13. Ego

18 5 1
                                    

“Aku tidak tahu apakah ego kita sama-sama tinggi? Atau itu cara kamu untuk menyudutkanku seakan aku yang selalu salah agar kamu bisa menutupi fakta kebenarannya?”
~Aqila Anindya
.
.
.

Tepat pukul tujuh belas lebih tiga puluh menit aku telah sampai di depan rumah. Meskipun aku merasa lelah, tetapi aku merasa senang telah menghabiskan waktu bersama Rangga yang membuat pikiranku menjadi lupa dengan kesedihan yang sedang membelenggu.

"Makasih, ya, Ga. Kamu udah ajak aku cobain makanan enak dan kamu juga anterin aku pulang. Aku enggak enak jadi repotin kamu."

"Sama-sama, Qil. Santai aja," balas Rangga.

Paduan bumbu kacang dengan irisan bawang merah yang diracik oleh mak Yeyet masih terasa di lidahku. Karena, aku menyukainya, aku sampai membeli lagi satu bungkus untuk dibawa pulang ke rumah dan akan kuberikan pada bunda untuk mencobanya.

"Aku pulang dulu. Kamu cepet masuk, gih. Titip salam buat bunda, ya."

Aku hanya mengangguk. "Hati-hati, ya."

Mengingat hari mulai gelap Rangga menyalakan kembali mesin motornya. Lalu, membelah jalanan di antara pancaran lampu di setiap sisi jalan.

Aku melihat punggung Rangga sampai termakan oleh jarak. Setelah itu, aku hendak memasuki pintu gerbang dengan senyuman mengembang. Namun, langkahku terhenti oleh suara motor yang tiba-tiba saja terparkir di depan pintu gerbang.

"Puas jalan-jalan sama Rangga?"

Aku masih membisu setelah melihat kedatangan Ajil yang tiba-tiba. Sejak kapan dia ada di sini? Apa dia tahu dari awal kalau aku makan bareng Rangga?

"Kamu udah mulai nyaman sama dia, ya? Baru aja kemarin malam kita bertengkar, tapi hari ini kamu malah asyik seharian sama dia," tanya Ajil dengan tatapan mengintimidasiku.

Aku menghela napas dan membalas tatapannya. "Udah puas ketawa-ketiwi sama mantan? Sampai lupa balas pesan dari aku karena asyik selingkuh."

"Aku enggak selingkuh, ya."

"Dan aku juga enggak ada kenyamanan sama Rangga selain sebagai teman."

Saling sahut menyahut. Aku atau pun Ajil tidak mau kalah berargumen untuk membela diri.

Aku mendengar Ajil tertawa. Apakah dia sedang mengejekku?

"Ingat! Kenyamanan bisa aja berawal dari teman."

"Begitu juga perselingkuhan bisa aja berawal dari keingintahuan tentang kabar mantan."

"Kamu bisa enggak dengerin aku ngomong dan enggak balas ucapanku dengan menyangkutkan Kayla?" tanya Ajil.

"Bisa, tapi aku enggak percaya kalo kamu enggak akan menyudutkanku sama Rangga terus hanya karena kejadian waktu itu. Yang jelas-jelas kamu salah paham dan pertengkaran sampai saat ini pun kamu yang gedein sendiri," ucapku.

"Kalau emang kamu cemburu karena aku sama Rangga, seharusnya kamu enggak melakukan hal itu sama Kayla. Seharusnya kita bisa selesaikan masalah ini dengan baik. Sekarang aku tanya sama kamu, Jil. Kenapa kamu enggak balas pesan dari aku, sedangkan kamu asyik sendiri sama Kayla?" tanyaku dengan nada rendah, tetapi aku memberikan penuh penekanan di setiap katanya.

Lama Ajil membungkam mulutnya hingga aku dibuat kesal. "Apa? Kamu udah enggak nyaman sama aku? Udah bosan? Kamu mulai tertarik lagi sama Kayla? Yang jelas-jelas dia pernah sakitin kamu, tapi kamu malah pengen deket lagi sama dia. Kamu bego tahu enggak."

"Stop jelekin Kayla! Kamu enggak tahu yang sebenarnya seperti apa, Qil."

Aku terkekeh dengan ucapan Ajil yang secara langsung membela Kayla di depan kekasihnya sendiri.

"Oh, iya. Aku emang enggak tahu Kayla seperti apa? Dan aku enggak mau tahu itu. Aku hanya denger dari penuturan kamu. Jadi, maaf kalo aku salah. Kamu memang lebih pantes bela mantan daripada aku."

"Qil, stop! Bisa enggak kamu enggak usah bahas Kayla?"

"Kenapa? Kamu takut kalau suatu saat nanti kamu kembali nyaman sama dia? Kamu takut kalau kamu akan kemakan sama omongan sendiri?"

"Dengerin aku dulu, Qil. Aku enggak suka kamu dekat-dekat sama Rangga. Apalagi dia anterin kamu sampai rumah. Aku cowok kamu, Qil, bukan dia. Aku yang seharusnya anterin kamu, bukan dia. Dan seharusnya di sekolah tadi kamu tegur aku biar aku bisa anterin kamu pulang, bukannya kamu malah asyik jalan berdua sama dia."

"Yakin kalau aku tegur kamu, kamu mau anterin aku pulang? Terus yang anterin mantan kamu pulang siapa? Aku tahu, ya. Kamu berangkat sekolah bareng dia. Kenapa? Sengaja? Biar bisa banyak waktu?"

Bendungan perih di mataku sudah tidak bisa aku tahan. Aku ingin menangis sesegera mungkin, tetapi aku tidak mau menangis di depan Ajil yang dapat membuatku terlihat lemah.

"Oke, aku emang berangkat bareng karena dia enggak ada yang anterin ke sekolah, dan angkutan umum juga sudah jarang ada yang lewat. Mau enggak mau aku harus bantu dia. Kamu jangan nuduh aku buat selingkuh, Qil."

Aku hanya terkekeh dengan alasannya yang klasik itu.

"Aku enggak nuduh kamu. Buat apa juga aku nuduh kamu? Secara logika aja, Jil. Kalau sekedar membantu ketika berangkat, seharusnya pas pulang tadi kamu enggak bareng dia lagi. Angkutan umum masih banyak. Pastinya teman-teman di OSIS juga banyak yang searah. Kenapa aku ngomong gitu? Karena emang faktanya kamu cuma membual buat bantu dia padahal kamu belum bisa move on dan menggunakan kesempatan yang ada. Seharusnya kamu juga ingat sama alur kemarin. Pasti ada alasan 'kan setelah kemarin kalian ke cafe dan hari ini berangkat sekolah juga bareng. Gelagat kamu biar bisa balikan kelihatan jelas, Jil."

"Jadi, orang jangan jahat. Kalau kamu masih pengen lanjutin hubungan sama Kayla, putusin aku. Jangan kamu ikat aku terus dalam hubungan kayak gini," lanjutku.

Aku melihat urat di leher Ajil yang sudah menonjol. Mungkin saja emosi dia akan meledak, tetapi tertahan di dalam sana.

"Aku enggak mau tahu. Yang jelas aku enggak suka kamu dekat-dekat sama Rangga. Kamu adalah pacar aku. Aku yang lebih pantas ada di samping kamu," ucapnya.

"Lebih baik kamu masuk. Ini udah malam dan aku enggak mau lanjutin perdebatan ini. Aku takut hal yang enggak terduga akan terjadi," lanjutnya.

Aku hanya terdiam. Setelah Ajil berkata seperti itu dia langsung menaiki motornya kembali dan menancapkan kecepatan motor dengan tinggi. Aku melihat punggungnya yang terbalut oleh sweater hitam hingga menghilang. Ada rasa khawatir padanya karena dia mengendarai motor dalam kondisi emosi sedang memuncak dan lagi hari sudah gelap.

Aku menjerit sambil menekan kepala dengan kedua tangan. Tangisku telah pecah. Aku tidak tahu kenapa Ajil melakukan hal itu? Dan dalam kondisi ini aku tidak tahu siapa yang salah? Bukannya aku ingin membalas perbuatan Ajil. Aku hanya menerima tawaran Rangga karena kondisi hatiku sedang membutuhkan hiburan.

"Maafkan aku, Jil. Maaf kalau apa yang aku lakukan membuat kamu cemburu. Aku harap kamu jangan lakuin itu lagi sama aku. Dan aku mohon kamu segera lupain Kayla."

.
.
.
Arigatou gozaimasu, Minna>_<

Twitterpated [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang