“Bagaimana rasanya seseorang yang membuat kenyamanan, tetapi seseorang itu juga membuat hatimu terluka?”
~Aqila Anindya
.
.
.Aku sangat bosan di dalam kamar. Mengingat semalam aku menangisi Ajil tiada henti membuatku sangat pusing dan mataku menjadi bengkak. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk absen sekolah.
Kuraih gawai yang tergeletak tepat di samping bantal. Deretan angka menunjukkan pukul lima belas lebih lima menit, serta banyak pesan dari grup sekolah dan beberapa notifikasi lainnya. Aku sangat malas untuk membukanya.
Aku beralih pada jendela kamar yang menampakkan dua anak kecil sedang duduk di atas sepeda tanpa mengayuhnya. Mereka saling melempar candaan. Aku terkesima dengan pemandangan di depan mata. Begitu lepasnya mereka tertawa tanpa memikirkan hal lain. Sejenak aku berkeinginan untuk kembali ke masa kecil agar aku tidak merasakan hal yang sedang aku rasakan sekarang.
Pikiranku menjadi berkelana. Di usiaku yang masih terbilang remaja aku merasakan dunia ini sangat berat. Banyak tantangan yang harus aku lalui. Lantas, bagaimana jika aku memasuki masa dewasa? Apakah hal ini akan terulang kembali? Atau akan ada tantangan yang mempunyai risiko lebih berat?
Lamunanku terpecah akibat suara ketukan pintu dan terdengar suara Bunda di balik sana. “Aqila. Di luar ada Yasmin sama Rangga, Nak.”
“Iya, Bunda. Nanti aku ke sana.”
Aku memutuskan beranjak ke kamar mandi dulu untuk membasuh wajah agar terlihat sedikit hidup. Menyisir rambut, dan hanya merapikan baju tidur yang masih setia kukenakan tanpa adanya keniatan untuk menggantinya.
“Ayolah, Yas. Aqila enggak akan mungkin lupa sama nasehat-nasehat kamu. Dia susah dibilangin karena lagi kasmaran aja, dan seharusnya kamu sudah tahu kalau sudah cinta logika tuh akan kalah sama perasaan.”
Aku terduduk di kursi single sebelah Yasmin yang duduk di kursi panjang bersama Rangga. Kuberikan senyuman kepada mereka sebagai ucapan terima kasih karena sudah menjengukku.
“Makasih, ya. Maaf buat kalian repot sampai harus ke sini,” ucapku.
“Sama-sama, Qil,” ucap Rangga.
Aku menatap Rangga seolah meminta keyakinan jika aku meminta maaf pada Yasmin, dia akan mau memaafkanku. Kulihat Rangga menganggukkan kepalanya. Aku mencoba untuk mengatur napas agar tubuhku terkondisi dengan benar.
“Yas, aku minta maaf karena enggak dengerin ucapan kamu. Aku harap kamu jangan diami aku terus. Aku ingin persahabatan kita kayak dulu lagi. Bisa 'kan?”
“Enggak apa-apa, Qil. Aku tahu dan aku enggak seharusnya bersikap kayak gitu sama kamu. Jadi, santai aja,” ucap Yasmin sambil mengusap bahuku.
Hatiku menjadi tenang. Setidaknya Yasmin sudah mau membuka suara untukku.
“Makasih, Yas. Aku cuma punya kamu. Jangan gituin aku lagi, ya,” ucapku yang langsung mendapat kekehan dari Yasmin.
“Oh, iya. Omong-omong, di grup lagi ada apa? Kayaknya dari tadi heboh terus. Aku males baca dari awal,” tanyaku, tetapi baik Yasmin atau pun Rangga mereka saling bungkam.
“Yas? Ga? Sekolah menang lomba?”
Aku menaikkan satu alis karena mereka masih setia bungkam, tetapi aku juga mencoba untuk mengingat-ingat bahwa sekolah sedang tidak mengikuti lomba apa-apa atau mungkin ada pengajar yang membuat heboh seangkatan.
Tiba-tiba saja aku mendengar helaan napas dari Yasmin. “Ajil sama Kayla ....”
Darah dalam tubuhku mendadak mengalir terasa panas. Hatiku seperti terpukul. Meskipun Yasmin menggantungkan kalimatnya, aku sudah yakin berita itu tentang Ajil dan Kayla yang telah menjalin hubungan kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Twitterpated [END]
Teen FictionKonnichiwa, Minna >__< Cover by Canva Start: 3 April 2023 Finish: 30 Juni 2023 Nt: Pict dari Pinterest