3. Rumor

30 10 8
                                    

"Kenapa denganmu? Mengapa emosimu terpancing jika ada yang menjelekanku?"
~Aqila Anindya

.
.
.

Tidak seperti biasanya untuk hari ini aku datang terlambat mengingat semalam aku harus bergadang mengerjakan tugas sekolah dan tugas ekstrakurikuler yang harus dikumpulkan sesegera mungkin.

Aku berjalan dengan cepat melewati koridor kelas dua belas yang sudah ramai oleh siswa/siswi. Langkah yang kuambil sangat tergesa-gesa seakan aku datang ke sekolah pada saat jam istirahat pertama tiba padahal hari ini masih pukul tepat setengah tujuh pagi.

"Kemarin aku lihat di parkiran sekolah Ajil pulang bareng Aqila."

"Oh, iya. Aku juga lihat. Mereka pacaran, ya?"

"Masa, sih? Tapi, kok, tiba-tiba, ya. Perasaan mereka enggak satu organisasi, deh, tapi kenapa bisa?"

"Bisa ajalah, tapi beruntung juga si Ajil dapetin yang lebih baik sekarang daripada yang sebelumnya."

"Iya, beruntung banget Ajil. Aku, sih, yes kalau mereka pacaran."

"Aku juga."

Aku memperlambat langkah kakiku setelah melewati segerombol siswi yang sedang berkumpul di depan kelasnya. Sayup-sayup aku mendengar obrolan mereka yang sedang membicarakanku dengan Ajil. Rupanya, kemarin sore ada siswi yang melihatku. Sebagian dari mereka ada yang mendukung hubunganku dengan Ajil. Namun, salah satu dari mereka ada yang tak suka dengan hubungan yang sedang aku jalani.

"Tapi aku kurang setuju kalau Ajil sama Aqila beneran pacaran."

"Loh, kenapa?"

Pertanyaan dari ketiga siswi itu mewakilkan perasaanku. Alasan apa yang membuat siswi berambut sepunggung itu tidak setuju jika aku menjalin hubungan dengan Ajil?

"Menurutku, standar kecantikan Aqila kurang dibandingkan dengan Kayla dan lagi dia hanya ikut ekstrakurikuler teater bukan tangan kanan sekolah. Jadi, jomplangnya jauhlah ya."

Aku tak mau ambil pusing atas persepsi yang telah aku dengar karena setiap orang memiliki standar kecantikan masing-masing bukan hanya tertuju pada satu titik saja yang akan menjadi patokan bahwa wanita bisa disebut cantik. Dan toh, hubungan yang sedang aku jalankan bukan seperti yang mereka bayangkan. Aku hanya membantu Ajil untuk menyelesaikan tantangannya.

Aku melanjutkan melangkahkan kaki menuju kelas. Tepat setelah aku memasuki pintu kelas, aku langsung disambut oleh ribuan pertanyaan yang tak lain pertanyaan itu sama halnya dengan gunjingan di koridor tadi.

Aku menghela napas kesal. Bagaimana bisa aku menutupi semua ini dengan kebohongan, sedangkan berita ini sepertinya sudah tersebar di penjuru sekolah?

Awalnya aku berharap hubungan yang hanya dilandaskan oleh permainan ini tidak banyak yang tahu. Namun, harapan yang aku semogakan ternyata tidaklah berjalan dengan mulus.

"Wah, kok, bisa, Qil. Gimana ceritanya?" tanya Fikri—ketua kelas sebelas.

"Ya, seperti itu, Fik," ucapku seadanya.

"Ceritain dong, Qil. Kok, bisa sih kamu pacaran sama Ajil. Padahal kalian enggak pernah berinteraksi."

Kali ini si bendahara kelas mulai menunjukkan suaranya. Aku paling malas jika harus buka suara untuk berbagi cerita hanya untuk melunasi rasa penasaran mereka saja.

Aku menduduki kursi paling depan berdampingan dengan Yasmin dan menjawab pertanyaan dari bendahara kelas dengan membelakanginya.

"Enggak pernah berinteraksi di sekolah belum tentu enggak berinteraksi juga di media sosial, Din," jawabku dengan asal yang penting jawaban yang aku lontarkan masih masuk akal dan bisa membuat Dinda menutup mulut.

Twitterpated [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang