minta kamu buat jadi pacar? Padahal itu cuma permainan biasa. Aku yakin pasti ada sesuatu di balik itu semua," ucap Yasmin.

Aku menatap Yasmin lekat-lekat. Aku sudah menganggapnya sebagai satu-satunya sahabat. Meskipun aku baru bertemu dengannya ketika MOS, aku sudah percaya banyak padanya. Dia adalah tipe orang yang mudah untuk diajak berbicara, tetapi hanya dengan orang-orang yang menurutnya satu frekuensi. Tak jarang selama satu tahun berteman baik dengannya aku selalu meminta saran padanya. Dan tak segan pula dia akan mengutarakan yang terbaik untukku.

Waktu istirahat tinggal lima belas menit lagi. Obrolan dari keluar kelas hingga santapan yang aku dan Yasmin pesan kini sudah licin dengan mangkok berwarna putih rupanya tak kunjung menemukan jawaban yang sekiranya membuat hati kami cocok untuk mengira-kira tujuan dari Ajil.

"Tapi kamu suka sama Ajil?" tanya Yasmin.

"Enggak, Yasmin. Aku cuma bantu dia aja. Soalnya dia pilih dare," ucapku.

Aku sedikit merasa kesal. Sudah berapa kali Yasmin menanyakan hal itu padaku. Namun, dia tak percaya akan jawaban yang aku ucapkan dan seolah mendesakku untuk memberinya jawaban lain.

"Yakin?"

Yasmin memajukan badannya hingga condong ke arahku dengan tatapan yang seolah-olah akan mengintimidasi. Aku sedikit memundurkan wajah dan kupalingkan pandangan ke sembarang arah karena tak berani menatap mata Yasmin dengan jarak yang sangat dekat ini.

"Iya. Kenapa?" tanyaku heran.

"Hati-hati kemakan ucapan sendiri."

Aku hanya mengangguk. Memang benar tindakan yang aku ambil setelah bersedia untuk membantu Ajil meskipun hanya dua minggu akan berisiko besar dalam hidupku.

Yasmin menarik badannya kembali duduk di kursi depanku, tak lupa dia menyedot es teh yang masih tersisa setengah gelas.

"Apa alasan kamu mau bantuin dia? Sedangkan kamu enggak pernah ada interaksi sama dia bahkan bisa dibilang baru kenal?"

Tak ada jawaban dariku. Aku hanya menatap meja ke sembarang arah dengan tatapan yang kosong.

"Kamu jangan terlalu baik apalagi itu menyangkut soal perasaan, Qil. Meskipun kamu bilangnya enggak akan ada apa-apa sama dia, tapi kamu enggak bisa mempermainkan balik hati seseorang. Jelas-jelas dia hanya menyelesaikan permainan, sedangkan kamu? Gimana kalau kamu terjebak sendiri sama perasaan Ajil? Kamu sendiri yang akan repot dan kamu sendiri yang akan sakit hati ketika kamu tahu sifat Ajil seperti apa. Jangan karena ada kesempatan hal itu akan membuat kamu menyesal, Qil," ucap Yasmin.

Aku menyetujui ucapan yang terdengar dari mulut Yasmin. Aku terlalu menggebu-gebu ingin merasakan jatuh cinta. Ingin merasakan bagaimana menjalin hubungan dengan seseorang hingga aku berani mengambil keputusan dalam waktu singkat tanpa memikirkan apa yang terjadi ke depannya.

Aku menopang dagu dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanan kugunakan untuk mengaduk-aduk sisa es batu di dalam gelas dengan sedotan secara abstrak. Padahal saat ini kantin sangat bising oleh siswa dan siswi yang terus berdatangan untuk mengisi perutnya yang sudah mulai berbunyi, tetapi pikiranku terbawa oleh lamunan kosong memikirkan mengapa aku terlalu mudah terbuai olehnya. Mengapa hasrat yang aku inginkan sangat kuat hingga dapat mengalahkan logikaku?

Twitterpated [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang