6. Ruang OSIS

22 8 7
                                        

"Meskipun banyak ribuan bintang yang berlomba-lomba memancarkan kecantikan cahayanya, tetapi hanya bulan yang mampu mencuri seluruh perhatianku untuknya."
~Ajil Prayoga
.
.
.

Aku mengarahkan pandangan ke luar jendela. Tak memedulikan kelas yang sedang bising. Aku hanya terfokus pada awan yang kembali mendung setelah kemarin sore mengguyur bumi. Hembusan angin mengombang-ambing ujung daun Pucuk Merah. Burung-burung terbang secara berkelompok mencari tempat 'tuk berteduh. Aku terkesima dengan formasi yang telah mereka buat.

Tak berselang lama. Kelas tiba-tiba saja mendadak hening bersamaan dengan rintik yang kembali menyapa. Aku menghentikan lamunan. Lalu, melihat pak Surono dengan kulitnya yang sudah keriput dan rambut yang berdominasi warna putih memasuki kelas yang diikuti oleh beberapa siswa/siswi dari pengurus OSIS.

Perasaanku sedang tidak bernimat untuk mendengarkan pemaparan informasi dari pengurus OSIS. Aku melihat sekilas beberapa soal ulangan. Untung saja aku cepat menyelesaikan soal yang berderet dengan angka itu sehingga aku bisa menikmati rintik yang menyapa bumi lewat jendela kelas. Namun, sayup-sayup aku mendengar suara seorang laki-laki yang tak asing bagiku.

Untuk kali ini aku merasa ada yang berbeda. Biasanya yang masuk ke kelasku adalah orang-orang dari struktur yang tidak terlalu menonjol.

Aku memerhatikan Ajil yang sedang menyampaikan sebuah agenda sekolah untuk bulan Agustus. Aku menopang dagu dengan tangan kanan. Sesekali aku dengannya berkontak mata langsung. Sangat enggan aku memutuskannya dan aku merasa berani untuk terus menatapnya karena aku sedang berada di dalam kandang sendiri. Aku tersenyum geli melihat tingkah Ajil yang sedang menahan tawa.

Setelah Ajil selesai menyampaikan agenda bulan Agustus. Salah satu siswi berjilbab putih melontarkan sebuah pertanyaan yang mengakibatkan suasana tiba-tiba menjadi riuh. Seisi kelas saling tunjuk-menunjuk. Sepertinya mereka enggan untuk berpartisipasi pada acara yang telah dibuat. Aku pun tak berniat untuk ikut berpartisipasi dalam event itu.

Sebelum pengurus OSIS itu meninggalkan kelas Mipa tiga, aku dengan Ajil masih saling lempar pandang. Ada rasa yang tak tertahan aku ingin menyapanya. Memperkenalkan diri kepada teman-temannya bahwa aku adalah pemilik hati resmi Ajil bukan karena dare lagi. Namun, terlalu naif jika hal itu aku lakukan. Karena, menjalin hubungan dengan salah satu pengurus OSIS sudah menjadi hal biasa bagi siswa/siswi.

"Udah resmi 'kan? Kapan go public?"

Aku langsung tersipu malu ketika lenganku disenggol oleh Yasmin dengan kencang.

"Diam, Yas. Enggak sekarang."

"Terima kasih atas partisipasinya. Kami tunggu perjuangan kalian di hari H," ucap Ajil sembari tersenyum di akhir kalimat. "Terima kasih, Pak Surono."

Sejenak hanya ada keheningan yang menyelimuti setelah perwakilan OSIS itu keluar dari kelas.

"Waktunya sudah habis. Selesai atau tidak, kumpulkan lembar jawaban di sebelah kiri dan soal di sebelah kanan. Ayo, ayo. Jangan ada yang curang. Kalau ketahuan menyontek nilainya kosong. Yang sudah mengumpulkan boleh pulang," ujar pak Surono.

Aku dan Yasmin langsung bangkit dari kursi dan segera mengumpulkan kedua kertas yang masing-masing sudah kupisahkan sesuai dengan perintah dari pak Surono.

Mengingat sudah terlewat sepuluh menit waktu pulang, aku bersama Yasmin segera melarikan diri dari kelas. Bau petrikor yang menyapa terasa menenangkan ketika aku menghirupnya. Pikiran yang sedari tadi jenuh seketika aku merasakan fresh kembali. Bau petrikor rupanya memabukanku hingga aku terbuai dengan aroma khasnya.

"Gimana, Qil?" tanya Yasmin.

"Gimana apanya?"

"Resmi?"

Twitterpated [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang