20. Memulai dengan Versi Baru

11 4 0
                                    

"Hidupku harus seperti rembulan. Ketika matahari tidak membantunya memberikan cahaya, tetapi dia tidak melampiaskan kekesalan pada turunnya hujan."
~Aqila Anindya
.
.
.

Malam ini aku ingin berdamai dengan diriku. Melepaskan apa yang sudah seharusnya aku lepaskan. Menjalani kehidupan dari awal dengan diriku yang sekarang, dan memikirkan hal yang sudah seharusnya aku pikirkan untuk masa depan.

Aku mengajak Rangga untuk ke taman kota. Rembulan malam ini sangat cantik. Dia tak mau kalah dengan lampu kota yang menghiasi gedung-gedung tinggi di setiap sisi.

Udara malam ini berbeda dengan malam sebelumnya yang mempunyai suhu dua puluh delapan derajat Celcius. Aku mengeratkan kedua tangan pada secangkir teh yang masih terlihat kepulan asapnya.

"Tumben ajak aku ke sini? Lagi kenapa?" tanya Rangga setelah menyesap kopinya.

Aku hanya menatap lurus ke depan dengan senyuman yang terasa berat. "Enggak apa-apa. Aku cuma rindu sama diriku yang dulu. Diriku yang enggak gampang menangis, diriku yang selalu tersenyum tanpa tekanan, dan diriku yang selalu overthinking dengan masa depan."

Tak lama setelah itu, Rangga memelukku dari samping dan mengusap bahuku berkali-kali. Entah mengapa aku merasakan ketenangan ketika di dekat Rangga.

"Semua orang pasti mempunyai proses peng-upgrade-an. Meskipun kamu rindu dengan diri kamu yang dulu, tetapi dalam diri kamu yang sebelumnya belum memiliki jiwa yang kuat seperti versi kamu yang sekarang. Terkadang aku juga rindu dengan diriku yang dulu, tetapi aku enggak boleh seperti itu. Itu sama halnya aku enggak menerima dan membuat diri kita yang sekarang menjadi cemburu."

"Meskipun kamu rindu dengan versi kamu yang dulu, tapi pikirkan lagi kalau kamu enggak lewatin masa-masa yang udah terjadi. Pasti enggak akan ada perkembangan dalam diri kamu 'kan?"

"Jalan hidup kita masih panjang. Jangan terlalu fokus pada masa lalu. Kamu boleh liat ke belakang, tapi sesekali aja," ucap Rangga.

"Makasih, Ga, kamu selalu kasih aku pemikiran yang positif dan selalu semangati aku," ucapku sembari memeluk pinggang Rangga dari samping.

Angin malam semakin berbisik dengan rasa dingin. Aku menggenggam cup teh dengan kedua tangan. Rasa hangat menjalar di telapak tanganku. Aku meniup kepulan asap yang masih terkumpul di dalam sana. Lalu, menyesapnya sedikit demi sedikit.

"Aku lebih suka malam daripada siang," ucapku tanpa mengalihkan pandangan pada gemerlap lampu gedung.

"Kenapa?"

"Bagiku, malam adalah jiwaku seutuhnya. Kadang aku bermonolog sama bulan sambil melihat indahnya jutaan bintang dan kamu tahu siapa yang menemaniku?" tanyaku sembari memalingkan wajah pada Rangga, tetapi Rangga menggeleng dengan cepat.

"Angin yang selalu menemani dan dia selalu membisikkanku, bahwa bulan dan bintang saling cemburu," ucapku diakhiri dengan kekehan.

Rangga memicingkan matanya. "Aku juga kalau di posisi mereka pasti akan cemburu, Qil. Kamu ajak ngobrol siapa, tapi yang kamu lihat siapa? Itu sama aja kamu mau dua-duanya dalam satu waktu."

"Bukan gitu, tapi aku ingin menikmati semesta tanpa harus berbeda hari."

"Terserah kamu aja, Qil," ujar Rangga dengan mengembuskan napasnya kasar. "Kalo aku lebih suka bulan."

"Kenapa?" tanyaku penasaran.

"Bulan sama sepertiku. Meskipun dia enggak bisa menghasilkan cahaya sendiri, tetapi ada matahari yang membantu memberinya cahaya sehingga dia terlihat cantik. Dia akan membuat orang yang semula sedih berubah menjadi bahagia. Aku juga seperti itu. Aku membutuhkan seseorang agar hidupku menjadi berwarna dan bermakna," jelas Rangga.

Lama netra kami saling bertemu. Aku merasa dari sorot mata ketika Rangga memberikan jawaban tersirat ketulusan hati yang tidak biasanya Rangga berikan.

"Semesta akan mengirimkan permintaan kamu, Ga. Mungkin bukan sekarang, tapi aku yakin semesta enggak akan pernah lupa sama kejujuranmu malam ini."

Rangga menampilkan ulasan senyuman. Dia mengalihkan pandangan menatap lurus ke depan dan meminum kembali kopinya.

"Qil."

"Iya."

"Yakin perasaan kamu sekarang lagi baik-baik aja?"

Aku melihat Rangga dengan serius. Apakah dia menyadari perasaanku yang sedang kacau? Apakah dia tahu masalahku dengan Ajil waktu di sekolah?

"Iya. Kenapa emangnya?"

Rangga membalikkan badannya menghadap padaku. Dia menggenggam tangan kananku dan mengajak aku untuk meninggalkan tempat ini. "Kita cari tempat lain, yuk. Aku udah bosan di sini."

"Loh? Kok tiba-tiba? Kenapa, Ga? Ada sesuatu yang buat kamu enggak nyaman?"

"Bukan itu." Rangga menghela napasnya, lalu mengeluarkannya dengan kasar. "Sebenarnya kamu sedang sedih 'kan? Perasaan kamu lagi enggak baik 'kan? Jujur sama aku. Aku tahu semuanya, Qil."

"Enggak, Ga. Aku baik-baik aja," ucapku kekeh untuk meyakinkan Rangga.

"Kamu bohong sama aku. Maaf, aku harus tunjukkin ini sama kamu."

Aku memiringkan kepala ke kanan. Aku sangat tidak mengerti arah pembicaraan Rangga. Tak lama, aku mengikuti arah tunjuk Rangga yang tepat menunjuk ke belakangku.

Hatiku seperti dihantam benda yang sangat besar. Perasaan kesal kian menjalar dalam sanubari. Kembali aku melihat Rangga dengan tatapan tak percaya. Meskipun aku ingin berdamai dengan diriku sendiri, tetapi aku butuh waktu. Dan tidak dengan secepat ini.

Aku mengerjapkan mata berkali-kali agar cairan bening yang sudah siap terjun ini tidak tumpah sekarang. Kucoba untuk mengatur napas dan tersenyum pada Rangga.

"Aku ingin selesaiin ini. Tolong kasih aku izin buat temuin dia dan minta penjelasan dari dia."

Tidak ada jawaban dari Rangga, tetapi dia hanya mengangguk.

Perlahan kakiku melangkah menuju dua insan yang sedang menikmati keindahan malam kota Bogor dengan beberapa canda tawa yang terlempar.

"Ajil," ucapku tanpa permisi yang membuat kedua insan ini menoleh secara bersamaan.

"Qil? Kamu ...."

"Iya aku di sini," ucapku mencoba untuk tersenyum.

"Kay, gimana kabarnya? Aku lihat sore tadi kamu kayak lagi sakit? Tapi kenapa malam-malam begini kamu keluyuran?" tanyaku tanpa mendapat jawaban dari Kayla.

"Qil-"

"Tolong diam dulu. Beri aku kesempatan untuk bicara, Jil," ucapku padanya. "Ingat enggak udah berapa kali yakini aku kalo kamu enggak akan sejahat itu? Udah berapa kali kamu bilang kalo kamu enggak akan lakuin itu lagi? Dan udah berapa kali kamu selalu bareng dia tanpa sepengetahuan aku?"

"Aku udah capek, Jil. Kamu emang enggak yakin sama aku, dan kamu juga masih banyak harapan sama Kayla 'kan? Jadi, untuk apa kamu pertahanin aku? Mending kita selesaiin aja. Biar kamu juga bisa lebih fokus sama Kayla dan hubungan kalian jadi lebih baik daripada nanti makin banyak anak sekolah yang rendahin kamu."

"Kamu jangan bilang gitu, Qil. Aku cuma bantu Kayla aja karena dia lagi banyak pikiran. Makanya aku ajak dia ke sini."

Aku menyunggingkan senyuman. "Aku enggak akan termakan omongan kamu lagi. Aku udah kenyang sama kebohongan kamu. Aku rasa udah jelas 'kan permintaan aku. Makasih, ya. Kamu udah mengenalkanku sama kecewa. Longlast, kalian."

Sepertinya aku tidak memerlukan jawaban dari Ajil. Aku langsung meninggalkannya yang masih diam membisu meskipun langkah ini terasa berat. Namun, aku sudah mengambil keputusan dan mendapat risiko yang setimpal.

Sebulir air mata berhasil lolos di sudut mataku, tetapi aku masih bisa tersenyum. Satu sisiku merasa lebih baik ketika aku telah melepas rantai yang terus membelenggu.

.
.
.
Arigatou gozaimasu, Minna>_<

Twitterpated [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang