4. Lebam Biru

21 11 3
                                    

“Bagiku, kasta tertinggi dalam suatu hubungan adalah sebuah tindakan.”
~Aqila Anindya

.
.
.

“Ajil. Stop!

Sekuat tenaga aku menahan Ajil yang sudah siap membalas siswa itu. Tatapanku hanya tertuju padanya yang kini emosinya sudah terpancing. Karena, napasnya semakin memburu. Tanpa pikir panjang aku langsung menarik tangannya untuk meninggalkan koridor kelas dua belas sebelum suasana memanas. Tak peduli jika Ajil akan mengoceh padaku karena dia belum sempat memukul siswa itu.

Aku ingin berbelok ke arah kanan tepatnya pergi ke Unit Kesehatan Sekolah untuk mengompres tulang pipinya yang terlihat sedikit membiru, tetapi Ajil malah menarikku dan berhenti di depan kantin.

“Kita ke kantin aja. Kamu pasti lapar 'kan?”

“Tapi kamu ....”

Ingin sekali aku memprotes padanya, tetapi Ajil menggeleng pelan. Sepertinya dia tak ingin terlarut dengan kejadian tadi dan lebih memilih untuk mementingkan perutku yang belum terisi apapun sedari pagi.

Aku mengedarkan pandangan ke penjuru kantin. Meja yang telah tersedia hampir semuanya terisi oleh siswa/siswi yang sudah menahan lapar. Aku mengalihkan atensi pada Ajil, begitu pun dengannya. Sepertinya pemikiran kami sedang sinkron dengan masalah tempat duduk.

“Ajil.”

Suara yang sangat nyaring itu memecah keheninganku dengan Ajil. Aku dengannya saling mengalihkan pandangan ke sumber suara itu. Kulihat Raffi dan dua siswa pengurus OSIS sedang berkumpul. Mereka melambaikan tangannya seakan menginteruksi kami untuk menghampiri meja mereka.

Tak lupa dengan tangan Ajil yang masih setia menggenggam tanganku. Aku mengekorinya dari belakang, membelah kerumunan siswa/siswi yang sedang mengantre di setiap lapak kantin dan kini aku telah sampai di meja mereka.

Jika saja aku diberi kesempatan untuk mengekspresikan bagaimana first imperesion kepada mereka maka aku akan mengatakan tentang apa yang aku rasakan sekarang; malu karena hanya aku seorang yang bernotabe siswi. Dan ini kali pertama aku berkumpul dengan orang-orang yang menurutku penting dari bagian sekolah.

Setelah aku duduk satu meja dengan ketiga teman Ajil, tanpa melihat seisi kantin satu per satu pun aku telah mengetahui dengan ekor mata bahwa kini aku menjadi pusat perhatian mereka. Sudah aku yakini pula aku akan banyak mendengar obrolan dari mereka yang mempertanyakan tentang kebenarannya dan akan ada banyak yang memberi kontra dengan berita hari ini. Meski begitu pada akhirnya aku tak memedulikan apa yang aku dengar.

“Kayak pengantin baru aja ke mana-mana selalu berdua,” celoteh Gibran yang mempunyai rambut ikal dan menjadi ciri khasnya tersendiri dari siswa lain.

“Kalo bertiga berarti udah punya anak,” ucap Ajil.

Refleks aku mendelik ke arah Ajil. Hatiku merasa kaget, tapi ada semburat senyum yang aku tahan. Apakah seperti ini jokes siswa ketika sedang berkumpul?

“Gue enggak yakin si Aqila bisa bertahan sama lo selama dua minggu,” ucap salah seorang siswa dengan kulit wajahnya yang putih hingga membuatnya sangat menonjol di antara mereka. Namun, aku tak mengetahui namanya bahkan name tag yang seharusnya dipasang di sisi kiri baju, dia tak memakainya.

“Ini buktinya. Gue menjalani dare bukan hanya sebagai permainan, tapi gue serius,” sambar Ajil.

“Bakal berlanjut nih kayaknya,” ucap Raffi.

“Pasti itu,” ucap mereka diselingi dengan tawa.

Aku hanya tersenyum tipis mendengar obrolan mereka. Dengan sedikit sungkan aku mendudukan pantat di kursi—menuruti perintah Ajil—sedangkan Ajil sendiri pergi ke salah satu lapak jajanan di kantin. Aku hanya berharap Ajil segera balik ke meja ini meskipun dengan tangan kosong.

Twitterpated [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang