8. UKS

23 8 2
                                        

“Untuk SEKARANG kamu adalah penolong pertamaku. Dan aku berharap di suatu saat nanti kamu bukan orang pertama yang menorehkan luka untukku.”
~Aqila Anindya
.
.
.

Terik sang surya tak menyurutkan semangat para peserta lomba. Lapangan SMA R.A Kartini yang biasanya tidak banyak peminat kini telah terisi oleh lautan siswa/siswi yang ikut meramaikan beberapa lomba seperti, lomba memasukkan paku ke dalam botol dan lomba balapan bakiak. Sementara, di setiap sisi lapangan terdengar sorak-sorak ramai dari suporter.

Aku mengecilkan pupil mata karena silau dengan sinar matahari yang mulai terik. Aku melihat Ajil yang kini menjadi pengawas lomba memasukkan paku ke dalam botol tengah mengusap keringat di dahinya dengan lengan baju bagian atas. Setelah itu, mulutnya berkomat-kamit pada temen di sebelahnya yang menjadi pengawas juga. Lalu, dia melarikan diri. Meneduh di bawah pohon mangga yang belum berbuah.

Dengan perasaan yang senang aku menghampiri Ajil dan duduk di sebelahnya. Aku mengulas sebuah senyuman untuknya begitu pun dengan Ajil yang membalas senyumanku. Aku memberikan sebotol air mineral yang sengaja aku bawa untuknya.

Aku merasa terpaku ketika Ajil meminum air mineral yang kuberikan dengan keringatnya yang kembali mengguyur wajahnya. Entah mengapa aku melihatnya seperti tampilan cowok ber-vibes cool. Namun, aku juga merasa kasihan dengannya.

“Aku bawa tissue. Nih, buat lap keringat kamu.”

Aku menyodorkan tissue yang semula kusimpan di dalam saku rok. Namun, tidak ada tanda-tanda bahwa Ajil akan mengambil tissue yang telah kusodorkan padanya.

“Kamu enggak mau terima tissue dari aku?” tanyaku terheran-heran.

“Mau, tapi sekalian kamu juga yang lap keringat aku.”

Seketika aku menjadi gugup. Aku menundukkan kepala menahan rasa malu yang sekarang terkumpul di wajah.

“Enggak enak sama yang lain, Jil,” ucapku tanpa menatap manik mata Ajil.

“Biarin aja, Qil. Apa kamu jijik sama keringat aku?”

Aku langsung menatap mata Ajil lalu menggeleng dengan cepat. Bukan itu yang aku maksud, hanya saja ini di dalam area sekolah yang sudah pasti akan menjadi perbincangan baru bagi siswa/siswi yang melihat. Meskipun hal itu akan terlihat wajar untukku dan Ajil.

“Bu-bukan gitu, Jil. A-aku malu,” ucapku.

Ajil terkekeh lalu dia mengambil tissue yang masih aku pegang. “Iya, aku paham, Manis.”

“Gue boleh ikut duduk di sini, ya.”

Aku memutar kepala ke belakang melihat siapa gerangan yang tiba-tiba duduk di sebelahku. Hatiku berubah menjadi tidak senyaman tadi, tetapi di sisi lain aku tidak bisa melarang siswi itu untuk duduk di sebelahku.

Baik aku maupun Ajil hanya terdiam tanpa menanggapi siswi itu. Kami sama-sama saling adu pandang. Lalu, aku dengan Ajil sibuk kembali dengan obrolan kecil dan mengomentari peserta lomba.

“Kok, lo malah di sini, sih, Jil? Bukannya lo harus jadi pengawas lomba?” tanya siswi itu.

“Lo sendiri ngapain duduk di sini? Bukannya lo ngurusin berkas-berkas lomba?” tanya Ajil dengan pandangan lurus ke depan.

“Lagi refreshing aja. Mau lihat suasana di lapangan kayak gimana?” ucap siswi itu. Namun, tak ada jawaban dari Ajil.

“Jangan kelamaan pacaran sampai lalai sama tugas dan tanggung jawab.”

“Bisa diem ngga, sih? Gue baru ngadem. Lo enak di dalam ruangan. Lagian yang jadi pengawas bukan cuma gua doang. Jadi, enggak masalah kalo gua istirahat sebentar.”

Twitterpated [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang